Rabu, 04 Februari 2015

KEANEKA RAGAMAN HAYATI POWER POINT


KEANEKA RAGAMAN HAYATI PPT

Keanekaragaman hayati adalah keanekaragaman yang ditunjukkan dengan adanya  variasi makhluk hidup yang meliputi bentuk, penampilan, jumlah,serta ciri lain

untuk lebih lengkap mengenai presentasi keaneka ragaman hayati silahkan download file power pointnya
DISINI

UPACARA TRADISIONAL DI YOGYAKARTA



UPACARA-UPACARA TRADISIONAL YOGYAKARTA
SUGENGAN PLATARAN
Rangkaian upacara untuk memperingati Tingalan dalem Upacara ini diadakan pada hari ulang tahun Sri Sultan, bertempat di Tratag Bangsal Kencana, dan dimulai kurang lebih pada pukul 10.00 WIB. Upacara ini dipimpin oleh seorang abdi dalem  dari Reh Pengulon. Upacara ini dihadiri antara lain oleh para abdi dalem keparak dan abdi dalem lainnya, serta para kerabat Sri Sultan.
              Pada saat dilakukan Sugengan plataran ini, sesaji untuk keperluan upacara labuhan yang terdiri dari apem mustaka bagian kepala dan bagian anggota badan, serta sejumlah makanan tertentu, juga dihadirkan di sini. Sesaji untuk perlengkapan labuhan yang berupa makanan, ikut dibagikan pada saat sugengan plataran. Sedang perlengkapan berupa apem mustaka beserta benda-benda labuhan yang lain dipindahkan ke Bangsal Sri Manganti.
              Macam-macam Sesaji untuk Sugengan plataran adalah; dhahar Rasulan, dhahar punar, dhahar gebuli, tumpeng megana, tumpeng kendhit, tumpeng urubing dhamar, tumpeng dhuplak, tumpeng ropoh, centhing sumbul, tumpeng sewu, tumpeng yuswa, tumpeng saka guru, sajen buangan, gula, kelapa utuh, telur ayam, beras, ketan kolak se-banyak enam belas besek, seekor ayam jantan yang masih hidup, satu lembar tikar, makanan tertentu sebanyak dua kali enam puluh delapan besek, dan ditambah ketan kolak lagi sebanyak dua puluh besek sebagai pelengkap apem yang dibuat di Sekar kedhaton; masing-masing besek berisi tujuh takir ketan  dan tujuh takir kolak.

 UPACARA REBO WEKASAN
Suatu upacara tradisional yang terdapat di Desa Wonokromo, Kelurahan Wonokromo, Kecamatan Plered, Kabupaten Bantul. Rebo Wekasan berasal dari kata rebo yang berarti hari rabu dan wekasan yang berasal dari kata wekas yang berarti akhir, sedang akhiran an sebagai bentuk kata benda. Jadi rebo wekasan itu hari rabu terakhir. Upacara Rebo Wekasan ialah upacara yang diadakan pada hari rabu terakhir pada bulan Sapar. Upacara ini diadakan pada malam hari mulai pukul 07.00 sore sampai pukul 05.00. Upacara Rebo Wekasan dilakukan dua tahap:
-          Tahap pertama: orang-orang yang mengadakan selamatan bertempat di tempuran yaitu pertemuan antara Sungai Opak dan Sungai Gajah Wong. Upacara ini dimulai pukul 20.00. Selain mengadakan upacara selamatan para hadirin mandi di tempuran pula. Sajen-sajen yang mereka persiapkan antara lain: nasi hitam, nasi kuning, nasi merah, kembang telon. Sajen yang perlu dipersiapkan diantaranya: sekul suci bumbu lembaran, ingkung ayam, lalapan, sekar kenyah, uang seratus, tukon pasar, jenang abang, jenang putih, jenang abang putih, jenang baro-baro, nasi golong dengan lauk pauknya, seekor ayam jago yang masih hidup
-          Pada tahap kedua upacara dilakukan di Gunung Permoni yang terletak di sebelah selatan Desa Wonokromo. Menurut kepercayaan penduduk, batu yang terdapat di sana, dahulu merupakan tempat pertemuan antara Sultan Agung dengan Nyai Roro Kidul sehingga dianggap keramat dan sebagai tempat untuk nenepi. Tempat lain yang dianggap keramat yaitu Guwa Siluman yang dipercaya dapat memberi berkah kepada penduduk.
Sajen yang dipersiapkan untuk upacara Gunung Permoni yaitu:
-          Nasi ambengan dengan lauk pauk yang terdiri dari peyek, tempe, krupuk, telor dadar, sayur lombok dan sayur kluwih dengan kacang panjang.
-          Kembang telon yang terdiri dari kembang kenongo, kembang kanthil dan kembang mawar.
-          Menyan obong (dupa).
Sajen tersebut kemudian diletakkan di baskom, ancak, dan tampah. Maksud dari upacara ini adalah untuk mengingatkan anak cucu atas terjadinya musibah penyalkit pada masa silam yang tak dapat terhindarkan. Dengan mengadakan selamatan-selamatan, nenepi di tempat yang dianggap keramat pada hari Rebo Wekasan itu, tujuan mereka adalah mohon keselamatan, dan dikabulkan segala cita-citanya. Makanan khas pada upacara Rebo wekasan adalah lemper yang banyak dijajakan oleh para penjual di sekitar lokasi upacara.


