Rabu, 11 Februari 2015

UPACARA TRADISIONAL DI RIAU



UPACARA-UPACARA ADAT DI RIAU

1.      UPACARA  ADAT  BATOBO
           
  • Batobo adalah Sebutan untuk kegiatan bergotong royong dalam mengerjakan sawah, ladang, dan sebagainya. yang biasa diilakukan oleh suku ocu (Bangkinang).batobo dilakukan untuk meringankan pekerjaan pertanian seseorang, dengan demikian akan lebih cepat selesai dan lebih mudah. Batobo di dirikan dalam sebuah kelompok, yang mempunyai seorang ketua untuk mengatur jadwal kerja setiap anggota. Kebanyakan kelompok batobo melakukan kegiatan secara bergiliran untuk setiap anggota kelompok batobo.
Uniknya untuk menyemangati dalam bekerja, kelompok Batobo sering mengadakan acara Mangonji

Tidak hanya itu, Batobo juga sering di iringi dengan rarak godang. Rarak godang ini adalah semacam permainan alat musik tradisional, seperti Talempong, Gong, Gendang, dll. yang melantunkan instrumen-instrumen lagu-lagu daerah yang sudah sejak lama di kenal di masyarakat.




2. UPACARA  ADAT MENYEMAH LAUT
  
   Upacara Menyemah Laut, adalah upacara untuk melestarikan laut dan isinya, agar mendatangkan manfaat bagi manusia.
3.    UPACARA  ADAT MENUMBAI
                      
Upacara Menumbai, adalah upacara untuk mengambil madu lebah di pohon Sialang.
Keberadaan hutan alam bagi masyarakat Petalangan Pangkalan Kuras, Kabupaten Pelalawan, Provinsi Riau, sangat penting. Sebagian besar dari mereka menggantungkan hidup pada hasil hutan, mulai dari berburu, menangkap ikan, hingga menumbai. Menumbai adalah upacara adat untuk mengambil madu lebah di pohon sialang. Pohon Sialang yaitu pohon tinggi besar dan tempat yang disenangi lebah hutan untuk bersarang. Jenis pohon Sialang disana ada tiga jenis, Sulur Batang, Rumah Keluang dan Cempedak Air.

Menumbai hanya dapat dilakukan dua hingga tiga kali dalam setahun. Prosesnya pun dengan ritual dan dikerjakan menggunakan peralatan tradisional. Di antaranya Tunam, terbuat dari sabut kelapa lalu dibungkus dengan kayu yang sudah kering. Gunanya untuk menguak lebah dari sarang lalu mengikuti bara api jatuh kebawah. Selain itu api Tunam juga berfungsi untuk mengusir binatang berbisa di atas pohon Sialang. Timbo, yakni berfungsi untuk menampung dan menurunkan madu lebah dengan dari pohon Sialang. Biasanya Timbo terbuat dari kulit kayu ataupun rotan. Untuk memanjat pohon sialang digunakan Semangkat. Semangkat semacam sigai atau anak tangga. Terbuat dari kayu-kayu kecil lalu diikat pada pohon Sialang tersebut.

Kegiatan menumbai dipimpin oleh orang yang dituakan, disebut dengan Juragan Tuo (juru panjat). Juragan Tuo dibantu oleh beberapa juru panjat lainnya yang disebut juragan mudo. Tugasnya membantu juragan tuo pada saat menyapu lebah, dan di bawah dibantu pula beberapa orang sebagai pengumpul timbo yang sudah berisi madu.

Upacara menumbai ini dilakukan pada malam hari di saat bulan gelap. Masyarakat Petalangan percaya bahwa di pohon Sialang selalu dihuni oleh makhluk halus. Maka untuk setiap tahapan memanjat selalu diiringi dengan mantera atau disebut nyanyian panjang. Selain fungsinya untuk melindungi diri dari hal-hal gaib, nyanyian panjang juga berarti memberi saran kepada lebah-lebah agar tertidur pulas sehingga tidak ada halangan untuk sampai ke dahan.

