Sabtu, 01 Desember 2018

MAKALAH CENDIKIAWAN MUSLIM INDONESIA

BAB I 
PENDAHULUAN 

A. LATAR BELAKANG 

 Di antara cendekiawan ini, ada yang bisa kita sebut sebagai cendekiawan Muslim. Kata Muslim ini untuk mempermudah identifikasi persoalan ketimbang melakukan sekat-sekat dan mendirikan bilik-bilik di kalangan cendekiawan. Ia merujuk pada sekelompok orang yang melakukan penyebaran wacana Islam yang lebih toleran, terbuka, demokratis, dan majemuk. Cendekiawan Muslim ini dapat berbentuk perorangan, jaringan, kelompok atau pusat kajian, baik yang berdiri sendiri atau di bawah universitas atau organisasi keagamaan atau lembaga swadaya masyarakat. Gerakan Islam kultural dengan dimulai mendirikan badan-badan yang intinya mengajarkan kepada pelaksanaan ajaran Islam secara kaffah. Yang mana pada awal tahun 1990 Gelombang sekulerisme di kampus-kampus yang berlandaskan pancasila (nasionalis) telah meminggirkan ajaran-ajaran Islam yang membuat golongan muda menjadi sekuler dan meniggalkan tradisi-tradisi Islam. Kaum intelektual muda ini diidentifikasikan kemudian sebagai middle-class (kelas menengah). Melihat kesenjangan sosial yang semakin tinggi, kelas menegah dengan pergerakan Islam kulturalnya ini melakukan aksi yang nyata dalam menyikapi kemsikinan. Memberikan sumbangan, dan menggaungkan bahwa gerakan Islam ini diharapkan akan dapat merubah kehidupan bangsa menjadi lebih baik. 

B. RUMUSAN MASALAH 

1. Pengertian Cendekiawan Muslim
2. Tokoh-Tokoh Cendikiawan Muslim Di Indonesia 





BAB II 
PEMBAHASAN 


 A. Pengertian Cendekiawan Muslim

Cendekiawan Muslim adalah seseorang yang menganut agama Islam, pandai dalam bidangnya baik ilmu agama maupun filsafat, serta telah menghasilkan karya-karya yang bermanfaat bagi banyak orang. Masa-masa kejayaan cendikiawan muslim adalah dari berkembangnya Islam sampai tahun 1000-an dan banyak karya-karya dari para cendikiawan ini, khususnya dalam ilmu pengetahuan, yang langsung berpengaruh pada zaman Renaissance di Eropa. 


Kyai Haji Abdurrahman Wahid (Gud Dur).


Biografi Kyai Haji Abdurrahman Wahid (Gud Dur). Mantan Presiden Keempat Indonesia ini lahir di Jombang, Jawa Timur, 7 September 1940 dari pasangan Wahid Hasyim dan Solichah. Guru bangsa, reformis, cendekiawan, pemikir, dan pemimpin politik ini menggantikan BJ Habibie sebagai Presiden RI setelah dipilih MPR hasil Pemilu 1999. Dia menjabat Presiden RI dari 20 Oktober 1999 hingga Sidang Istimewa MPR 2001. Ia lahir dengan nama Abdurrahman Addakhil atau "Sang Penakluk", dan kemudian lebih dikenal dengan panggilan Gus Dur. "Gus" adalah panggilan kehormatan khas pesantren kepada anak kiai.

Gus Dur adalah putra pertama dari enam bersaudara, dari keluarga yang sangat terhormat dalam komunitas muslim Jawa Timur. Kakek dari ayahnya, KH. Hasyim Asyari, adalah pendiri Nahdlatul Ulama (NU), sementara kakek dari pihak ibu, KH Bisri Syansuri, adalah pengajar pesantren. Ayah Gus Dur, KH Wahid Hasyim, terlibat dalam Gerakan Nasionalis dan menjadi Menteri Agama pada 1949. Ibunya, Hj. Sholehah, adalah putri pendiri Pondok Pesantren Denanyar Jombang. Setelah deklarasi kemerdekaan Indonesia tanggal 17 Agustus 1945, Gus Dur kembali ke Jombang dan tetap berada di sana selama perang kemerdekaan Indonesia melawan Belanda. Akhir 1949, dia pindah ke Jakarta setelah ayahnya ditunjuk sebagai Menteri Agama. Dia belajar di Jakarta, masuk ke SD KRIS sebelum pindah ke SD Matraman Perwari.

