Rabu, 26 Juli 2017

UPACARA-UPACARA ADAT DI LOMBOK


UPACARA-UPACARA TRADISIONAL DI LOMBOK

1.      UPACARA REBO BONTONG

Upacara Rebo bontong dimaksudkan untuk menolak bala (bencana/penyakit), dilaksanakan setiap tahun sekali tepat pada hari Rabu minggu terakhir bulan Safar. Menurut kepercayaan masyarakat Sasak bahwa pada hari Rebo Bontong adalah merupakan puncak terjadi Bala (bencana/penyakit), sehingga sampai sekarang masih dipercaya untuk memulai suatu pekerjaan tidak diawali pada hari Rebo Bontong. Rebo Bontong ini mengandung arti Rebo dan Bontong yang berarti putus sehingga bila diberi awalan pe menjadi pemutus. Upacara Rebo Bontong ini sampai sekarang masih tetap dilaksanakan oleh masyarakat di Kecamatan Pringgabaya.
Sebagian masyarakat di Pulau Lombok, Nusa Tenggara Barat (NTB), menggelar tradisi "Rebo Bontong" atau tradisi mandi bersama di kali yang dilaksanakan setiap tahun pada Rabu terakhir bulan Safar.
Seorang tokoh masyarakat Dasan Agung, Kota Mataram, H Rohiman di Mataram, Selasa, mengatakan, tradisi Rebo Bontong atau mandi Safar tersebut dilaksanakan di beberapa tempat di Pulau Lombok, antara lain di Dasan Agung (Kota Mataram), Pantai Tanjung Menangis, Kecamatan Pringgabaya dan Lombok Timur dan di Desa Kuranji, Kecamatan Labuapi, Lombok Barat.
Khusus di Desa Kuranji, Kecamatan Labuapi ritual Rebo Bontong dilakukan dengan mandi bersama di sebuah sumur desa yang dikeramatkan.
Tradisi Rebo Bontong di Mataram dilaksanakan dengan cara mandi bersama di Sungai (Kokoq) Jangkuk yang dimulai Rabu siang hingga sore, pada setiap perayaan mandi Safar tersebut sepanjang kali Jangkuk dibanjiri masyarakat baik tua maupun muda untuk melakukan ritual mandi bersama.
Menurut Rohiman, ritual mandi bersama pada perayaan Rebo Bontong merupakan tradisi yang dilaksanakan secara turun temurun sejak ratusan tahun silam yang diniatkan untuk menyucikan badan menyambut perayaan Maulid nabi Besar Muhammad SAW.
"Mandi bersama pada Rabu terakhir bulan Safar atau Rebo Bontong ini memiliki arti sakral bagi sebagian masyarakat Lombok, karena mandi dimaksudkan untuk membersihkan dan menyucikan diri dari segala dosa dan salah," katanya.
Ia mengatakan, jiwa dan raga harus suci sebelum memasuki perayaan Maulid Nabi Besar Muhammad SAW, karena itu pada Rabu terakhir bulan Safar dilaksanakan ritual mandi bersama.
Tradisi Rebo Bontong juga merupakan sebuah nilai lokal yang menjadi ciri khas muslim Sasak di Lombok, di beberapa provinsi lain di Indonesia tradisi tersebut dikenal dengan Mandi Safar
Tradidi serupa juga dilaksanakan oleh masyarakat di Kabupaten Kotawaringin Timur, Kalimantan Tengah, yang dikenal dengan tradisi mandi Safar yang dilakukan dengan mandi bersama di Sungai Mentaya Sampit yang juga dilaksanakan pada Rabu terakhir bulan Safar.
2. UPACARA BAU NYALE
upacara Bau Nyale merupakan sebuah peristiwa dan tradisi yang sangat melegenda dan mempunyai nilai sakral tinggi bagi Suku Sasak, Suku asli Pulau Lombok. Keberadaan pesta bau nyale ini berkaitan erat dengan sebuah cerita rakyat yang berkembang di daerah Lombok Tengah bagian selatan.
Putri Mandalika, seorang putri cantik jelita yang menjelma menjadi cacing nyale dan muncul sekali dalam setahun di Pantai Lombok. Siapa sangka cacing nyale yang diperebutkan dan dicari-cari setiap tahun oleh masyarakat Lombok ini adalah jelmaan dari seorang putri yang sangat cantik yang jaman dahulu diperebutkan oleh pangeran-pangeran dari berbagai kerajaan di Lombok.
Putri Mandalika adalah putri dari pasangan Raja Tonjang Beru dan Dewi Seranting. Raja ini terkenal karena kebijaksanaannya sehingga rakyatnya sangat mencintainya karena mereka hidup makmur. Putri Mandalika hidup dalam suasana kerajaan dan dihormati hingga dia menginjak dewasa.
Saat dewasa Putri Mandalika tumbuh menjadi seorang gadis yang sangat cantik dan mempesona. Kecantikannya tersebar hingga ke seluruh Lombok sehingga Pangeran-Pangeran dari berbagai Kerajaan seperti Kerajaan Johor, Kerajaan Lipur, Kerajaan Pane, Kerajaan Kuripan, Kerajaan Daha, dan kerajaan Beru berniat untuk mempersuntingnya.