UPACARA KUPATAN JOLOSUTRO
Kupatan dari kata kupat yang berarti ketupat, sedang Jolosutro adalah nama dari suatu desa di Kelurahan Sri Mulyo, Kecamatan Piyungan Kabupaten Bantul. Kupatan di Jolosutro ini bagi penduduk setempat merupakan upacara bersih desa/Rasulan. Pelaksanaan upacara ini dilakukan dalam dua tahap:
1)      Tahap pertama upacara nyekar pada makam leluhur, ke makam Sunan Geseng. Persiapan upacara dilakukan oleh kepala dukuh, juru kunci makam, kepala desa, keluarga kepala desa lama, dan beberapa tokoh masyarakat serta orang-orang yang dianggap mampu. Makanan untuk upacara berupa nasi yang ditempatkan pada ancak dan tenggak kemudian ditutup kain, disebut ambeng. Adapun ambeng berisi sekul wajar dengan lauk pauk (sambal goreng semur, gudeg, rempeyek, tempe bakar, dan lain-lain); sekul gurih dengan rangkaiannya (sambel gepeng, ingkung ayam); tukon pasar (juadah, jenang, wajik, roti) dilengkapi dengan buah-buah (mangga, pisang, jambu, jeruk, salak). Makanan khusus yang dipersiapkan antara lain rengginan, putu kering dan ketan enten-enten.
2)      Tahap kedua upacara Rasulan. Dilakukan esok hari setelah upacara nyekar. Para penduduk mengumpulkan ambeng ke tempat upacara. Setelah ambeng tersebut terkumpul dan diberi doa oleh modin, maka dibagikan kepada para pengunjung dan tamu undangan. Dengan berakhirnya acara makan bersama berarti selesailah upacara bersih desa, rasulan atau kupatan yang diselenggarakan di komplek makam Sentono.
Setelah itu dilakukan upacara di rumah dukuh masing-masing yang rangkaian upacaranya dengan di makam Sentono, tetapi upacara lebih bersifat intern.
              Penyelenggaraan upacara termasuk sebagi ungkapan rasa syukur terhadap para leluhur dan Nabi Muhammad SAW dan Allah SWT. Selain itu ditujukan pula kepada Eyang Sunan Geseng sebagai cikal bakal dan pepunden seluruh masyarakat Jolosutro. Waktu penyelenggaraan upacara sesudah masa panen terutama pada hari Senin, sedangkan pasarannya semua pasaran dapat digunakan kecuali pasaran Pon dan selalu diadakan sekitar pertengahan bulan, bersamaan dengan bulan purnama.




UPACARA CAOS DHAHAR NYAI PANGGUNG DAN KIAI KOSA
Caos dhahar dalam bahasa daerah berarti menyajikan santapan. Nyai Panggung dan Kiai Kosa adalah nama tokoh-tokoh dhanyang yang menurut kepercayaan menjadi penghuni pohon wringin sepuh. Kedua tokoh dhanyang itu dianggap sebagai makhluk halus yang menjaga/menguasai (mbaureksa) wringin sepuh yang terdapat di komplek bekas hutan Mentaok. Menurut legenda Nyai Panggung dan Kiai Kosa adalah dua orang abdi Kanjeng Panembahan Senopati, raja pertama kerajaan Mataram, sedangkan wringin sepuh adalah pohon beringin yang ditanam oleh Kanjeng Sunan Kalijaga di hutan Mentaok bumi Mataram, tempat Kerajaan Mataram pertama didirikan. Upacara ini terdiri dari dua tahap:
-          Mempersembahkan sesajen bunga-bunga beserta kemenyan yang dibakar diiringi doa permohonan yang dilakukan oleh juru kunci di kaki batang wringin sepuh.
-          Megambil dua helai daun wringin sepuh yang sudah rontok (jatuh).
Maksud dan tujuan dari upacara ini adalah untuk memohon pertolongan, menyatakan rasa terima kasih, kepada dhanyang-dhanyang dan ikut memuliakan pepundhen yang bersemayam di Makam Kotagede. Waktu penyelenggaraan upacara siang sore dan malam hari, kecuali pada saat-saat adzan sholat lima waktu dan pada waktu sholat Jumat. Sedangkan untuk tahap “dhahar suket pethak ganda arum” dianjurkan pada malam hari Selasa Kliwon atau malam hari Jumat Kliwon.
              Orang yang berhajad untuk upacara caos dhahar Nyai Panggung dan Kiai Kosa setelah menentukan saat yang tepat kemudian membeli bunga pepakan (berwarna-warni). Pada tahap “caos dhahar sekul pethak ganda arum” di rumah orang yang mempunyai hajat itu mempersiapkan sesajen yang akan dihaturkan. Selanjutnya untuk mempersembahkan hewan korban, orang yang mempunyai hajat itu harus mempersiapkan seekor korban serta sesajen seutuhnya. Sebagai perlengkapan upacara:
-          Untuk tahap “caos dhahar Nyai Panggung, Kiai Kosa” di wringin sepuh. Perlengkapan upacara berupa sesajen bunga pepakan (warna-warni) 1 bungkus, beberapa potong kemenyan, daun pembungkus dan sulur.
-          Untuk tahap “caos dhahar sekul pethak ganda arum” di rumah dengan perlengkapan:
§         satu piring nasi putih
§         satu piring ketan kuning
§         satu piring kerak nasi
§         satu butir telur goreng ditaruh diatas talam/nampi
§         satu cangkir kopi pahit
§         satu cangkir wedang teh pahit
§         satu piring buburkacang hijau
§         sekeping gula jawa
§         sebatang rokok klembak menyan
§         dua sisir pisang raja
§         dua helai daun dadap serep
§         beberapa batang kemenyan
§         sebuah anglo berisi arang untuk perdupaan
§         jimat wringin sepuh
§         korek api
-          untuk tahap pemberian hewan kurban di wringin sepuh perlengkapan upacara berupa:
§          seekor hewan kurban, berupa ayam atau kambing
§          aneka macam sesajian seperti tercantum di atas
§          Pisau untuk menyembelih hewa kurban.

