Rabu, 26 Juli 2017

UPACARA ADAT DI MALUKU TENGAH


UPACARA-UPACARA TRADISIONAL MALUKU TENGAH
1.       UPACARA PUKUL SAPU
Upacara adat yang tergolong ekstrem ini digelar setiap tanggal 7 Syawal menurut perhitungan kalender Hijriah/kalender Islam, atau pada hari ke tujuh setelah Hari Raya Idul Fitri. Biasanya, peserta upacara adalah pemuda dari dua desa adat yang bertetangga tersebut. Namun, bila ada peserta dari daerah lain yang ingin berpartisipasi, bisa mendaftarkan diri kepada panitia tiga hari sebelum upacara dilaksanakan. Sekalipun Pukul Sapu adalah tradisi umat Islam Maluku, namun upacara ini juga dihadiri dan melibatkan umat Kristen di daerah tersebut, terutama mereka yang memiliki ikatan kekerabatan (pela) dengan masyarakat dua desa adat ini, seperti masyarakat Desa Lateri yang memiliki ikatan kekerabatan dengan Desa Mamala dan Desa Waai yang mempunyai hubungan kekeluargaan dengan Desa Morella. Bahkan, terkadang upacara yang dihelat pada â€Å“lebaran hari ke tujuh” ini juga diikuti oleh keturunan Maluku yang sudah menjadi warga negara Belanda.   

Peserta upacara Pukul Sapu mengelilingi kampong
Konon, menurut kompas.com, upacara adat Pukul Sapu merujuk pada perjuangan Achmad Leakawa, atau yang lebih populer dengan nama Kapitan/Pimpinan Perang Telukabessy beserta anak buahnya, ketika menghadapi tentara Belanda dalam Perang Kapahala (1643-1646 M). Perang ini dipantik oleh pendirian markas VOC (kongsi dagang Belanda) di Teluk Sewatelu, Ambon, pada tahun 1636 M. Perang semakin tak terelakkan ketika tentara Belanda hendak merebut Benteng Kapahala, benteng milik warga Maluku, dengan cara mengepungnya dari berbagai penjuru. Dalam perang ini, para pejuang terdesak akibat serangan dari darat yang didukung tembakan meriam dari kapal-kapal VOC dari laut. Karena tidak berimbang, akhirnya benteng yang berjarak sekitar tiga kilometer dari Desa Morella dan Mamala tersebut dapat dikuasai oleh Belanda.
Pada perang itu, Kapitan Telukabessy dapat meloloskan diri. Namun, anak buahnya banyak yang berhasil ditangkap tentara Belanda. Sebagian dari mereka kemudian dijadikan tawanan di Teluk Sewatelu dan sebagiannya lagi dibuang ke Batavia, atau Jakarta sekarang. Meskipun berhasil meloloskan diri, Kapitan Telukabessy tetap dihadapkan pada situasi sulit, yaitu antara menyerahkan diri atau anak buahnya dibunuh kompeni. Akhirnya, Kapitan Telukabessy memilih menyerahkan diri pada Komandan Verheijden pada tanggal 19 Agustus 1646. Oleh Gubernur Gerard Demmer, Kapitan Telukabessy dijatuhi hukuman gantung di Benteng Victoria, Ambon, pada tanggal 27 September 1646.
Pada tanggal 27 Oktober 1646, setelah ditawan selama tiga bulan di Teluk Sewatelu, anak buah Kapitan Telukabessy tersebut dibebaskan Belanda. Sebelum berpisah dan kembali ke daerah asal masing-masing, mereka menggelar acara perpisahan yang terbilang heroik, dengan menampilkan aneka tari adat, menyanyikan lagu-lagu daerah, dan acara pukul sapu. Tujuan acara pukul sapu adalah agar tetesan darah dari tubuh mereka yang jatuh dan meresap ke tanah dapat mengingatkan mereka untuk berkumpul kembali di tempat tersebut suatu saat nanti.
B. Keistimewaan
Ekstrem, atraktif, dan menghibur. Kira-kira demikianlah kesan para pengunjung ketika menyaksikan upacara adat Pukul Sapu yang dihelat di daerah yang dijuluki dengan Negeri Seribu Bukit ini. Karena, setiap peserta upacara yang rutin dihelat saban tahun ini akan mencambuk peserta lain yang berada di hadapannya secara bergantian dengan menggunakan lidi dari pohon enau (arenga pinnata), yang dalam bahasa Maluku disebut dengan pohon mayang. Lidi enau yang digunakan untuk mencambuk peserta upacara memiliki panjang 1,5—2 meter dengan diameter pangkalnya mencapai 1—3 sentimeter.
Sekalipun upacara adat yang diwariskan secara turun-temurun ini dihelat pada tanggal 7 Syawal, namun kesibukan sudah terlihat di dua desa adat tersebut beberapa hari sebelum pelaksanaan upacara. Sebab, berbagai hal harus dipersiapkan panitia untuk menunjang kelancaran dan kemeriahan upacara, seperti podium, tenda para undangan, arena upacara, stand pameran, warung-warung pedagang, umbul-umbul, dan lain sebagainya.
Sebelum acara puncak Pukul Sapu berlangsung, terlebih dahulu digelar berbagai kegiatan, seperti hadrat (rebana), karnaval budaya, pameran dan festival, balap perahu, penampilan band lokal, dan bahkan penampilan artis ibukota keturunan Maluku. Selain itu, juga ditampilkan aneka tari dari daerah tersebut, seperti tari putri, tari mahina, tari perang, hingga


