Kamis, 11 Desember 2014

SEJARAH KERAJAAN ISLAM DI MALUKU



SEJARAH KERAJAAN ISLAM DI MALUKU
Karena amat kaya akan rempah-rempah, Maluku menjadi sasaran sebagian saudagar-saudagar antar kepulauan Indonesia, dan saudagar-saudagar bangsa asing. Diantara saudagar-saudagar islam, melaksanakan pula tugas dakwahnya sehingga Maluku lebih dahulu masuk Islam dari pada Makasar dan sekitarnya.[1][1] Islam mencapai kepulauan rempah-rempah yang sekarang di kenal dengan Maluku ini pada pertengahan terakhir abad ke-15. Banjar dan Giri atau Gresik cukup besar pengaruhnya dalam sosialisasi Islam di Ternate dan Tidore.
Pola sosialisasi Islam di ternate sama halnya dengan pola sosialisasi Islam di Tidore, yaitu melalui jalur perdagangan dan politik. Banyak elite kerajaannya belajar Islam di pusat-pusat pengajaran Islam nusantara, Giri atau Gresik. Setelah selesai belajar, mereka kembali ke tempat asalnya dan langsung mengislamkan masyarakat kerajaan.[2][2] Menurut Tome Pires, orang masuk Islam di Maluku kira-kira tahun 1460-1465 M.[3][3]  Kemudian lahirlah kerajaan-kerajaan Islam di Maluku diantaranya:
1.      Kerajaan Ternate
Ternate merupakan kerajaan di timur yang berdiri pada abad ke-13. Raja pertamanya adalah Baab Mashur Malamo yang memerintah tahun 1257 – 1277. H. J. De Graaf berpendapat, raja pertama yang benar-benar Muslim adalah Zayn Al- Abidin (1486-1500). Di masa itu, gelombang perdagangan Muslim terus meningkat, sehingga raja menyerah kepada tekanan para pedangan Muslim itu dan memutuskan belajar tentang Islam pada madrasah Giri. Di Giri, ia dikenal dengan nama Raja Bulawa atau raja Cengkeh, mungkin karena ia membawa cengkeh ke sana sebagai hadiah. Ketika kembali dari Jawa, ia mengajak Tuhubahahul ke daerahnya. Yang terakhir ini sebagai penyebar utama Islam di kepulauan Maluku. Dakwah Islam di Maluku menghadapi dua tantangan, yaitu yang datang dari orang-orang yang masih animis dan dari orang Portugis yang mengkristenkan penduduk Maluku.[4][4]
Kerena usia Islam masih muda di Ternate, portugis yang tiba di sana tahun 1512 M, berharap dapat menggantikannya dengan agama Kristen. Harapan itu tidak terwujud. Usaha mereka hanya mendatangkan hasil yang sedikit.[5][5]
Sultan Khairun, raja yang memerintah tahun 1535 – 1570 saat itu berusaha mengusir Portugis, ia adalah tokoh yang paling keras melawan orang portugis dan usaha kristenisasi di Maluku. Perangpun terjadi dan ibukota Ternate terbakar pada tahun 1565. Dengan dalih akan berunding Sultan Khaerun di undang ke loji Portugis, namun Sultan di bunuh tahun 1570. Babullah putranya, menyerang Portugis dan berhasil mengusir Portugis tahun 1577. Periode Babullah (1570-1583) merupakan puncak kejayaan Ternate, Dibawah pimpinan Sultan Baabullah, wilayah membentang dari Sulawesi Utara dan Tengah di bagian barat hingga kepulauan Marshall dibagian timur, dari Philipina (Selatan) dibagian utara hingga kepulauan Nusa Tenggara dibagian selatan. Sultan Baabullah dijuluki “penguasa 72 pulau” yang semuanya berpenghuni Babullah dapat mengislamkan Sulawesi Utara, Perdagangan lancar, persahabatan dengan negara tetangga seperti dengan Goa-Tallo terjalin dengan baik.