UPACARA BLEDHEG
Menurut kisah kejawen, bledheg itu mempunyai sangkut paut dengan mitos antara Kiai Ageng Selo yang dianggap menaklukkan bledheg atau dapat menangkap petir. Dalam hubungan dengan peristiwa terjadinya petir atau bledheg, masyarakat tidak mengadakan upacara secara khusus, mereka hanya mengucapkan mantra-mantra. Untuk menanggapi bledheg ini masyarakat sering melakukan tindakan-tindakan tertentu yang merupakan naluri perbutan nenek moyangnya. Tindakan tersebut bertujuan agar mereka selamat, terhindar dari petir.
              Waktu untuk membacakan mantra di rumah, tepatnya di depan pintu dan di luar rumah pada saat bledheg berbunyi. Orang yang sedang dalam perjalanan dapat mencari daun bledheg (daun jarak) dan diselipkan di tutup kepala, dipetik suket grinting, dimasukkan dalam saku.

UPACARA BERSIH TLAGA
Bersih tlaga merupakan upacara yang setiap tahun diadakan di Desa Banjarejo, Kecamatan Tepus, Kabupaten Gunung Kidul. Bersih tlaga ini merupakan suatu tradisi membersihkan tlaga secara bersama-sama oleh warga yang menggunakannya. Tlaga yang dimaksud disini adalah tandon air hujan atau reservair. Adapun urut-urtannya adalah sebagai berikut:
-        Membersihkan telaga
-        Menyembelih hewan ternak
-        Kenduri selamatan
Maksud dari upacara ini adalah mohon kelestarian dan memperingati hari ketika telaga itu dibuat. Menurut kepercayan setempat, air ada yang menjaga dan yang bertugas khusus menjaga air tadi adalah Bagindho Ilir. Waktu penyelenggaraan upacara untuk Kelurahan Banjarejo yang bertempat di telaga Ngalasomba pada hari Jumat Kliwon setiap tahun sesudah panen padi. Pada jam 11.00 semua masyarakat yang menggunakan air dari telaga tersebut terlibat dalam upacara terutama kelapa keluarga, serta dihadiri oleh kepala desa dan pamong desa. Pantangan-pantangan dalam upacara ini adalah bahwa yang memasak sayur harus orang laki-laki dan tidak boleh dicicipi. Tempat memasaknya juga harus di telaga itu pula.