4.     UPACARA ADAT BELIAN


Upacara Belian, adalah pengobatan tradisional.
Upacara adat belian adalah upacara tolak bala yang umumnya ditujukan untuk empat hal, yaitu untuk mengobati orang sakit, membantu orang hamil yang dikhawatirkan sulit melahirkan, untuk mengobati kemantan, dan untuk menolak wabah penyakit.
1. Asal-usul
Suku Petalangan adalah salah satu suku terbesar di Riau (Koentjaraningrat, 1970; Muchtar Luthfi ed, 1975). Suku ini memiliki kebudayaan yang unik, salah satunya adalah upacara adat belian. Upacara ini memiliki banyak tujuan seperti menolak bala, menyembuhkan penyakit, dan mengobati orang yang sulit melahirkan. Di beberapa desa di Riau, orang-orangtua masih menjalankan upacara ini, meskipun sudah ada sistem penyembuhan modern. Hal ini merupakan salah bukti kesetiaan mereka akan tradisi leluhur.
Dalam sejarah masyarakat Melayu Riau, Suku Petalangan dikenal sebagai suku yang memiliki banyak adat istiadat. Contohnya adalah upacara belian yang sampai sekarang masih tetap dilestarikan. Upacara ini merupakan ajaran leluhur agar manusia menjaga keseimbangan hidup dengan alam dan makhluk yang terlihat maupun tidak. Upacara ini juga bertujuan agar manusia bersyukur kepada Tuhan atas kesehatan mereka (Nizamil Jamil, dkk, 1987/1988; Budisantoso, 1986). 
Belian menurut bahasa orang Petalangan diambil dari beberapa arti. Menurut mereka, belian adalah nama kayu yang keras dan tahan lama. Kayu belian ini pada masa lalu biasa digunakan untuk bahan membuat ketobung, yakni gendang untuk mengiringi upacara adat. Kayu ini juga baik untuk bahan membuat bangunan rumah. Menurut kemantan (orang yang dapat berkomunikasi dengan makhluk gaib), kayu belian disebut juga dengan kayu putih sangko bulan yang berarti kayu tempat tinggal jin yang baik (Nizamil Jamil, dkk, 1987/1988).
Kata belian juga dipercaya berasal dari kata bolian yang berarti persembahan. Belian juga dianggap berasal dari kata belian yang berarti budak atau hamba sahaya. Dari arti-arti tersebut, secara umum, upacara belian dapat diartikan sebagai upacara persembahan kepada Tuhan agar diselamatkan dari marabahaya dan mengharap kesembuhan serta perlindungan dari beragam penyakit dan gangguan makhluk gaib yang jahat (Nizamil Jamil, dkk, 1987/1988).  
Berdasarkan arti di atas, upacara belian pada umumnya ditujukan untuk empat hal, yaitu untuk mengobati orang sakit, membantu orang hamil yang dikhawatirkan sulit melahirkan, untuk mengobati kemantan, dan untuk menolak wabah penyakit. Meskipun demikian, upacara belian biasanya digelar terpisah berdasarkan salah satu dari tujuan di atas (Tenas Effendy, 1980).
Upacara adat belian terdiri dari dua macam, yaitu belian kocik (kecil) atau biaso (biasa) dan belian bose (besar) atau polas (khusus). Belian biaso adalah upacara yang digelar untuk orang hamil yang dikhawatirkan sulit melahirkan. Selain itu, juga untuk orang yang terkena wabah penyakit atau mendapat gangguan binatang buas. Namun, jika upacara belian biaso tidak mampu menyembuhkan penyakit tersebut, barulah diadakan belian bose atau polas (Nizamil Jamil, dkk, 1987/1988). Dengan kata lain, belian biaso dan polas intinya adalah sama, hanya waktu digelarnya saja yang berbeda.
2. Waktu dan Tempat Pelaksanaan
Upacara adat belian digelar pada malam hari. Malam dianggap waktu yang tepat untuk bedoa dan memohon kepada Tuhan. Selain itu, pada malam hari biasanya seluruh warga suku dapat berkumpul bersama karena jika siang hari mereka bekerja di hutan.
Upacara ini biasanya digelar di rumah orang yang sakit atau di rumah adat yang besar. Selain itu, pemangku adat dibantu oleh warga akan membuat rumah-rumah kecil di depan rumah tempat upacara sebagai salah satu syarat upacara.   
3. Pemimpin dan Peserta Upacara
Upacara adat belian dipimpin oleh kemantan atau mantan (orang yang ahli mengobati penyakit). Selain karena ahli, seorang kemantan dipilih karena ia dianggap dapat menjalin komunikasi dengan makhluk gaib. Selama upacara berlangsung, Kemantan akan berhubungan dengan makhluk gaib yang baik dan meminta mereka ikut hadir untuk membantu menyembuhkan penyakit pasien.
Upacara belian biasanya dihadiri oleh seluruh anggota suku atau oleh keluarga yang sakit dan sanak kerabat mereka. Meskipun demikian, upacara adat belian melibatkan warga suku secara keseluruhan karena upacara ini adalah upacara kolektif (bersama).
4. Peralatan dan Bahan
Upacara adat belian memerlukan beragam alat dan bahan, antara lain:
  • Puan, rangkaian daun kelapa muda (janur) yang dihiasi bunga-bungaan;
  • Dame (damar), obor yang terbuat dari damar yang ditumbuk halus;
  • Dian, lilin besar yang dibuat dari sarang lebah yang diberi sumbu kain pintal dan dilekatkan pada tempurung kelapa;
  • Gonto, genta dari kuningan;
  • Pending, kepala ikat pinggang kemantan dari perak atau kuningan;
  • Kain kesumbo, kain warna merah untuk tudung kemantan;
  • Destar atau tanjak, ikat kepala kemantan;
  • Mangkuk putih, tempat meracik limau dan cincin tanda orang minta obat;
  • Cincin perak milik orang yang sakit;
  • Padi;
  • Mayang, daun kepau (sejenis palem);
  • Kayu gaharu untuk dibakar;
  • Pisau kecil;
  • Ketitipan, berbagai jenis jamur dari pucuk daun kepau;
  • Jeruk limau;
  • Sanding dan lancang, sejenis perahu yang terbuat dari pelepah kelubi (pohon asam paya);
  • Balai pelesungan, rumah-rumahan tidak beratap dari pelepah kelubi;
  • Bokal, sesaji yang dibungkus daun pisang;
  • Mondung (ayam);
  • Hidangan yang terdiri dari nasi kunyit, panggang ayam, telur rebus, gulai ayam, dan daging hewan lain;
  • Balai induk, bangunan khusus yang dibuat di depan rumah tempat upacara digelar;
  • Tikar pandan putih.
Seluruh perlengkapan dan bahan di atas disiapkan oleh dua orang khusus yang disebut tuo longkap dan pebayu. Selain betugas untuk hal itu, pebayu juga bertugas memeriksa semua perlengkapan dan bahan-bahan. Jika belum lengkap, maka pebayu harus mencari kelengkapannya sebelum upacara dimulai. Penyiapan segala perlengkapan dan bahan-bahan upacara juga akan dibantu oleh warga suku dan anak iyang, yaitu orang yang pernah minta tolong kepada kemantan, baik untuk berobat maupun keperluan lainnya.
Jika dalam keadaan darurat, perlengkapan dan bahan-bahan di atas diperbolehkan dibuat secara sederhana. Keadaan darurat itu antara lain seperti banyak orang yang sakit atau serangan binatang yang mengganas sehingga tidak ada orang yang berani ke hutan mencari pelengkapan.