Mengetahui hal tersebut ternyata membuat sang Putri menjadi gusar, karena jika dia memilih satu diantara mereka maka akan terjadi perpecahan dan pertempuran di Gumi Sasak. Bahkan ada beberapa kerajaan yang memasang senggeger agar Sang Putri jatuh hati padanya. Namun hal ini malah membuat sang Putri makin gusar.
Setelah berpikir panjang, akhirnya sang Putri memutuskan untuk mengundang seluruh pangeran beserta rakyat mereka untuk bertemu di Pantai Kuta Lombok pada tanggal 20 bulan ke 10 menurut perhitungan bulan Sasak tepatnya sebelum Subuh. Undangan tersebut disambut oleh seluruh pangeran beserta rakyatnya sehingga tepat pada tanggal tersebut mereka berduyun-duyun menuju lokasi undangan.
Setelah beberapa saat akhirnya Sang Putri Mandalika muncul dengan diusung oleh prajurit-prajurit yang menjaganya. Kemudian dia berhenti dan berdiri di sebuah batu dipinggir pantai. Setelah mengatakan niatnya untuk menerima seluruh pangeran dan rakyat akhirnya Sang Putri pun meloncat ke dalam laut. Seluruh rakyat yang mencarinya tidak menemukannya. Setelah beberapa saat akhirnya datanglah sekumpulan Cacing berwarna-warni yang menurut masyarakat dipercaya sebagai jelmaan Putri Mandalika
2.      UPACARA SORONG SERAH AJI KERAMA
Adat perkawinan pada masyarakat Lombok Timur dikaitkan dengan upacara adat sorong serah aji kerama. Seorang pemuda (terune) dapat memperoleh seorang istri berdasarkan adat dengan dua cara yaitu: pertama dengan soloh (meminang kepada keluarga si gadis); kedua dengan cara merariq (melarikan si gadis), Setelah salah satu cara sudah dilakukan, maka keluarga pria akan melakukan tata cara perkawinan sesuai adat Sasak.
http://lomboktimurkab.go.id/files/sorong1.jpgUpacara perkawinan Lombok Timur sering dikaitkan dengan upacara adat perkawinan sorong serah aji kerama yang merupakan salah satu tradisi yang ada sejak zaman dahulu dan telah melekat dengan kuat serta utuh didalam tatanan kehidupan masyarakat suku Sasak Lombok Timur, bahkan beberapa kalangan masyarakat baik itu tokoh agama dan tokoh masyarakat adat itu sendiri menyatakan bahwa jika tidak melaksanakan upacara adat ini akan menjadi aib bagi keluarga dan masyarakat setempat.
Sorong serah berasal dari kata sorong yang berarti mendorong dan serah yang berarti menyerahkan, jadi sorong serah merupakan suatu pernyataan persetujuan kedua belah pihak baik dari pihak perempuan maupun pihak laki-laki dalam prosesi suatu perkawinan antara terune (jejaka) dan dedare (gadis).
Upacara sorong serah ini merupakan salah satu rangkaian upacara terpenting pada prosesi perkawinan adat Sasak di Lombok Timur. Adapun prosesi perkawinan secara lengkap adalah sebagai berikut:
    Mesejati
 Mengandung arti bahwa dari pihak laki-laki mengutus beberapa orang tokoh masyarakat setempat atau tokoh adat untuk melaporkan kepada kepala desa atau keliang/kepala dusun untuk mempermaklumkan mengenai perkawinan tersebut tentang jati diri calon pengantin laki-laki dan selanjutnya melaporkan kepada pihak keluarga perempuan.
    Selabar
Mengandung maksud untuk memper maklumkan kepada pihak keluarga calon pengantin perempuan yang ditindaklanjuti dengan pembicaraan adat istiadatnya meliputi aji kerama yang terdiri dari nilai-nilai 33-66-100 dengan dasar penilaian uang kepeng bolong atau kepeng jamaq, bahkan kadang-kadang acara selabar ini dirangkaikan dengan permintaan wali sekaligus.
    Mengambil Wali
Yang dimaksud dengan mengambil wali adalah mengambil wali dari pihak perempuan bisa langsung pada saat selabar atau beberapa hari setelah pelaksanaan selabar dan hal ini tergantung dari kesepakatan dua belah pihak (kapisuka)
    Mengambil Janji
Dalam pelaksanaan mengambil janji ini adalah membicarakan seputar sorong serah dan aji kerama sesuai dengan adat istiadat yang berlaku di dalam desa atau kampung asal calon mempelai perempuan.