UPACARA RASULAN
Upacara Rasulan atau bersih desa (selamatan rasul/metri desa) berkaitan dengan upacara massal. Upacara ini diadakan setahun sekali sehabis panen seperti yang dilaksanakan di kelurahan Kemiri, Kecamatan Tepus, Kabupaten Gunung Kidul.
              Disebut Rasul/Rasulan karena dalam upacara selamatan tersebut salah satu tokoh yang dihormati, diselamati sekaligus dimintai berkah adalah Nabi Muhammad yang menjadi Rasul Tuhan. Disebut bersih desa/metri desa karena dalam upacara tadi disertai sebuah tindakan yang bermanfaat, yaitu dikerjakan secara bersama-sama. Upacara rasulan atau bersih desa dibagi beberapa tahap, yaitu kerja bakti gotong royong membersihkan tempat umum, selamatan kenduri, kemudian dilanjutkan dengan kirim doa. Maksud dari penyelenggaraan upacara ini adalah memohon keselamatan, dan sebagai penuangan rasa terima kasih yang mendalam atas bantuan yang telah diberikan kepada para petani selama satu tahun.
              Dalam upacara selamatan bersih desa, tokoh-tokoh yang disebut dalam ujub yaitu Pangeran/Tuhan, Nyai Loro Kidul, Ki Amongsari-Nyai Amongsari, Kiai Bodho, Nyai Bodho, leluhur desa, Nabi Leyas (Elyas), Nabi Kilir (Khidzir), Kiai Kundhi, Nyai Kundhi, dan Kiai Sayang-Nyai Sayang. Upacara Rasulan di Kelurahan Kemiri, Kecamatan Tepus, Kabupaten Gunung Kidul diselenggarakan pada hari Rebo Wage, ± jam 15.00 – 17.00 sehabis panen. Dipilih hari Rebo karena hari itu dianggap baik. Tempat penyelenggaraan di Bale Desa.
              Penyelenggaraan teknis upacara untuk tingkat kelurahan adalah kepala desa atau wakilnya (carik) dan kaum. Adapun orang-orang yang terlibat dalam upacara ini antara lain: Petugas khusus yang terdiri dari seorang yang membuat keranjang daun kelapa muda yang (panjang ilang), dua orang bertugas mengisi sesajen-sesajen dan orang yang menempatkan panjang ilalang di resan. Petugas pembentu terdiri dari orang yang bertugas menempatkan panjang ilang di tempat-tempat resan, orang yang bertugas memikul dan membawa ancak yang berisi nasi selamatan beserta lauk-pauknya, dan beberapa orang yang bertugas memasak nasi selamatan.
              Perlengkapan untuk persiapan penyelenggaraan upacara antara lain: sega wuduk, ingkung, sekul jawi/ambengan, jenang putih, putih abang, jenang baro-baro, jenang pliringan, tumpeng mong-mong, tumpeng alus, bathok bolu, tape ketela. Tiap-tiap pedukuhan yang mengikuti upacara selamatan rasul, semuanya membuat sekul wilujengan yang ditempatkan di gunungan yang berisi lawuh sapitan terdiri dari krupuk, tempe goreng dan peyek yang dijepit semuanya. Gunungan untuk tiap-tiap pedukuhan tersebut selanjutnya dikumpulkan di Balai Desa, sebagai tempat berlangsungnya upacara Rasulan.
              Hal-hal lain yang harus dihindari pada saat upacara rasulan diantaranya; dalam melaksanakan kirim doa dengan menyajikan panjang ilalang berisi nasi selamatan untuk di resan, tidak boleh dilakukan sebelum melaksanakan ijab qabul untuk sedekah Rasul, karena dinilai belum sah apabila belum diberi doa/mantera.
UPACARA SEKATEN
Arti dari kata sekaten banyak sekali, diantaranya:
1.        Sekaten berasal dari kata sekati ialah nama dari dua perangkat gamelan pusaka keraton yang ditabuh dalam rangkaian acara peringatan hari Maulid Nabi Muhammad SAW.
2.        Suka dan ati yang berarti suka hati atau senang hati.
3.        Sesek dan ati.
4.        Sekati yang berarti satu kata. Pendapat itu dikemukakan berdasarkan anggapan bahwa rencu (bagian yang berbentuk bulat dan menonjol pada gong) dari gamelan sekaten itu beratnya satukati.
5.        Sakapti dari kapti yang berarti maksud atau kehendak. Atau saeko kapti yang berarti satu hati.
6.        Syahadata ini maksudnya ialah dua kalimat syahadat.
7.        Upacara ini merupakan perpaduan antara kegiatan dakwah dan seni.
Upacara ini waktunya selama 7 hari dari tanggal 5 sampai 11 pada bulan Mulud/Rabiulawal untuk memperingati hari lahir Nabi Muhammad SAW dengan puncak acara keluarnya gunungan dari keraton menuju Masjid Besar. Tahap-tahap dalam sekaten dimulai dengan dibunyikan pertama kali gamelan pusaka sebagai pertanda dimulainya upacara sekaten dan diselenggarakan upacara udhik-udhik/gamelan dipindahkan ke halaman Masjid Besar/ Sri Sultan dan pengiringnya hadir di Masjid Besar untuk mendengarkan pembacaan riwayat Maulid Nabi Muhammad SAW dan diselenggarakan upacara udhik-udhik di pagongan dan serambi Masjid Besar dan terakhir dikembalikannya gamelan sekaten dari halaman Masjid Besar ke dalam keraton untuk menandai ditutupnya upacara sekaten.
              Tujuan lebih lanjut upacara ini untuk sarana penyebaran agama Islam. Gamelan sekaten dianggap benda pusaka keraton yang dinamakan Kiai Sekati. Gamelan ini terdiri dari dua rancak yaitu Kiai Guntur Medu dan Kiai Nogowilaga yang tidak dapat dipisah-pisahkan.
              Guntur madu adalah kata majemuk dari kata guntur dan madu. Kata bahasa Jawa guntur berarti runtuh, sedangkan madu secara harfiah berarti madu, namun secara kiasan bermakna anugerah. Oleh karena itu, guntur madu mengandung arti anugerah yang turun. Nogowilogo adalah kata majemuk dari kata nogo, wi, dan logo. Kata bahasa Jawa, nogo secara harfiah berarti nogo, seekor ular dalam mitologi. Namun, sebagai kiasan bermakna lestari atau terus-menerus. Sedangkan kata wi bermakna unggul, dan kata logo berarti laga, perang. Nogowilogo mengandung arti lestari menang perang.
              Perbendaharaan gending-gending yang khusus diperdengarkan selama sekaten berjumlah 21 judul atau bahkan mungkin lebih. Lagu pembukaan yang selalu diperdengarkan ialah gendhing Wirangrong. Yang cukup menarik adalah bahwa salah satu dari perbendaharaan lagu-lagu itu, berjudul bahsa Melayu, yaitu gendhing Burung Putih. Setiap menjelang tanggal 5 bulan Mulud kedua gamelan itu dibersihkan dan diberi sesajen. Kemudin selepas Isya’ kedua gamelan pusaka itu ditabuh untuk diperdengarkan dalam kompleks keraton sebagai isyarat resmi pembukaan sekaten dan tepat pada pukul 12.00 tengah malam kedua gamelan pusaka ini diusung ke pelataran Masjid Besar untuk ditempatkan di pagongan. Kiai Guntur Madu disemayamkan di pagongan selatan, sedangkan Kiai Nogowilogo di pagongan utara.
              Pada tanggal 11 bulan Mulud/Rabiulawal, pada pukul 24.00, Kiai Guntur Madu dan Kiai Nogowilogo diusung kembali ke keraton untuk disemayamkan di tempat masing-masing.

GUNUNGAN
Kata gunungan dalam bahasa Jawa bermakna “gunung-gunungan”, seperti gunung, menyeruapi gunung. Gunungan adalah salah satu wujud sesajian selamatan (dalam bahasa Jawa disebut sajen wilujengan) yang khusus dibuat untuk disajikan dalam selamatan negara (dalam bahasa Jawa disebut Wilujengan Negari) setiap garebeg dan Maleman atau Selikuran.
              Enam macam gununganyang biasa digunakan dalam upacara Garebeg yaitu: gunungan lanang, gunungan wadon, gunungan gepak, gunungan pawuhan, gunungan dharat, gunungan kutug/bromo. Dari keenam macam gunungan itu yang selalu disajikan dalam setiap garebeg hanya lima macam yaitu: gunungan lanang, gunungan wadon, gunungan gepak, gunungan pawuhan dan gunungan dharat. Sedangkan gunungan kutug/bromo hanya dibuat setiap delapan tahun sekali bertepatan dengan tahun Dal, untuk disajikan dalam selamatan negara garebeg Mulud Dal.
              Sesajian gunungan adalah sesajian sakral yang sudah disucikan dengan doa mantra. Oleh karenanya gunungan dianggap mengandung kekuatan magis yang mampu menolak bala. Anggapan itu diperkuat oleh kenyataan bahwa sesajian gunungan dilandasi kain bangun tulak. Bangunan khusus untuk pembuatan gunungan dinamakan omah gunungan (omah = rumah).