Sementara itu, meskipun pelaksanaan upacara baru dimulai setelah shalat Ashar, para wisatawan baik domestik maupun mancanegara telah berbondong-bondong datang ke dua desa tersebut sejak pagi hari. Bahkan, ada yang tiba di sana 1—2 hari sebelum upacara dimulai. Hal ini dimaksudkan supaya mereka dapat menyaksikan secara langsung tahapan-tahapan persiapan upacara, seperti melihat latihan para peserta upacara, meraut lidi enau, dan proses pembuatan minyak Mamala yang kesohor dengan khasiatnya itu. Konon, minyak yang dibuat pada malam 7 Syawal ini hanya boleh dilakukan oleh keturunan Imam Tuni, tokoh agama Desa Mamala yang menjadi salah satu pendiri Masjid Al-Muttaqien.
Sebelum upacara dimulai, para peserta terlebih dahulu dikumpulkan di suatu tempat untuk mendapatkan doa dari para tetua adat. Hal ini dilakukan dengan harapan agar prosesi upacara berjalan dengan lancar dan seluruh peserta diberi keselamatan oleh Allah SWT. Sebelum memasuki arena upacara, mereka terlebih dahulu berlari-lari kecil mengelilingi kampung. Di Desa Mamala, upacara Pukul Sapu diawali dengan mencambukkan lidi enau ke tubuh peserta upacara oleh pejabat daerah setempat. Sedangkan di Desa Morella, pembukaan upacara ditandai dengan penyulutan obor Kapitan Telukabessy oleh pejabat atau pemuka masyarakat setempat.
Selepas acara pembukaan, upacara adat Pukul Sapu pun dimulai dengan diiringi tepuk tangan dan sorak-sorai dari para penonton. Para peserta yang hanya menggunakan celana pendek, ikat kepala, dan bertelanjang dada ini dibagi ke dalam dua kelompok dan berdiri berhadap-hadapan. Kedua kelompok tersebut secara bergantian akan menyabetkan lidi enau yang berada di genggaman masing-masing ke pinggang, dada, dan punggung peserta di hadapannya sampai lebam dan berdarah-darah. Untuk mengatur pergantian kelompok yang dicambuk dan kelompok yang menyambuk, para peserta mengikuti aba-aba dari koordinator upacara atau mengikuti alunan gendang. Pergantian juga bisa dilakukan bila peserta yang dicambuk telah terdesak hingga mendekati tempat penonton di pinggir lapangan.
Uniknya, meskipun sekujur tubuh peserta upacara memar-memar dan mengeluarkan darah, namun tak terlihat pada mereka ringis kesakitan atau rintihan mengaduh. Di samping itu, bercak sabetan dan goresan darah akibat cambukan lidi enau dapat disembuhkan dengan cepat tanpa meninggalkan bekas. Di Desa Morella, luka-luka akibat cambukan diobati dengan ramuan dari daun jarak yang terkenal berkhasiat menyembuhkan luka. Sementara di Desa Mamala, luka-luka peserta upacara diobati dengan mengoleskan minyak kelapa yang telah didoakan oleh para tetua adat kepada bagian tubuh yang luka. Minyak kelapa yang dapat mengobati luka dengan cepat tersebut dinamakan minyak Mamala atau minyak Tasala. Konon, khasiat minyak ini telah kesohor ke mana-mana, sehingga menarik minat para ilmuan dari dalam dan luar negeri untuk menelitinya.  
Setelah upacara adat Pukul Sapu usai, hal lain yang menarik dan membuat wisatawan terhibur adalah ketika para penonton berlomba-lomba memperebutkan lidi-lidi enau dan minyak kelapa bekas peserta upacara. Hal ini dikarenakan lidi-lidi atau minyak tersebut diyakini membawa keberuntungan. Selain untuk memperoleh keberuntungan, sebagian masyarakat menganggap kedua benda tersebut sekadar kenang-kenangan mengikuti upacara adat Pukul Sapu yang dihelat sekali dalam setahun itu.
Sedangkan bagi turis yang punya waktu luang, dapat mengikuti Pesta Basudara, yaitu acara syukuran upacara adat Pukul Sapu, yang digelar di Desa Morella pada malam hari setelah upacara adat tersebut berlangsung.
2.       UPACARA KEHAMILAN SUKU NUAULU