    Sorong Serah
pelaksanaan sorong serah ini adalah pengumuman resmi acara perkawinan seorang laki-laki dan seorang perempuan yang disertai dengan penyerahan peralatan mempelai pihak laki-laki atau yang dikenal dengan nama ajen-ajen.
    Nyongkolan
Dalam pelaksanaan nyongkolan keluarga pihak laki-laki disertai oleh kedua mempelai mengunjungi pihak keluarga perempuan yang diiringi oleh kerabat dan handai taulan dengan mempergunakan pakaian adat diiringi gamelan bahkan gendang beleq.
    Balik Lampak
Merupakan salah satu tradisi untuk berkunjung ke rumah orang tua perempuan secara khusus bersama kedua orang tua pihak laki-laki.
4. UPACARA MALEMAN QUNUT DAN MALEMAN LIKURAN
1. Asal-Usul
Malam-malam pada bulan Ramadhan merupakan malam-malam yang penuh dengan berkah Allah SWT. Karena hal tersebut, maka banyak cara yang dilakukan oleh umat Islam agar mendapatkan berkah Ramadhan, diantaranya adalah apa yang dilakukan oleh penganut Islam di Lombok, Nusa Tenggara Barat, Indonesia. Sebagaimana banyak ditulis dalam buku-buku yang mengkaji Islam di Lombok, bahwa secara garis besar di Lombok terdapat dua kelompok besar Islam, yaitu Islam Wetu Telu dan Islam Waktu Lima. Kedua kelompok tersebut mempunyai tatacara yang berbeda dalam mengekspresikan pemahaman mereka terhadap Islam.
Perbedaan di antara kedua kelompok tersebut dapat dilihat, misalnya, dalam melaksanakan Shalat tarawih. Di kalangan Waktu Lima Shalat tarawih dilakukan oleh semua orang laki-laki dan perempuan, tua dan muda, orang biasa maupun tokoh agama. Setiap orang Islam boleh ikut Shalat bersama yang diselenggarakan setiap habis Shalat Isya’. Karena tarawih adalah Shalat sunnah (dianjurkan), maka tidaklah berdosa apabila ditinggalkan, tetapi karena pahala yang dijanjikan oleh Allah begitu besar maka walaupun tidak dapat hadir ke Masjid untuk melaksanakan Shalat tarawih berjamaah,  sebagian orang Waktu Lima melakukannya sendirian di rumah.
Berbeda dengan kelompok Islam Waktu Lima, kelompok Islam Wetu Telu mempunyai expresi yang berbeda dalam menyikapi anjuran melaksanakan Shalat tarawih. Kelompok Islam Wetu Telu juga melaksanakan Shalat tarawih sejak permulaan hingga akhir bulan ramadhan, hanya saja terbatas kepada para Kiainya saja dan hanya diselenggarakan di Masjid Kuno. Masjid Kuno merupakan tempat peribadatan eksklusif bagi para Kiai saja. Orang awam, pemangku dan para wanita tidak diperbolehkan ikut Shalat. Bahkan, secara khusus, wanita dilarang memasuki masjid Kuno karena darah haid para wanita dikhawatirkan dapat mengotori tempat itu. Nampaknya karena alasan tersebut orang-orang selain dari kelompok Kiai tidak melaksanakan Shalat tarawih. Bahkan tidak ada yang diperbolehkan masuk Masjid Kuno kecuali penyilak (semacam pembawa acara) yang bertugas menyampaikan tujuan suatu upacara dan seorang pria yang bertugas mengantar makanan ritual ke dalam Masjid Kuno.
Pada malam bulan Ramadhan, selain pelaksanaan Shalat tarawih, kelompok Islam Wetu Telu mengadakan ritual-ritual yang lain diantaranya adalah upacara Maleman Qunut dan Maleman Likuran. Pelaksanaan kedua upacara tersebut antara Waktu Lima dan Wetu Telu juga berbeda. Upacara-upacara yang dilakukan oleh kelompok Wetu Telu selalu diakhiri dengan acara makan-makan, sedangkan kelompok Islam Waktu Lima lebih berorientasi pada ibadah sunnah misalnya i’tikaf pada 10 hari terakhir dan sebagainya. Dengan kata lain, apa yang dilakukan oleh kelompok Islam Waktu Lima sama dengan kelompok-kelompok Islam lainnya. Berdasarkan hal tersebut, maka fokus penulisan tata ritual Maleman Qunut dan Maleman Likuran adalah ritual yang dilakukan oleh kelompok Islam Wetu Telu.    
3.      Peralatan dan Tempat pelaksanaan
 Kelompok Wetu Telu melaksanaan upacara Maleman Qunut dan Maleman Likuran secara eksklusif di Masjid Kuno, sama seperti pelaksanaan tarawihnya, sedangkan kelompok Islam Waktu Lima di seluruh masjid yang ada.