Imperium nusantara timur yang dipimpin Ternate memang telah runtuh sejak pertengahan abad ke-17 namun pengaruh Ternate sebagai kerajaan dengan sejarah yang panjang masih terus terasa hingga berabad kemudian.[6][6]
2.      Kerajaan Tidore
Kerajaaan Tidore semasa dengan Kerajaan Ternate. Kerajaan ini terletak di sebelah selatan Ternate. Menurut silsilah raja-raja Ternate dan Tidore, Raja Tidore pertama adalah Muhammad Naqal yang naik tahta pada tahun 1081 M. Baru pada tahun 1471 M, agama Islam masuk di kerajaan Tidore yang dibawa oleh Cirali Lijtu (Ciriliyah), Raja Tidore yang kesembilan. yang kemudian berganti nama menjadi Sultan Jamaluddin. Ciriliyah atau Sultan Jamaluddin bersedia masuk Islam berkat dakwah Syekh Mansur dari Arab.[7][7]
Kerajaan Tidore mencapai puncak kejayaan pada masa pemerintahan Sultan Nuku (1780-1805 M). Selain memiliki kecerdasan dan karisma yang kuat, Sultan Nuku terkenal akan keberanian dan kekuatan batinnya. Ia berhasil mentransformasi masa lalu Maluku yang kelam ke dalam era baru yang mampu memberikan kepadanya kemungkinan menyeluruh untuk bangkit dan melepaskan diri dari segala bentuk keterikatan, ketidak bebasan dan penindasan. [8][8]
Pada masa pemerintahan Sultan Nuku, wilayah Kerajaan Tidore mencakup kawasan yang cukup luas, yakni meliputi sebagian Halmahera, pantai barat Irian Jaya, sebagian kepulauan seram hingga mencapai Tanah Papua. Sultan Nuku dapat menyatukan Ternate dan Tidore untuk bersama-sama melawan Belanda yang dibantu Inggris. Kemunduran Kerajaan Tidore disebabkan karena diadu domba dengan Kerajaan Ternate yang dilakukan oleh bangsa asing ( Spanyol dan Portugis ) yang bertujuan untuk memonopoli daerah penghasil rempah-rempah tersebut.[9][9]
B.      Kehidupan Masyarakat Maluku
1.      Kehidupan Ekonomi
Wilayah kerajaan di Maluku banyak dihasilkan rempah-rempah, terutama cengkeh dan pala yang banyak dicari banyak pedagang internasional. Pada abad ke-12 M, permintaan cengkeh dan pala dari Eropa makin meningkat. Hal ini menyebabkan dibukanya perkebunan di daerah pulau baru, Seram, dan Ambon. Para pedagang dari Jawa Timur banyak yang datang ke Maluku dengan membawa beras, garam, dan kacang-kacangan untuk ditukarkan dengan rempah-rempah. Karena kekayaan rempah-rempahnya, setiap daerah di maluku ingin menjadi penguasa tunggal dalam perdagangan rempah-rempah.[10][10]
Dengan adanya kepentingan atas penguasaan perdagangan, maka terjadilah persekutuan daerah antar kerajaan. Diantaranya adalah Uli-Lima (persekutuan lima bersaudara) dipimpin oleh Ternate meliputi Bacan, Seram, Obi, dan Ambon. Dan Uli-Siwa (persekutuan sembilan bersaudara) dipimpin oleh Tidore meliputi Halmahera, Jailalo, Makayan, pulau-pulau di sekitar maluku sampai ke Papua. Selain pesat dalam bidang perdagangan rempah-rempah, mata pencaharian perikanan turut mendukung perekonomian masyarakat Maluku.[11][11]
2.      Kehidupan Politik