Ketika seorang perempuan yang masa kehamilannya telah mencapai 9 bulan, maka ia akan diantar oleh irihitipue (dukun beranak) dan kaum perempuan yang ada di dalam rumah atau tetangga yang telah dewasa menuju ke posuno. Pada waktu perempuan tersebut berada di depan pintu posuno, irihitipue membancakan mantra-mantra yang berfungsi sebagai penolak bala. Mantra tersebut dibaca oleh irihitipue dalam hati (tanpa bersuara) dengan tujuan agar tidak dapat diketahui oleh orang lain, karena bersifat sangat rahasia. Hanya irihitipue dan anggota keluarga intinya saja yang mengetahui mantra tersebut.

Selesai membaca mantra, perempuan hamil tersebut diantar masuk ke dalam posuno. Rombongan kemudian pulang meninggalkan wanita tersebut. Dia setiap saat dikunjungi oleh irihitipue untuk memeriksa keadaan dirinya. Semua keperluan wanita hamil ini dilayani oleh wanita-wanita kerabatnya. Sebagai catatan, dia akan tetap berdiam disitu tidak hanya sampai selesainya upacara kehamilan 9 bulan, tetapi sampai tiba saat melahirkan hingga 40 hari setelah melahirkan.

Setelah si perempuan hamil berada di posuno, maka pihak keluarga akan memberitahukan kepada seluruh perempuan dewasa dari kelompok kerabat (soa) perempuan hamil tersebut dan dari kelompok kerabat suaminya untuk berkumpul di rumah perempuan tersebut dan selanjutnya pergi menuju ke posuno untuk mengikuti upacara masa hamil sembilan bulan. Sebelum mereka menuju ke posuno, para perempuan dewasa tersebut akan berkumpul berkeliling di dalam rumah untuk memanjatkan doa kepada Upu Kuanahatana agar si perempuan yang sedang hamil selalu dilindungi dan terbebas dari pengaruh roh-roh jahat.
Usai memanjatkan doa di dalam rumah, mereka menuju ke posuno bersama-sama dan dipimpin oleh irihitipue. Setelah sampai di posuno, mereka kemudian duduk mengelilingi si perempuan hamil tersebut, sedangkan irihitipue mendekati si perempuan dan duduk di sampingnya. Perempuan hamil tersebut kemudian dibaringkan oleh irihitipue lalu diusap-usap perutnya sambil irihitipue mengucapkan mantra-mantra yang tujuannya adalah untuk memohon keselamatan dan perlindungan dari Upu Kuanahatana. Pada saat irihitipue mengusap-usap perut perempuan hamil tersebut, para kerabatnya yang duduk mengelilingi pun juga memanjatkan doa-doda kepada upu kuanahatana.

Dengan selesainya pembacaan mantra, maka selesailah pula pelaksanaan upacara masa kehamilan sembilan bulan. Para kerabat dan irihitipue kemudian pulang ke rumah masing-masing. Sementara si perempuan hamil tetap tinggal di posuno hingga melahirkan dan 40 hari setelah masa melahirkan. Untuk keperluan makan dan minum selama berhari-hari di posuno, pihak kerabatnya sendiri (soanya) akan selalu mengantarkan makanan dan minuman kepadanya.