Gus Dur juga diajarkan membaca buku non Islam, majalah, dan koran oleh ayahnya untuk memperluas pengetahuannya. Pada April 1953, ayahnya meninggal dunia akibat kecelakaan mobil. Pendidikannya berlanjut pada 1954 di Sekolah Menengah Pertama dan tidak naik kelas, tetapi bukan karena persoalan intelektual. Ibunya lalu mengirimnya ke Yogyakarta untuk meneruskan pendidikan. Pada 1957, setelah lulus SMP, dia pindah ke Magelang untuk belajar di Pesantren Tegalrejo. Ia mengembangkan reputasi sebagai murid berbakat, menyelesaikan pendidikan pesantren dalam waktu dua tahun (seharusnya empat tahun).

Pada 1959, Gus Dur pindah ke Pesantren Tambakberas di Jombang dan mendapatkan pekerjaan pertamanya sebagai guru dan kepala madrasah. Gus Dur juga menjadi wartawan Horizon dan Majalah Budaya Jaya. Pada 1963, Wahid menerima beasiswa dari Departemen Agama untuk belajar di Universitas Al Azhar, Kairo, Mesir, namun tidak menyelesaikannya karena kekritisan pikirannya. Gus Dur lalu belajar di Universitas Baghdad. Meskipun awalnya lalai, Gus Dur bisa menyelesaikan pendidikannya di Universitas Baghdad tahun 1970.





Prof. Dr. H. Ahmad Syafii Maarif


Prof. Dr. H. Ahmad Syafii Maarif (lahir di Sumpurkudus, Sijunjung, Sumatera Barat, 31 Mei 1935; umur 80 tahun) adalah seorang ulama, ilmuwan dan pendidik Indonesia. Ia pernah menjabat Ketua Umum Pengurus Pusat Muhammadiyah, Presiden World Conference on Religion for Peace (WCRP) dan pendiri Maarif Institute, dan juga dikenal sebagai seorang tokoh yang mempunyai komitmen kebangsaan yang tinggi.[1] Sikapnya yang plural, kritis, dan bersahaja telah memposisikannya sebagai "Bapak Bangsa". Ia tidak segan-segan mengkritik sebuah kekeliruan, meskipun yang dikritik itu adalah temannya sendiri.
Kehidupan
Kehidupan awal
Ahmad Syafii Maarif lahir di Nagari Calau, Sumpur Kudus, Minangkabau pada 31 Mei 1935.[2] Ia lahir dari pasangan Ma'rifah Rauf Datuk Rajo Malayu, dan Fathiyah.[a] Ia bungsu dari 4 bersaudara seibu seayah, dan seluruhnya 15 orang bersaudara seayah berlainan ibu.[3] Ayahnya adalah saudagar gambir, yang belakangan diangkat sebagai kepala suku di kaumnya.[4] Sewaktu Syafii berusia satu setengah tahun, ibunya meninggal. Syafii kemudian dititipkan ke rumah adik ayahnya yang bernama Bainah, yang menikah dengan adik seibu ibunya yang bernama A. Wahid.[4]
Pada tahun 1942, ia dimasukkan ke sekolah rakyat (SR, setingkat SD) di Sumpur Kudus.[2] Sepulang sekolah, Pi'i, panggilan akrabnya semasa kecil,[5] belajar agama ke sebuah Madrasah Ibtidaiyah (MI) Muhammadiyah pada sore hari dan malamnya belajar mengaji di surau yang berada di sekitar tempat ia tinggal, sebagaimana umumnya anak laki-laki di Minangkabau pada masa itu.[4] Pendidikannya di SR, yang harusnya ia tempuh selama enam tahun, dapat ia selesaikan selama lima tahun. Ia tamat dari SR pada tahun 1947, tetapi tidak memperoleh ijazah karena pada masa itu terjadi perang revolusi kemerdekaan.[6] Namun, setelah tamat, karena beban ekonomi yang ditanggung ayahnya, ia tidak dapat meneruskan sekolahnya selama beberapa tahun.[2] Baru pada tahun 1950, ia masuk ke Madrasah Muallimin Muhammadiyah di Balai Tangah, Lintau sampai duduk di bangku kelas tiga.[3]