UPACARA ADAT REBO PUNGKASAN
Upacara Rebo Wekasan merupakan
upacara adat yang terdapat di Desa Wonokromo, Kecamatan. Plered, Kabupaten
Bantui, Propinsi DIY. Dengan ibukota propinsi, desa tersebut berjarak 10 km ke
arah Selatan. Desa ini dibagi menjadi 12 dusun, yaitu Dusun Wonokromo I,
Wonokromo II, Karanganom, Ketanggajati, Sarean, Jejeran I, Jejeran II, Brajan,
Pandes I, Pandes II, dan Demangan Kapen.Desa Wonokromo mempunyai wilayah
seluas 21,34 km2 dengan penduduk berjumlah 9.150 juta dan Kepala Keluarganya ada
2.367. Dengan melihat data tersebut berarti kepadatan penduduk rata-rata 2.108
juta jiwa/km2 dan jumlah rata-rata 3,87 jiwa/KK, dan jumlah penduduk sebesar
9.150 jiwa, sebagian besar beragama Islam dan yang sebagian kecil ada yang
beragama Katholik, Kristen, Hindu, dan Budha. Mengenai fasilitas ibadah dapat
dikatakan hampir setiap RW memiliki masjid atau langgar dan di wilayah ini
terkenal dengan daerah santri.Menurut Dewanto (1996 : 28), 75 % dan penduduk
Wonokromo mempunyai mata pencaharian sebagai petani, 15 % pedagang, dan
selebihnya ada yang menjadi PNS, ABRI, dan lain-lain, tukang, swasta.Mengenai Upacara Rebo Wekasan atau Rebo Pungkasan ini
akan dibahas tentang nama upacara, tujuan upacara, cerita/mitos upacara,
komponen upacara, dan sesaji/peralatan upacara.
UPACARA YANG ADA DI WONOKROMO

ini disebut Rebo Pungkasan atau Rebo Wekasan.
Disebut Rebo Pungkasan atau Rebo
Wekasan karena upacara ini diadakan pada hari Rabu terakhir pada bulan Sapar.
Kata Sapar ini identik dengan ucapan kata arab syafar yang berarti bulan Arab
yang kedua. Selanjutaya kata syafar yang identik dengan kata sapar ini menjadi
salah sebuah nama bulan Jawa yang kedua dan jumlah bulan yang 12 itu (Tashadi
dkk, 1992/1993).Dalam upacara ini sebagai puncak
acaranya adalah Selasa malam atau malem Rebo.Dahulu upacara ini dipusatkan di
depan masjid dan biasanya seminggu sebelum puncak acara sudah diadakan keramaian,
yaitu pasar malam. Upacara ini dipilih hari Rabu, konon hari Rabu terakhir dalam
bulan Sapar itu merupakan hari perternuan antara Sri Sultan HB I dengan mBah
Kyai Faqih Usman. Berdasarkan pada hari itulah kemudian masyarakat menamakannya
dengan Upacara Rebo Wekasan atau Rebo Pungkasan.Maksud dan tujuan
penyelenggaraan Upacara Rebo Wekasan adalah sebagai ungkapan rasa syukur kepada
Tuhan Yang Maha Kuasa, serta seorang kyai pertama di Wonokromo – Kyai Faqih
Usman atau Kyai Welit - yang bisa menyembuhkan segala penyakit dan dapat
memberikan berkah untuk kesuksesan usaha atau untuk tujuan-tujuan tertentu.Mitos tentang Upacara Rebo
Wekasan ada beberapa versi. Narnun inti dan upacara tersebut ada kesamaan, yakni
tentang kyai yang tinggal di Desa Wonokromo dan mempunyai kelebihan mampu
menyembuhkan berbagai macam penyakit dan dapat memberikan berkah untuk
kesuksesan usaha dan tujuan-tujuan tertentu seperti membuat tolak bala dan
sebagainya.
Untuk lebih jelasnya akan
diuraikan di bawah ini :
Rebo Wekasan sudah ada sejak
tahun 1784 dan sampai sekarang upacara ini masih tetap dilestarikan. Pada jaman
itu hidup seorang kyai yang bemama mBah Faqih Usman. Tokoh kyai yang kemudian
lebih dikenal dengan nama Kyai Wonokromo Pertama atau Kyai Welit. Pada masa itu
hidupnya mempunyai kelebihan ilmu yang sangat baik di bidang agama maupun bidang
ketabiban atau penyembuhan penyakit.
Pada waktu itu masyarakat
Wonokromo meyakini babwa mBah Kyai mampu mengobati penyakit dan metode yang
digunakan atau dipraktekkan mBah Kyai dalam pengobatan adalah dengan cara
disuwuk, yakni dibacakan ayat-ayat AI-Qur'an pada segelas air yang kemudian
diminumkan kepada pasiennya dapat sembuh.
Seperti telah dirnuat dalam SKH
KR 1983, bahwa pada saat itu di daerah Wonokromo dan sekitamya sedang terjadi
pagebluk yang mengancam keselamatan jiwa banyak orang. Tak heran jika kemudian
masyarakat berbondong-bondong kepada mBah Kyai untuk meminta obat dan meminta
berkah keselamatan. Ketenaran mBah Kyai semakin tersebar sampai ke pelosok
daerah, sehingga yang datang berobatpun semakin bertambah banyak, maka di
sekitar masjid lalu dipadati para pedagang yang ingin mengais reJeki dan para
tamu. Suasana seperti itu dapat mengganggu akan keagungan masjid dan sangat
merepotkan jamaah yang akan memasuki masjid untuk sholat. Pada suatu saat mBah
Kyai menemukan cara paling efektif untuk memberikan pengobatan dan berkah
keselamatan kepada umatnya, yakni menyuwuk telaga di pertempuran Kali Opak dan
Kali Gajahwong yang berada di sebelah Timur kampung Wonokromo atau tepatnya di
depan masjid.
Berkat ketenaran mBah Kyai Faqih,
maka lama kelamaan sampai terdengar oleh : 
Sri Sultan HB 1. Untuk membuktikan berita tersebut kemudian mengutus
empat orang prajuritnya supaya membawa mBah Kyai Faqih menghadap ke kraton dan
memperagakan ilmunya itu. Temyata ilmu mBah Kyai itu mendapat sanjungan dari Sri
Sultan HB I karena memang setelah masyarakat yang sakit itu diobati dan sembuh.
Sepeninggal mBah Kyai, lalu
asyarakat meyakini bahwa mandi di pertempuran Kali Opak dan Kali Gajahwon dapat
menyembuhkan berbagai penyakit dan mendatangkan .  berkah ketenteraman, sehingga setiap hari Rabu Wekasan masyarakat
berbondong- bondong untuk mencari berkah. Dengan mandi di pertempuran itu
dimaksudkan manusia bersuci atau selalu "wisuh" untuk menghilangkan
kotoran-kotoran yang melekat di dalam tubuh. Namun masyarakat mengartikan lain,
bahwa "wisuh" atau mandi tadi diartikan lain, yakni mandi "
dengan "misuh" - berkata kotor. Menurut narasumber bahwa hal tersebut
merupakan kepercayaan orang-orang   yang dating dari luar daerah , sebab masyarakat Wonokromo sendiri tidak menggangap seperti itu, karena orang – orangnya beragama Islam yang kuat beragama dan menghindari syirik