Antara kedua persekutuan yaitu Uli-Lima dan Uli-Siwa terjadi persaingan yang tajam. Hal ini terutama terjadi setelah para pedagang Eropa datang ke Maluku. Pada tahun 1512 M bangsa Portugis datang ke Ternate dan pada tahun 1521 M Spanyol datang dan mendekati Tidore. Kedua bangsa asing ini sama-sama ingin berkuasa ditempat kedatangannya, sehingga mereka berusaha bersekutu dan mendukung penguasa setempat.
Setelah 10 tahun berada di kerajaan Ternate bangsa portugis berhasil mendirikan benteng yang bernama Sao Paolo. Menurut portugis, benteng tersebut berguna untuk melindungi kerajaan Ternate dari serangan kerajaan Tidore. Namun hal ini adalah taktik Portugis agar dapat bertahan untuk berdagang dan menguasai Ternate.   
Pembangunan Benteng Sao Paolo menimbulkan perlawanan. Salah seseorang yang menentang kehadiran kekuatan militer Portugis adalah Sultan Khairun. Ia tidak ingin perekonomian dan pemerintahan di kendalikan oleh bangsa lain. Pendirian benteng di Kerajaan Ternate menunjukkan niat buruk Portugis atas Ternate.
Ketidaksetujuan Sultan Khairun terhadap Portugis tidak berbentuk kekerasan. Sebaliknya, Sultan Khairun bersedia berunding dengan Portugis di Benteng Sao Paolo. Namun, niat baik Sultan Khairun ini malah di manfaatkan oleh Portugis untuk menahannya di Benteng tersebut. Keesokan harinya Sultan Khairun telah terbunuh dan para pejabat Portugis di curigai sebagai dalang pembunuhan tersebut. Peristiwa tersebut terjadi pada tahun 1570.
Kematian Sultan Khairun menyebabkan kebencian rakyat Maluku makin besar. Sultan Babullah yang menjadi raja Ternate berikutnya memimpin perang melawan Portugis. Usaha ini menampakkan hasil pada tahun 1575, setelah itu Portugis dapat di pukul mundur dan meninggalkan bentengnya di Ternate.
3.      Kehidupan Sosial dan Budaya
Kehidupan sosial masyarakat Maluku sangat di pengaruhi oleh datangnya pedagang-pedagang asing dari Portugis dan Belanda. Sebelumnya, masyarakat Maluku sudah mengenal dan mendapat pengaruh budaya dan agama Islam. Pengaruh Islam sangat terasa di pusat penyebarannya di Maluku Utara, yaitu, Ternate dan Tidore. Sementara itu perkembangan politik anti imperialisme Sultan Babullah menyebabkan pengaruh budaya Portugis dan Belanda lebih terpusat di luar Ternate dan Tidore, yaitu kepulauan Maluku bagian selatan. Beberapa daerah di Ambon, menjadi pusat penyebaran agama Katolik dan Protestan yang di bawa bangsa Portugis dan Belanda.[12][12]
Seperti sudah diketahui, bahwa sebagian dari daerah maluku terutama Ternate sebagai pusatnya, sudah masuk agama islam. Oleh karena itu, tidak jarang perbedaan agama ini dimanfaatkan oleh orang-orang Portugis untuk memancing pertentangan antara para pemeluk agama itu. Dan bila pertentangan sudah terjadi maka pertentangan akan diperuncing lagi dengan campur tangannya orang-orang Portugis dalam bidang pemerintahan, sehingga seakan-akan merekalah yang berkuasa.
Setelah masuknya kompeni Belanda di Maluku, semua orang yang sudah memeluk agama Katholik harus berganti agama menjadi Protestan. Hal ini menimbulkan masalah-masalah sosial yang sangat besar dalam kehidupan rakyat dan semakin tertekannya kehidupan rakyat.[13][13]