Mesjid Kuno tempat dilaksanakannya Malemam Qunut dan Maleman Likuran
Adapun peralatan yang dibutuhkan untuk melaksanakan upacara Maleman Qunut dan Maleman Likuran diantaranya adalah:
  1. Ancak adalah piring anyaman bambu yang ditutupi daun pisang. Jumlah ancak disesuikan dengan hitungan malam pelaksanaannya, misalnya malam 21 berarti dua puluh satu ancak, demikian seterusnya sampai malam ke-29 dengan dua puluh sembilan ancak
  2. Daun pisang sebagai penutup ancak.
  3. Lelukon ( bahan lekesan atau sesajen) ditempatkan di atas daun penutup ancak dan diikat dengan tali bamboo.
  4. Sampak adalah piring yang terbuat dari tanah.
  5. Nasi dan lauk pauknya.
  6. Ketan.
  7. Santan kelapa.
  8. Gula merah.
3. Tata Laksana/Pelaksanaan
Pelaksanaan upacara Maleman Qunut dan Maleman Likuran pada hakekatnya sama, yaitu makan bersama. Oleh karena itu agar tidak terjadi pengulangan penulisan, maka dalam tulisan ini hanya akan dijelaskan pelaksanaan upacara Meleman Likuran. Namun agar semua sapek ritual ini dapat dikaji secara lebih komprehensif, maka  pelaksanaan Shalat tarawih yang didalamnya terdapat upacara Maleman Qunut dan Maleman Likuran terlebih dahulu akan dijelaskan sebagai berikut:
  1. Setelah  waktu Mangrib berlalu, para Kiai kelompok Islam Wetu Telu berkumpul di Masjid Kuno.
  2. Setelah semua Kiai berkumpul di Masjid Kuno, termasuk Kiai-Kiai yang bertempat tinggal jauh dari masjid, barulah Shalat tarawih dimulai. Karena hal tersebut, seringkali pelaksanaan Shalat tarawih terlambat karena harus menunggu Kiai-Kiai dari daerah yang jaraknya sangat jauh. Namun demikian, penghulu seringkali memulai tarawih kalau Kiai yang hadir dianggap sudah cukup. Karena kalau harus lebih lama lagi menunggu sampai semua orang hadir, maka konsekuensinya pelaksanaan Shalat akan sangat terlambat.
  3. Pada malam ke-16 Ramadhan, mereka mengadakan Maleman Qunut. Artinya pada Shalat witir ditambah dengan doa qunut. Setelah itu ditutup dengan acara makan bersama.
Setelah memasuki malam keduapuluh satu, kelompok Wetu Telu mempunyai dua macam ritual yaitu Maleman Likuran dan Sedekah Maleman Likuran. Adapun pelaksanaan kedua ritual tersebut adalah sebagai berikut:


a. Maleman Likuran
Memasuki malam ke-21, orang-orang Islam Wetu Telu mengadakan Maleman Likuran. Upacara tersebut diadakan pada malam-malam ganjil diantaranya Maleman Selikur (malam ke-21), Maleman Telulikur (malam ke-23), Maleman Selae (malam ke-25), Maleman Pitulikur (malam ke-27), dan Maleman Siwak Likur (malam ke-29). Pada setiap malam ganjil tersebut, masing-masing pemuka adat secara bergantian membawa ancak ke Masjid Kuno.
  • Penghulu adalah orang pertama yang membawa ancak sebanyak 21 ancak. Jumlah ancak disesuaikan tanggal malam bulan Ramadhannya, misalnya jumlah ancak 21 menunjuk pada malam ke-21 bulan Ramadhan. Setelah itu, setiap pemangku membawa ancak sejumlah Maleman Likuran tersebut.
  • Seperti biasanya para Kiai tersebut melaksanakan Shalat Isyak dan tarawih
  • Setelah selesai petugas pembawa ancak membawa masuk ancak-ancak tersebut ke dalam Masjid Kuno.
  • Selanjutnya penyilak menyampaikan maksud dari keberadaan ancak-ancak tersebut.
  • Setelah itu, para Kiai memakan suguhan yang ada dalam ancak-ancak tersebut.
  • Makanan yang tersisa mereka bawa pulang sebagai berkat.
  • Setelah pulang, maka berakhir sudah acara Maleman Likuran.
b. Sedekah Maleman Likuran
Malam likuran pada bulan Ramadhan dengan bilangan genap (22, 24, 26, dan 28) juga dirayakan dengan makan bersama oleh para Kiai. Perayaan ini disebut Sedekah Maleman Likuran. Suguhan dalam upacara, sampak, ini disediakan secara bergantian oleh para tokoh adat. Sampak berisi segala macam makanan manis yang terbuat dari ketan, santan dan gula merah. Sedekah Maleman Likuran sama dengan pelaksanaan Maleman Likuran dan makan bersama menandai perayaan ritual Sedekah Maleman Likuran sudah berakhir.
5.-UPACARA ADAT NGAYU-AYU
Upacara adat Ngayu-ayu yang dipusatkan di lapangan umum Desa Sembalun Bumbung Kecamatan Sembalun Kabupaten Lombok Timur provinsi Nusa Tenggara Barat pada Kamis (6/6/2013), ditandai dengan saling lempar ketupat (perang topat).
Upacara ini dihadiri tamu dari dalam maupun luar daerah, diantaranya Kesultanan Aceh Darussalam, Raja Bali, Dompu, Sulawesi Selatan, Kutai serta para wisatawan lokal dan mancanegara.