SEDEKAH LAUT PONCOSARI
Upacara Sedekah Laut di
Poncosari ini berada di Dusun Ngentak, Desa Poncosari, Kecamatan Srandakan,
Kabupaten Bantui, Propinsi DIY. Dengan ibukota propinsi, desa tersebut berjarak
sekitar 27 km ke arah Tenggara dan dengan ibukota kabupaten berjarak 17 km ke
arah Tenggara juga. Desa ini dibagi menjadi 24 dusun, 52 RW, dan 122 RT. Ke-24
dusun tersebut diantaranya adalah Dusun Ngentak yang dipakai untuk upacara adat
yaitu Sedekah Laut.
Desa Poncosari mempunyai wilayah
seluas 11,86 km2 dengan jumlah penduduk sekitar 11.807 jiwa dan KK-nya ada
2.724. Dengan melihat data yang ada itu, maka dapat dilihat bahwa kepadatan
penduduk rata-rata 996 jiwal/km2 dan 4,33 jiwa/KK. Dari penduduk sebesar itu
sebagian besar adalah pemeluk agama Islam. Meskipun demikian mereka ini masih
tetap melaksanakan upacara adat yang dilaksanakan oleh para pendahulunya,
misalnya Upacara Sedekah Laut, Upacara Anggara Kasih, dan sebagainya. Dalam
kaitannya dengan upacara ini akan diuraikan tentang nama upacara, tujuan upacara,
cerita/mitos upacara, dan komponen upacara.

UPACARA NGOMBEKAKE JARAN KEPANG, SUMBERARUM, MOYUDAN
Didesa Sumberarum, Moyudan banyak dikenal cerita-cerita dongeng tentang kepahlawanan
Pangeran Diponegoro, diantaranya cerita Putri Cinde Wilis, cerita ini menggambarkan
kepahlawanan prajurit wanita pasukan Pangeran Diponegoro yaitu Nyi Ageng Serang,
cerita ini berpengaruh dalam menjiwai permainan jathilan. Permainan Jathilan dipengaruhi
adanya sendang yang berada didesa Sumberan yang dianggap keramat sendang itu disebut
Si Bobor ( terdiri dari empat sendang ), sendang si Gege, sendang Si Boho, Sendang
Doya. Upacara Ngmbekke jaran kepang menurut cerita sudah ada sejak Laskar Pangeran
Diponegoro beristirahat di desa Sumberarum. Orang yang pertama kali mengadakan
upacara tersebut adalah Demang Capawisa. Upacara ini pada intinya dilatarbelakangi
adanya cerita-cerita kepahlawanan dan kesaktian Pangeran Diponegoro dan laskarnya
yang menggambarkan adanya kekuatan supranatural dan warga masyarakat menyakini
dengan melakukan upacara tersebut (bagi pemain jaran kepang) akan juga mewarisi
keampuhan Pangeran Diponegoro dan laskarya, upacara ini dilakukan di Sendang Si
Bobor. Nama sendang Si Bobor adalah pemberian dari Pengeran Diponegoro dan di
dekat sendang itu ada Masjid yang dulu pernah dipakai untuk sembahyang Pangeran
Diponegoro.

Prosesi Upacara ngombekke Jaran kepang pelaksanaan tidak tentu tergantung kelompok
- kelompok jaran kepang yang menginginkan upacara. Waktu pelaksanaan Selasa Kliwon
atau Jum'at Kliwon, pelaksanaan nya siang hari setelah sembah yang luhur .
Tahap - tahap pelaksanaan Upacara :
a. Mendaftarkan ke juru kunci , selanjutnya juru kunci menentukan waktunya

b. Rombongan jathilan datang dengan pakaian lengkap dan berjalan kaki

c. Rombongan diterima juru kunci

d. Pelaksanaan Upacara
Rangkaian sesaji upacara :

Bunga tujuh macam, kanthil, kenanga, mawar, melati dan jenis bunga lainnya dan
kemenyan. Untuk rangkaian sesaji ini dipandu oleh pembaca doa yaitu juru kunci.
Pelaksanaan Upacara :
Setelah semua pemain siap dan telah didoakan oleh juru kunci semua pemain menari/
Njathil sampai ada yang trance/ndadi. pada saat trance pemain jathilan masuk
ke sendang bersama dengan pawangnya untuk disadarkan. Para pemain jathilan percaya
setelah melaksanakan upacara ngombekke jaran kepang akan mendapatkan tuah kekebalan,
kekuatan dan keberanian saat ndadi.
Bagi pawang-pawang jathilan yang minta tuah kekebalan dikemudikan secara khusus
oleh juru kunci. Pada saat pelaksanaan upacara ini mampu menyedot warga daerah
setempat dan luar desa untuk ikut memeriahkan dan menyaksikan yang menjadi suguhan
atraksi kesenian bagi pariwisata budaya dan ritual.