KESULTANAN DI KALIMANTAN
1.   Kerajaan Kutai
Kerajaan Kutai merupakan kerajaan Hindu tertua di Indonesi, kerajaan ini didirikan pada tahun 400 M, di tepi sungai Mahakam, Kalimantan Timur.

Raja-raja yang memerintah ialah :
* Kudungga(raja pertartama).
* Aswamarman.
* Mulawarman.
2.   Kesultanan pontianak
Kesultanan Pontianak atau Kesultanan Qadriah didirikan oleh Syarif Abdurrahman Al Qadrie putra Sayyid Habib Hussein Al Qadrie pada 23 Oktober 1771 bertepatan 12 Rajab 1185 Hijriyah, yakni pada masa kekuasaan Van Der Varra (1761-1775), Gubernur Jenderal VOC ke-29. Kesultanan Pontianak merupakan kesultanan termuda di Kalimantan Barat maupun kawasan Nusantara, bahkan di dunia internasional.  Sejak usia muda, Syarif Abdurrahman telah menunjukkan bakat dan ambisinya yang sangat besar. Ia pernah melakukan petualangan hingga ke Siak dan Palembang, mengadakan kegiatan perdagangan di Banjarmasin, dan berperang hingga berhasil menghancurkan jung-jung Cina dan kapal Perancis di Pasir (Banjarmasin). Di wilayah Banjarmasin ini pula kelaknya ia dijadikan menantu oleh Sultan Saad di mana oleh Sultan Saad, Abdurrahman dinikahkan dengan Putri Syarifah Anom atau Ratu Sirih Anom dalam 1768. Selanjutnya Abdurrahman diberi gelar Pangeran Syarif Abdurrahman Nur Alam. Sebelumnya, di Sebukit Rama ia telah menikahi Utin Tjandramidi putri Opu Daeng Menambun. Karena ambisinya yang sangat kuat maka akhirnya di daerah Banjar dia sangat dibenci oleh kerabat kerajaan ini, sehingga terpaksa bertolak kembali ke Mempawah

Sejarah awal mula berdirinya kesultanan ini ditandai dengan keinginan Syarif Abdurrahman dan saudara-saudaranya beserta para pengikutnya untuk mencari tempat tinggal setelah ayahnya meninggal pada tahun 1184 H di Kerajaan Mempawah. Pada pukul 14.00 Jumat 9 Rajab 1185, setelah shalat Jumat, Syarif Abdurrahman Al Qadrie berangkat bersama seluruh keluarganya mencari suatu kawasan untuk dijadikan pemukiman baru bagi mereka. Saat itu kawasan yang dicari belum diketahui dengan jelas. Rombongan ini terdiri dari dua kapal besar dan 14 kapal kecil beserta dengan awak kapalnya lengkap dengan berbagai perlengkapannya. Armada besar ini dinakhodai oleh Juragan Daud.

Empat hari mengarungi sungai sampailah rombongan Abdurrahman ke sebuah pulau kecil yang belakangan dinamakan Batu Layang yang berada tak seberapa jauh dari muara Sungai Kapuas. Tempat ini kemudian menjadi tempat pemakaman resmi keluarga Kesultanan Pontianak sekarang. Dari tempat ini rombongan melanjutkan perjalanannya sampai mendekati persimpangan tiga pertemuan Sungai Kapuas dan Sungai Landak.

Selanjutnya, pada subuh Rabu 14 Rajab 1185 H atau 23 Oktober 1771 rombongan Abdurrahman memasuki kawasan perairan pertemuan Sungai Kapuas dan Sungai Landak dan menembaki dengan meriam para bajak laut atau perompak yang bersarang di kawasan tersebut. Dikirakan sekitar pukul 08.00 pagi tanggal tersebut, rombongan mendarat pada salah satu kawasan tepi Sungai Kapuas yang tidak seberapa jauh dari muara Sungai Landak. Mereka mulai menebang dan membersihkan pohon-pohon serta mendirikan surau yang sekarang menjadi Masjid Jami Syarif Abdurrahman Al Qadri. Dan pada saat itu pula dipersiapkan kawasan pemukiman. Pemukiman inilah yang kemudian menjadi Istana Kesultanan Qadriah Pontianak.