Abdul Karim Amrullah


Abdul Karim Amrullah lahir dengan nama Muhammad Rasul di Nagari Sungai Batang, Maninjau, Agam, Sumatera Barat, 10 Februari 1879 bertepatan dengan 17 Syafar 1296 Hijriah. Pada masa kecilnya, beliau diberi nama Muhammad Rasul, namun setelah menunaikan ibadah haji, namanya diganti menjadi Abdul Karim Amrullah. Beliau juga dikenal dengan panggilan Inyiak De-er (Dr.), karena pada tahun 1926 beliau mendapat gelar Doktor Honoris Causa dari Universitas Al-Azhar di Mesir dalam bidang agama. Ayahnya bernama Syekh Amrullah atau Tuanku Kisai atau dalam beberapa literatur sering ditulis dengan Syekh Amrullah Tuanku Kisa-i, seorang guru tarekat Naqsyabandiyah di Maninjau.

Sekembalinya dari Mekkah tahun 1901, ia dinobatkan sebagai seorang ulama muda dengan gelar Syekh Tuanku Nan Mudo, sedangkan ayahnya, Syekh Muhammad Amrullah diberi gelar Syekh Tuanku Nan Tuo dengan suatu upacara. Tuanku Nan Tuo beraliran lama, sedangkan Tuanku Nan Mudo seorang pemuda yang membawa aliran baru. Pada tahun 1904 ia kembali ke Makkah dan kembali ke kampungnya tahun 1906. Kepergian yang kedua kalinya ini, disuruh ayahnya untuk mengantar adiknya belajar di sana. Namun, kesempatan ini dimanfaatkannya untuk mengajar pada halaqah sendiri di rumah Syekh Muhammad Nur al-Khalidi di Samiyah atas izin dari Ahmad Khatib. Namun demikian, ia sering bertanya kepada gurunya, Syekh Ahmad Khatib mengenai masalah-masalah yang rumit.
Pada tahun 1925, ia melawat ke Jawa untuk yang kedua kalinya. Di Yogyakarta, ia bertemu dengan tokoh-tokoh Muhammadiyah, terutama dengan H. Fakhruddin. Dalam pertemuan itu mereka saling mengungkapkan perkembangan Islam di daerah mereka masing-masing. Ia tertarik dengan organisasi Muhammadiyah, karena disamping ideologinya mengacu kepada ajaran al-Qur`an dan Hadis, juga amal usahanya mencakup berbagai aspek ajaran Islam, seperti menyelenggarakan pendidikan dengan mendirikan sekolah-sekolah, melaksanakan amal sosial dengan mendirikan rumah-rumah pemeliharaan anak yatim dan fakir miskin dan lainnya. Sekembalinya ke kampung, ia menceritakan pengalamannya kepada kawan-kawannya mengenai organisasi Muhammadiyah dan amal usahanya dalam rangka menegakkan amar ma’ruf nahyi munkar. Ia yakin bahwa organisasi itu dapat berguna untuk melemahkan bekas muridnya, H. Datuk Batuah dan kawan-kawan, yang aktif dalam organisasi komunis. Pada tahun itu juga ia mendirikan Muhammadiyah di Sungai Batang, Maninjau melalui lembaga Sendi Aman yang didirikan tahun 1925. Setelah Sendi Aman menjalankan misi Muhammadiyah, lembaga ini berkembang dengan cepat dan sekaligus menjadi basis pertama Muhammadiyah di Minangkabau.



Abdul Halim

Abdul Halim atau K.H. Abdul Halim, lebih dikenal dengan nama K.H. Abdul Halim Majalengka (lahir di Desa Ciborelang, Jatiwangi, Majalengka, Kecamatan Jatiwangi, Majalengka, Kabupaten Majalengka, Jawa Barat, 26 Juni 1887 – meninggal di Majalengka, 7 Mei 1962 pada umur 74 tahun) adalah Pahlawan Nasional berdasarkan Keputusan Presiden Republik Indonesia, Susilo Bambang Yudoyono Nomor: 041/TK/Tahun 2008 tanggal 6 November 2008.[1]. Seorang tokoh pergerakan nasional, tokoh organisasi Islam, dan ulama yang terkenal toleran dalam menghadapi perbedaan pendapat antar ulama tradisional dan pembaharu (modernis).