Upacara Kupatan Jolosutro
Upacara adat ini terletak di desa Srimulyo, Piyungan Bantul, bertempat di makam
Sunan Geseng yang terletak di dusun Jolosutro.

Menurut legenda rakyat setempat pada waktu permaisuri Pangeran Sedo Krapyak atau
Mas Jalang mengandung beliau mengidamkan ikan yang bersisik emas atau dikenal
dengan nama wader neng sisik kencana, oleh karen sulitnya mencari ikan tersebut
lalu diadakan sayembara. Ada seorng yang menyanggupi mengikuti sayembara yaitu
Sunan Geseng. Sunan Geseng mengajukan syarat agar disediakan benang sutra untuk
digunakan sebagai jala, karena ikan tersebut hanya bisa ditangkap dengan jala
terbuat dari benang sutra, akhirnya sayembara itu dimenangkan dan tempat untuk
membuat jala itu kemudian diberi nama Jolosutro.

Sebagai tanda terima kasih atas jasa Sunan Geseng ia diangkat memjadi sesepuh
kerajaan dan dimintanya tinggal di kerajaan. Akan tetapi Sunan Geseng menolaknya
ia memiliki tetap toinggal di Jolosutro. Di jolosutro ia semakin berpengaruh dan
segala macam kegiatan selalu minta pertimbangannya. Sejak jaman Sunan Geseng masih
hidup, masyarakat jolosutro pada setiap tahunnya selalu melaksanakan upacara rasul;an
setiap habis panan padi. Pada dsaat upacara rasulan berlangsung banyak tamu yang
datang bahkan juga termasuk dari Kraton . Untuk menjamu tau dari Kraton dalam
setiap upacara selalu dihidangkan makanan yang bukan termasuk sesaji yaitu berupa
ketupat berikut lauk pauknya. Namum tidak seperti ketupat pada umumnya ketupat
Jolosutro dibungkus dengan daun gebang dan ukurannya lebih besar yaitu 15 x 15
cm sampai 356 x35 cm .Sedangkan cara mengolahnya berbeda dengan ketupat biasa
sehingga rasanya juga lain, lauk pauknya pun berupa gudheg manggar . Ketupat rasulan
ini menjadi hidangan khas pada upacara rasulan di Jolosutro sampai sekarang.

Maksud dan tujuan dari upacara ini adalah sebagai ungkapan rasa syukur terhadap
Tuhan Yang Maha Esa yang telah melimpahkan berkah dan karunianya sehingga hasil
pertaniannya bisa berhasil dengan baik ,disamping itu juga mihon berkah agar hasil
pertanian yang akan datang bisa lebih baik dari tahun kemarin. Disamping itu juga
mendoakan kepada nabi Muhammad SAW dan para leluhur termasuk Sunan Geseng agar
diberi selalu rahamat dan berkah.

Upacara kupatan Jolosutro dilaksanakan sesudah masa panen padi , hari senin legi
bulan Sapar. Namun karena waktu panen mengalami perubahan untuk bulan tidak mesti
bulan Sapar dan nama pasaran juga tidak mesti legi asal bukan Pon, sedangkan tanggalnya
berdasarkan pedoman penanggalan jawa yaitu tanggal 10 s.d. 15 saat menjelang bulan
purnama. Puncak acara dilaksanakan pada siang hari antara pukul 14.00 - 16.00
wib.
Peralatan Upacara.

Sesaji merupakan salah satu unsur yang harus ada dalam pelaksanaan upacara tradisional
. Adapun sesaji dalam upacara Kupatan Jolosutro adalah :

a. Untuk Nyekar.

- Bunga rasulan/

Bunga telon : Bunga yang terdiri dari mawar, melati, kenanga, melambangkan

keharuman doa yang keluar dari hati tulus dan bau harum melambangkankemuliaan.

- Kemenyan : Sarana permohonan pada waktu orang berdoa. Kemenyan yang

dipakai akan menimbulkan asap yang berbau harum.

b. Untuk Kenduri.

- Nasi ambeng : Nasi putih biasa dengan rangkaian lauk pauk seperti sambal

goreng, semur, gudheg, rempeyek, tempe bakar dsb. Nasi ambeng ini sebagai simbul
permohonan kepada Tuhan agar arwah para leluhur diampuni Tuhan.

- Nasi Gurih : Nasi putih yang diberi santan, garam dan daun salam sehingga


rasanya gurih. Nasi ini sebagai simbul permohonan keselamatan kepada Nabi Muhammad
Saw beserta sahabat-sahabatnya.
- Ingkung : Ayam yang dimasak secara utuh diberi bumbu tidak pedas dan

santan ingkung melambangkan bayi yang masih suci belum mempunyai kesalahan.
Ingkung juga melambangkan kepasrahan pada Tuhan.
- Jajan Pasar : Sesaji yang terdiri dari bermacam-macam makanan yang dibeli

di pasar. Jajan pasar bernakna suatu harapan agar warga masyarakat dusun Jolosutro
memperoleh berkah dari Tuhan.
- Hasil Palawija : Bermacam-macam hasil pertanian masyarakat yang terdiri dari


ketela pohon, ubi-ubian, jagung, padi, dsb. Hasil palawija ini melambangkan
penghormatan masyarakat Jalasutra terhadap para leluhur.
- Rengginan : Ketan dimasak/dikukus dan diberi bumbu secukupnya, setelah

dimasak diberi gula kelapa, lalu dicetak berbentuk segitiha dengan ukuran penjang
sisinya 3 cm dan lebar dasarnya 20 cm. Rengginan yang berbentuk melengkung dengan
bintang-bintang di sisi yang melengkung ke dalam melambangkan bentuk sakral.
Rengginan segitiga menggambarkan orang duduk bersila memohon kepada Tuhan.