3.       UPACARA SASI LOMPA
Sasi Lompa atau Sasi Laut adalah sebuah tradisi tahunan yg diselenggarakan oleh masyarakat di pulau Haruku. Sasi berasal dari dua suku kata yaitu Sasi dan Lompa. Sasi adalah sebuah larangan di maluku yg bertujuan untuk menjaga kelestarian alam, sedangkan Lompa adalah jenis ikan Sardin kecil yg hidup di air payau.
Persiapan Buka Sasi Lompa tahun 2013 ini didukung oleh Pemerintah Pusat lewat Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan dan Pemerintah Kabupaten Maluku Tengah. Pada acara pembukaan Buka Sasi Lompa yang dihadiri oleh Wakil Bupati Maluku Tengah kemudian dilanjutkan acara makan Patita, dimana seluruh warga Negeri Haruku dan para tamu makan bersama dengan menu utama khas masakan Negeri Haruku.
Pukul 19.00 wib para kewang kemudian berkumpul dan mulai melakukan ritual panas sasi di rumah kewang. Seusai ritual para kewang kemudian berjalan mengelilingi kampung dan berhenti di setiap batu pamale. 

Setiap ada pemberhentian dilakukan peniupan tahuri dan pemukulan gendang sebagai penanda/pengumuman kepada warga masyarakat adat bahwa akan dilakukan buka sasi. Seusai peniupan tahuri dan pemukukulan gendang, sekretaris kewang membacakan aturan adat dalam buka sasi dan pengambilan ikan lompa yang wajib dipatuhi oleh seluruh warga adat.

Ada lima batu pamali (larangan) yang didatangi, setelah selesai pemimpin kewang kembali kerumah kewang untuk mempersiapkan sajian makanan untuk para kewang. 

Pukul 03.00 kemudian seluruh kewang berkumbul duduk di depan meja yang telah dipenuhi oleh sajian makanan dan minuman adat khas Negeri Haruku. 

Ritual ini disebut sebagai makan lesa para kewang. Makanan semuanya menggunakan bahan alam, seperti tempat makan memakai daun pisang dan tempat minum menggunakan tempurung kelapa, ceret tempat air dari buah kalabasa (buah maja).

Selesai makan lesa para kewang menyiapkan proses bakar lobe. Lobe terbuat dari pelepah daun kelapa yang kering dikumpulkan hingga bentuknya seperti tiang panjang yang bersumbu. Pembakaran lobe dimulai dengan ritual adat. Ada 15 lobe yang dibakar secara bergantian. Makna dari bakar lobe adalah memanggil ikan lompa untuk masuk ke muara sungai.

Setelah Lobe terbakar semuanya waktu menunjukan sudah pukul 06.00 WIT, para kewang , tamu-tamu dan warga menyaksikan bagaiman ikan lompa datang dari laut kemudian masuk ke muara sungai secara bergerombolan. Sekitar pukul 09.00 WIT pemimpin kewang kemudian menutup muara sungai dengan pagar jaring, agar pada saat sasi dibuka ikan lompa tidak dapat keluar kelaut
.
Tanggal 23 november 2013 buka sasi di Negeri Haruku dilaksanakan, ribuan warga adat Negeri Haruku dan para tamu sudah berkumpul di sekitar pinggiran Sungai Learisa Kayelly. 
Ada warga yang membawa jala, ember dan perahu untuk menangkap dan sekaligus menjadi wadah ikan lompa. Pukul 10.00 WIT pemimpin kewang kemudian memukul gendang dan raja Negeri Haruku menabur jala pertama ke sungai sebagai tanda sasi telah dibuka. 
Ribuan Masyarakat Negeri Haruku bersuka cita baik anak2, pemuda/i dan orang2 tua menangkap ikan lompa, tidak ketinggalan juga para tamu, media dan pemerintah turun ke sungai bergabung dengan warga masyarakat adat Negeri Haruku.
4.       UPACARA OBOR PATTIMURA
Setiap tanggal 15 Mei, di Maluku pemerintah bersama rakyat setempat melakukan prosesi adat dan kebangsaan dalam memperingati hari Pattimura. Yang paling terkenal adalah lari obor dari Pulau Saparua menyebrangi lautan menuju Pulau Ambon, untuk selanjutnya diarak-arak sepanjang 25 kilometer menuju kota Ambon.
Prosesi ini diawali dengan pembakaran api obor secara alam di puncak Gunung Saniri di Pulau Saparua. Gunung Saniri adalah salah satu ritus sejarah perjuangan Pattimura karena di tempat itulah, awal dari perang rakyat Maluku melawan Belanda tahun 1817.
Dalam sejarahnya, di Gunung Saniri berkumpul para Latupati atau Raja-Raja dan tokoh masyarakat Pulau Saparua. Mereka melakukan Rapat Saniri (musyawarah raja-raja) untuk menyusun strategi penyerangan ke Benteng Durstede di Saparua yang dikuasai Belanda. Thomas Matulessy dari desa Haria lantas diangkat sebagai Kapitan atau  panglima perang dengan gelar Pattimura.
Penyerangan rakyat ke benteng Durstede melalui Pantai Waisisil tidak menyisahkan satupun serdadu Belanda termasuk Residen Belanda Van de Berk dan keluarganya. Semuanya tewas terbunuh dan yang hidup hanyalah putra Van de Berk yang berusia lima tahun. Dia diselamatkan oleh Pattimura. Belakangan, putra Van de Berk ini diserahkan kembali kepada pemerintahan Belanda di Ambon.
Dari penyerangan inilah api perjuangan terus dikobarkan. Kemenangan Pattimura yang berhasil menjatuhkan Benteng Durstede menjadi inspirasi kepada rakyat lainnya untuk angkat senjata melawan Belanda. Peperangan pun terjadi hampir di seluruh daerah di Maluku. Dalam perjalanannya, Pattimura dan rekan-rekannya berhasil ditangkap oleh Belanda lewat siasat liciknya. Mereka diputuskan oleh Pengadilan di Ambon dengan hukuman mati.