HOS Cokroaminoto.

Beliau dikenal sebagai Salah satu Pahlawan Nasional. Nama lengkap beliau adalah Raden Hadji Oemar Said Tjokroaminoto atau H.O.S Cokroaminoto lahir di Ponorogo, Jawa Timur, 16 Agustus 1882 dan meninggal di Yogyakarta, 17 Desember 1934 pada umur 52 tahun. Tjokroaminoto adalah anak kedua dari 12 bersaudara dari ayah bernama R.M. Tjokroamiseno, salah seorang pejabat pemerintahan pada saat itu. Kakeknya, R.M. Adipati Tjokronegoro, pernah juga menjabat sebagai bupati Ponorogo. Sebagai salah satu pelopor pergerakan nasional, ia mempunyai beberapa murid yang selanjutnya memberikan warna bagi sejarah pergerakan Indonesia, yaitu Musso yang sosialis/komunis, Soekarno yang nasionalis, dan Kartosuwiryo yang agamis. Namun ketiga muridnya itu saling berselisih. Pada bulan Mei 1912, Tjokroaminoto bergabung dengan organisasi Sarekat Islam.

Sebagai pimpinan Sarikat Islam, HOS dikenal dengan kebijakan-kebijakannya yang tegas namun bersahaja. Kemampuannya berdagang menjadikannya seorang guru yang disegani karena mengetahui tatakrama dengan budaya yang beragam. Pergerakan SI yang pada awalnya sebagai bentuk protes atas para pedagang asing yang tergabung sebagai Sarekat


Prof. Nur Anas Djamil


Prof. Nur Anas Djamil (lahir di Balai Mansiro, Guguk, Lima Puluh Kota, 17 Oktober 1931; umur 84 tahun), adalah tokoh agama yang berasal dari Sumatera Barat.[1]
Ia lulus dari IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta pada 1962 dan kemudian menjabat sebagai dekan Fakultas Keguruan Sastra dan Seni (kini Fakultas Bahasa dan Seni) Universitas Negeri Padang (saat itu masih bernama IKIP Padang) pada periode 1969-1971[2] dan pensiun dari universitas tersebut pada tahun 2001. Ia juga mengajar di Universitas Bung Hatta, dimana ia mengajar selama 28 tahun.
Dari tahun 1995 sampai 2000, ia menjabat sebagai Ketua Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Sumatera Barat, dan kini sebagai ketua Lembaga Amil Zakat Infak dan Sadaqah di lembaga yang sama untuk periode 2010-2015.

Karya
•    Djamil, N. A. (1975). Masyarakat nelayan di pesisir utara Aceh: Kertas hasil penelitian. Banda Aceh: Pusat Latihan Penelitian Ilmu-Ilmu Sosial Aceh. OCLC 52793393
•    Rasyad, H., Yamin, M., & Djamil, N. A. (1981). Pemakaian kosa kata bahasa Indonesia murid kelas 6 sekolah dasar Sumatera Barat. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. OCLC 66200189
•    Djamil, N. A., Universitas Andalas., IKIP (Padang)., INS Kayutanam (Padang).,



BAB III
PENUTUP

Kesimpulan
Cendikiawan muslim Indonesia sangat penting pengaruhnya terhadap kemajuan bangsa Indonesia diberbagai bidang unsur kehidupan, dengan pemikiran-pemikiran dan ilmu  para cendikia-cendikia tersebut banyak melahirkan ide-ide yang brilian yang dapat dirasakan manfaatnya bagi seluruh masyarakat Indonesia.


Untuk file Ms Word yang sudah diedit dan bergambar silahkan KLIK DISINI



Tidak ada komentar:

Posting Komentar

MAKALAH KERAJAAN ISLAM DI INDONESIA

KERAJAAN ISLAM DI INDONESIA  BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Indonesia memiliki sejarah yang panjang mengenai kerajaan-ker...