- Puthu kering : Makanan yang dibuat dari beras ketan kemudian digoreng
hingga berwarna hitam. Selanjutnya ditumbuk dan diberi gula jawa, dicetak bulat-bulat
dengan cangkir atau mangkuk kecil. Puthu kering hitam melambangkan kulit Sunan
Geseng yang hitam legam. Ketan mempunyai makna bahwa Sunan Geseng selalu melekat
di hati masyarakat Jolosutro.
- Ketan enthen-enthen : Makanan yang dibuat dari ketan yang dimasak seperti
membuat

jadah, tetapi dicampur dengan parutan kelapa dan diberi gula kelapa.
- Ketupat : Melambangkan agar masyarakat pendukung upacara
mengharapkan agar persatuan, kesatuan, kesadaran dan kegotong royongan akan
tetap terpelihara dengan baik.
- Jodhang : Tempat untuk menempatkan sesaji kenduri seperti nasi, ambeng,
nasi gurih, ingkung, jajan pasar, hasil polowijo, rengginan, ketan enten-enten.
Jodhang ini dibuat dari kayu berukuran 1,5 m x 1 m dan tingginya kurang lebih
75 cm.
a. Untuk kenduri.

Nasi ambeng.

b. Untuk kenduri di makam Prayan.

Nasi ambeng.
Prosesi Upacara.
Pada hari senin legi setelah sholat dhuhur jodhang-jodhang yang berisi sesaji
kenduri dari berbagai RT di wilayah dusun Jolosutru dibawa berkumpul di lapangan
Jolosutro .Setelah segala sesuatunya siap kemudian secara bersama - sama jodhang
- jodhang tersebut dibawa menuju tempat upacara di makam Sunan Geseng. Arak
-arakan jodhang menuju tempat upacara diikuti oleh para warga pendukungnya dan
diiringi dengan kesenian rakyat jathilan, selanjutnya jodhang - jodhang tersebut
ditata dengan rapi.
Pukul 14.00 acara dimulai dengan diawali sambutan Kepala Desa Srimulyo yang
berisi maksud dan tujuan upacara adalah ucapan syukur kepada Tuhan Yang Maha
Esa atas segala rahmat dan karunianya, kemudian dilanjutkan dengan sambutan
Camat Piyungan.
Acara inti diawali dengan pembacaan ikrar yang diucapkan oleh juru kunci makam
Sunan Geseng, isi ikrar tersebut merupakan ungkapan rasa syukur dan terimakasih
kepada Tuhan atas segala rahmat yang telah dilimpahkan sehingga masyarakat bisa
memetik hasik pertanian dengan baik dilanjutkan dengan pembacaan doa oleh kaum,
setelah selesai dilanjutkan dengan makan bersama dari sesaji kenduri yang telah
disediakan berupa nasi ameng, nasi gurih beserta lauk pauknya serta hasil palawijo,
jajan pasar, rengginan dan enten - enten.

UPACARA NUMPLAK WAJIK DI KRATON YOGYAKARTA
Upacara Numplak Wajik ini dilaksanakan pada  sore hari di Pawon Ageng di halaman bangsal Kemagangan Kidul ( selatan ) dan harus disaksikan oleh salah seorang saudara Sultan yang menjadi pembesar (pengageng ) Keraton  waktunya ialah empat hari menjelang penyelenggaraan Upacara

Grebeg Mulud, tepatnya pada tanggal 8 bulan Mulud. Penyelenggara upacara ini
ialah Pengageng Pawon Ageng yang dipimpin oleh Nyai Lurah Kebuli dan Nyai Lurah
Sekullanggi secara selang seling dengan melibatkan para abdi dalem Kawedanan
pawon. Perlengkapan yang dipersiapkan untuk penyelenggaraan upacara Numplak
wajik ialah lesung lengkap dengan beberapa buah antan untuk gejog lesung (
khotekan ) wajik beserta tempatnya untuk mengangkut dari tempat memasak ke
Magangan, dipersiapkan pula kain kemben atau kesemekan untuk perlengkapan busana
gunungan putri, beserta dlingo blenge dan kencur untuk konyoh.
inter-ideograph"">Adapun lagu/gendhing yang diperdengarkan dengan
gejog lesung didalam upacara ini ialah : owal- awil, tundhung setan, gejogan,  kebogiro, blendhung jagung dll.
inter-ideograph"">Upacara Numplak Wajik sebagai pertanda
permulaan pembuatan gunungan secara formal.
Rangkaian sesaji upacara :
a.  Tujuh macam jenang ( jenang baro- baro, abang, putih, palang, putih  dsb )
b. Tujuh macam rujak – rujakan
c. Sebuah tumpeng robyong
d. Delapan buah ancak berisi bermacam – macam nasi ( nasi punar, nasi putih
dengan lauk pauk, nasi majemuk, nasi golong dengan lauk pauk, nasi hitam, nasi
asrep – asrepan )
e. Sebuah tumpeng gundul
f. Satu ambeng berisi nasi uduk beserta lauk pauk
g. Abon – abon berujud suruh ayu dan gedhang ayu
h. Sepasang Jlupak lengkap dengan ajung – ajungnya
i. Toya prajan ( sekar leton dan daun dadap serep )
j. Sebuah empluk berisi beras
k. Bawang merah, bawang putih, kemiri, kluwak, sebutir telur ayam mentah,
sekeping mata uang logam.
l. Seekor ayam yang masih hidup ( betina )
m.  
Sebuah ancak berisi jajan pasar 
inter-ideograph"">Fungsi wajik ini ialah inti dari gunungan wadon  tempat menancapkan tangkai mustaka dan tangkai -tangkai perlengkapan yang
lainnya misalnya tlapukan, rengginan dsb.


MAKALAH KERAJAAN ISLAM DI INDONESIA

KERAJAAN ISLAM DI INDONESIA  BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Indonesia memiliki sejarah yang panjang mengenai kerajaan-ker...