Adat Ngayu-ayu, seperti juga acara tradisi lain, mengandung simbol-simbol yang sebenarnya merupakan upaya mencintai alam, diri sendiri, dan upaya mensyukuri nikmat Ilahi. Air misalnya, sebagai lambang kehidupan. Tanpa air, mustahil seluruh isi jagat raya ini bisa tumbuh dan berkembang.
“Air beserta sumbernya harus dilindungi,” kata salah seorang tokoh adat Sasak (Lombok), Pe Rumedi.

Rumedi menjelaskan, aneka jajanan umumnya berwarna putih dan kuning, warna yang melambangkan kesucian dan keagungan. Boleh jadi, itu sebuah pesan bahwa bahan makanan yang diperoleh berasal dari rezeki yang halal.
Menurutnya, empat perkara yang diajarkan Raden Harya Pati dan Raden Harya Mangujaya sebagai manifestasi hubungan antarsesama manusia, antara manusia dengan Tuhan, dan makhluk hidup dengan jagat raya. “Pesan ini juga tersirat dalam naskah Jatiswara yang dibacakan pada malam Ngayu-ayu yang dilaksanakan sekali dalam tiga tahun yaitu tanggal 5, 15, dan 25 Rajab. Interval waktu itulah kesempatan petani mengevaluasi dan memperkirakan produktivitas lahan, ketersediaan air, cuaca, serangan hama, dan penyakit untuk masa tanam berikutnya,” jelas Rumedi.
Masa tanam padi tahun 2013, lanjut tokoh adat Sasak ini, dalam kalender tradisional suku Sasak (masayarakat pulau Lombok), jatuh pada tahun Be yang diramalkan curah hujan cukup besar namun kurang merata, ada serangan hama walau hasil panen termasuk baik.

"Acara ini untuk menyambut musim tanam padi, tetapi manfaatnya sangat menentukan bagi kelangsungan tanaman pertanian secara keseluruhan," kata Pe Rumedi.
Sementara itu, Bupati Lotim Sukiman Azmi dalam sambutannya menjelaskan, ada dua esensi yang perlu dipetik dari upacara adat Ngayu -ayu yakni, komitmen bersama dalam melestarikan nilai budaya dan kesungguhan hati dan perbuatan dalam menjaga kelestarian alam.

Penetrasi nilai dan budaya luar, kata Bupati, begitu mudah masuk dalam era kehidupan global saat ini, terutama akibat kemajuan teknologi informasi dan komunkasi. Disatu sisi dapat memberikan kemudahan, namun di sisi lain, penggunaan teknologi yang tidak terkontrol merupakan salah satu pintu yang paling mudah dan kuat mempengaruhi perubahan cara pandang, pola pikir, dan sikap mental masyarakat, terutama di kalangan generasi muda.

Ketua Panitia, HM Kartip mengatakan, upacara adat Ngayu-ayu merupakan ajang silaturrahim antara masyarakat dan raja-raja atau Sultan di nusantara ini.  “Sayangnya, tradisi yang sudah yang dilaksanakan sejak 653 tahun silam ini belum dikemas sebagai komoditi wisata,” kata Kartip.
Ngayu-ayu, kata Katip, berasal dari kata Rahayu yang artinya Memohon Keselamatan. Prosesi ini dimulai dengan pengambilan air dari 12 mata air menjelang waktu Maghrib, sehari sebelum upacara digelar. Esoknya, tepat pukul 12.00 waktu setempat, upacara dimulai dengan menyembelih seekor kerbau yang kepalanya ditanam di sudut desa sebagai ungkapan tanda terima kasih kepada Tuhan Yang Maha Kuasa. Setelah itu, dilanjutkan dengan prosesi Ngaturang Sesampang yang terdiri dari sembilan lembar daun sirih dan pinang, yang artinya permohonan berkah. 
Berikutnya, lanjut Katip, adalah prosesi mapakin atau penyambutan air yang berasal dari 12 mata air yang dilengkapi 333 buah ketupat berbagai bentuk dan ukuran. Tak tertinggal, jajanan yang menyerupai alat pertanian. Terakhir, air ini dibawa dengan menggunakan umbaq atau tenunan khas Sasak yang ujungnya digantungi uang bolong. Upacara berakhir setelah air dimasukkan ke Makam Reban Bande yang dipercaya sebagai pahlawan pembunuh jin.
Acara Ngayu-ayu tahun 2013 ini diakhiri dengan pemberian piagam penghargaan kepada para tokoh budaya dan adat setempat yang telah berjasa menjaga dan melestarikan adat dan kebudayaan tersebut.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

MAKALAH KERAJAAN ISLAM DI INDONESIA

KERAJAAN ISLAM DI INDONESIA  BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Indonesia memiliki sejarah yang panjang mengenai kerajaan-ker...