5.       UPCARA ADAT BUKA SASI LOMPA DI HARUKU

Buka Sasi Lompa terkenal di Desa Haruku, Kepulauan Lease, Maluku Tengah. Acara tahunan yang pernah dianugerahi Hadiah Lingkungan Hidup Nasional Kalpataru tahun 1986 ini, baru dapat terlaksana kembali untuk pertama kalinya setelah kerusuhan dan konflik 1999. Tanggal 15 November 2003 yang lalu, Kewang (Pelaksana Dewan Adat) Desa Haruku menyelenggarakan upacara adat sejak malam hari sebelumnya. Tepat pukul 10:00 pagi, pesta rakyat tersebut dimulai.
Ratusan penduduk Haruku dan sekitarnya menghadiri acara dan sekaligus memanen ikan lompa (sejenis sardin, Thissina baelama) di muara sungai Learissa Kayeli.

Upacara Adat Abdau
Menyambut hari raya Idul Adha 1425 H, masyarakat Negeri Tulehu, Maluku Tengah, kembali mengadakan tradisi Abdau. Dalam upacara adat tersebut, masyarakat mengantarkan hewan kurban untuk dibagikan kepada masyarakat yang membutuhkan. Kegiatan tahunan tersebut juga diharapkan mampu menjadi perekat hubungan antarwarga Maluku yang pernah terlibat konflik.
Upacara Abdau di Negeri Tulehu, Kecamatan Salahutu, Maluku Tengah, yang diselenggarakan bertepatan dengan hari raya Idul Adha, Jumat (21/1), merupakan tradisi pengantaran hewan kurban sebagai kaul negeri untuk dibagikan kepada masyarakat yang berhak.
Hewan kurban diantar dari rumah Imam Masjid Tulehu ke rumah Raja Negeri Tulehu dan selanjutnya diarak keliling negeri.Saat pengantaran hewan kurban tersebut, ratusan pemuda melaksanakan tradisi Abdau, yaitu berebut bendera yang menjadi simbol agama yang disimpan di masjid negeri. Perebutan bendera tersebut merupakan perlambang pengabdian generasi muda kepada Tuhan untuk siap melaksanakan perintah-Nya.
Untuk memperebutkan bendera tersebut, para pemuda harus beradu sekuat tenaga dengan ratusan pemuda lain. Banyak pemuda sampai terinjak- injak atau tertimpa oleh rekan mereka yang lain yang sengaja menjatuhkan diri dari atap rumah ke atas kerumunan pemuda yang berebut bendera tersebut.
Beberapa pemuda terluka hingga berdarah pada bagian kepala mereka, namun mereka tetap dipaksakan ikut dalam upacara tersebut. Demikian pula beberapa pemuda yang pingsan yang cepat disadarkan kembali untuk terus mengikuti upacara tersebut.
Raja Negeri (Kepala Desa) Tulehu John Saleh Ohorella berharap tradisi tersebut mampu membawa perdamaian di Maluku. Di Baileo Tulehu, pada 10 Februari 2003 lalu para pemuka adat (latupatty) mengadakan pertemuan yang menghasilkan tekad untuk menghentikan pertikaian bersaudara.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

MAKALAH KERAJAAN ISLAM DI INDONESIA

KERAJAAN ISLAM DI INDONESIA  BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Indonesia memiliki sejarah yang panjang mengenai kerajaan-ker...