5.      UPACARA  ADAT BALIMAU
       
Balimau Kasai adalah sebuah upacara tradisional yang istimewa bagi masyarakat Kampar di Provinsi Riau untuk menyambut bulan suci Ramadan. Acara ini biasanya dilaksanakan sehari menjelang masuknya bulan puasa. Upacara tradisional ini selain sebagai ungkapan rasa syukur dan kegembiraan memasuki bulan puasa, juga merupakan simbol penyucian dan pembersihan diri. Balimau sendiri bermakna mandi dengan menggunakan air yang dicampur jeruk yang oleh masyarakat setempat disebut limau. Jeruk yang biasa digunakan adalah jeruk purut, jeruk nipis, dan jeruk kapas.
Sedangkan kasai adalah wangi- wangian yang dipakai saat berkeramas. Bagi masyarakat Kampar, pengharum rambut ini (kasai) dipercayai dapat mengusir segala macam rasa dengki yang ada dalam kepala, sebelum memasuki bulan puasa.
Sebenarnya upacara bersih diri atau mandi menjelang masuk bulan Ramadan tidak hanya dimiliki masyarakat Kampar saja. Kalau di Kampar upacara ini sering dikenal dengan nama Balimau Kasai, maka di Kota Pelalawan lebih dikenal dengan nama Balimau Kasai Potang Mamogang. Di Sumatera Barat juga dikenal istilah yang hampir mirip, yakni Mandi Balimau. Khusus untuk Kota Pelalawan, tambahan kata potang mamogong mempunyai arti menjelang petang karena menunjuk waktu pelaksanaan acara tersebut.
Tradisi Balimau Kasai di Kampar, konon telah berlangsung berabad- abad lamanya sejak daerah ini masih di bawah kekuasaan kerajaan. Upacara untuk menyambut kedatangan bulan Ramadan ini dipercayai bermula dari kebiasaan Raja Pelalawan. Namun ada juga anggapan lain yang mengatakan bahwa upacara tradisional ini berasal dari Sumatera Barat. Bagi masyarakat Kampar sendiri upacara Balimau Kasai dianggap sebagai tradisi campuran Hindu- Islam yang telah ada sejak Kerajaan Muara Takus berkuasa.
Keistimewaan Balimau Kasai merupakan acara adat yang mengandung nilai sakral yang khas. Wisatawan yang mengikuti acara ini bisa menyaksikan masyarakat Kampar dan sekitarnya berbondong-bondong menuju pinggir sungai (Sungai Kampar) untuk melakukan ritual mandi bersama. Sebelum masyarakat menceburkan diri ke sungai, ritual mandi ini dimulai dengan makan bersama yang oleh masyarakat sering disebut makan majamba.


1 komentar:

MAKALAH KERAJAAN ISLAM DI INDONESIA

KERAJAAN ISLAM DI INDONESIA  BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Indonesia memiliki sejarah yang panjang mengenai kerajaan-ker...