Pada tanggal 8 bulan Sya‘ban tahun 1192 H, Syarif Abdurrahman Alqadrie akhirnya dinobatkan sebagai Sultan Pontianak (Kesultanan Qadriah).  Penobatannya sebagai Sultan Pontianak dilakukan oleh Raja Haji dari Kerajaan Riau, dihadiri para raja di Kalimantan Barat. Kemudian Yang Dipertuan Haji Raja Muda dari Riau atas nama seluruh rakyat mengangkat Pangeran Syarif Abdurrahman Nur Alam dengan gelar Maulana Sultan Syarif Abdurrahman Al Qadrie sebagai sultan di Kesultanan Pontianak.

3.Sejarah Kesultanan Banjar
Bagian 1: Kesultanan Banjar (1520-1860)
KESULTANAN Banjar  berdiri pada tahun 1520 . Kesultanan Banjar semula  berada di Kampung Kuin, Banjarmasin, Kalimantan Selatan. Kesultanan Banjar kemudian dipindah ke Martapura, Kabupaten Banjar yang disebut juga Kerajaan Kayu Tangi. Kesultanan Banjar masuk Islam pada 24 September 1526. Kesultanan Banjar dihapuskan  oleh pemerintah Belanda pada 11 Juni 1860. Pemerintahan darurat/pelarian berakhir 1905).
Ketika ibu kotanya masih di Banjarmasin, Kesultanan Banjar disebut Kesultanan Banjarmasin. Kesultanan Banjar merupakan penerus dari Kerajaan Negara Daha yaitu kerajaan Hindu yang beribukota di Kota Negara, sekarang merupakan ibukota Kecamatan Daha Selatan, Hulu Sungai Selatan.
Menurut mitologi suku Maa­nyan, suku tertua di Kalimantan Selatan, kerajaan pertama adalah Kerajaan Nan Sarunai yang wilayah kekuasaannya terbentang luas mulai Tabalong hingga ke daerah Pasir.  Keberadaan mitologi Maanyan menceritakan tentang masa-masa keemasan Kerajaan Nan Sarunai, sebuah kerajaan purba yang dulunya mempersatukan etnis Maanyan di daerah ini dan telah melakukan hubungan dengan pulau Madagaskar. Kerajaan ini mendapat serangan dari Majapahit sehingga sebagian rakyatnya menyingkir ke pedalaman (wilayah suku Lawangan).
Bagian2: Kesultanan Banjar (1520-1860)
Gambaran umum abad ke-19 bagi Kesultanan Banjar, bahwa hubungan kerajaan keluar sebagaimana yang pernah dijalankan sebelumnya, terputus khususnya dalam masalah hubungan perdagangan internasional. Tetapi kekuasaan sultan ke dalam tetap utuh, tetap berdaulat menjalani kekuasaan sebagai seorang sultan
Bagian 3: Kebangkitan Kesultanan Banjar
Komitmen Khairul Saleh untuk memelihara dan membangkitkan budaya Banjar sudah tertanam sejak lama. Jauh sebelum Pangeran Khairul Saleh dilantik sebagai Raja Muda Kesultanan Banjar, beliau sudah lama duduk sebagai Ketua Yayasan Sultan Adam. Bersama Pangeran H Rusdi Effendi AR, Pemimpin Umum Banjarmasin Post Group, dan tetuha kerabat kesultanan, Khairul Saleh mengaktifkan yayasan ini guna mempertautkan kembali warisan/peninggalan Kerajaan Banjar yang pernah berjaya di Kalimantan. Di  antara kegiatannya adalah memelihara semangat kekeluargaan dan silaturahim para zuriat Kesultanan Banjar serta melakukan kegiatan-kegiatan budaya.
















Tidak ada komentar:

Posting Komentar

MAKALAH KERAJAAN ISLAM DI INDONESIA

KERAJAAN ISLAM DI INDONESIA  BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Indonesia memiliki sejarah yang panjang mengenai kerajaan-ker...