Senin, 31 Juli 2017

UPACARA ADAT DI PALEMBANG



TRADISI ATAU UPACARA-UPACARA DI PALEMBANG

1.Tradisi penguburan di gua
      Konsep Kematian Dan Penguburan Tradisional. Adanya penguburan dalam gua-gua dan ceruk payung menunjukkan adanya satu konsep kepercayaan tentang kematian yang berkembang pesat seiring dengan peningkatan teknologi dan kemampuan manusia dalam mengahadapi tantangan alam. Pemilihan lokasi penguburan yang berada di sudut-sudut bagian dalam gua yang cukup gelap, merupakan wujud dari perasaan takut mereka akan kekuatan dan pengaruh yang berasal dari luar kehidupan manusia (supranatural). Manusia pada masa ini, percaya dan yakin bahwa kematian itu bukanlah akhir dari satu kehidupan manusia, tetapi merupakan salah satu tahapan transisi kehidupan yang harus dilewati oleh roh si mati dalam perjalanan mencapai alam arwah.

Selama masa transisi, roh si mati tidak dapat berbuat apa-apa, dan sangat membutuhkan bantuan keluarga lainnya untuk mempersiapkan dan menyelenggarakan perjalanan panjangnya. Keberhasilan perjalanan roh si mati dalam menuju alam arwah (surga)  merupakan kewajiban ahli waris atau keluarga yang ditinggalkannya, dan keberhasilan itu berdampak baik pada kehidupan manusia terutama  yang berkaitan dengan kesuburan tanaman, kesehatan dan  kemakmuran.
     Pandangan dan keyakinan inilah yang kemudian memunculkan adanya pemberian bekal kubur bagi  keperluan si mati. Seperti diketahui, setelah meninggal, roh si mati harus mengadakan perjalanan panjang dan penuh rintangan menuju ke alam arwah. Perjalanan tersebut memerlukan persiapan yang matang dan perbekalan yang cukup, sehingga nantinya tidak akan mengalami gangguan dan dapat sampai dengan selamat ke alam arwah.
Untuk keperluan perjalanan roh tersebut, maka disertakan barang atau benda lain yang diperlukan selama perjalanan tersebut, seperti : makanan secukupnya, senjata, perhiasan dan lainnya. Pada awalnya, perlakuan terhadap mayat hanya berupa pemberian taburan warna atau sapuan cat merah (oker) pada rangka manusia yang dikuburkan, kemudian berkembang seperti di atas bahkan adapula yang menyertakan seekor binatang peliharaan atau seorang budak yang dimilikinya, untuk mengawal perjalanan menuju ke alam arwah.

Semua konsep dan kepercayaan yang diyakini oleh masyarakat tradisional ini dilakukan dengan penuh ketaatan dan diatur secara tegas dalam adat istiadat tradisional.  Dalam aturan adat istiadat, proses penanganan si mati ini terdiri dari dua atau tiga tahap, yaitu : tahap penguburan pertama, tahap penguburan kedua dan tahap penguburan ketiga. Tetapi pada umumnya yang sering tampak adalah penguburan pertama dan dilanjutkan oleh penguburan kedua beberapa waktu kemudian.
    Pada pelaksanaan penguburan pertama, biasa si mati (mayat) dimasukkan dalam sebuah wadah tertentu (peti kubur, tempayan dan lain-lain). Sedang pada pelaksanaan penguburan kedua, biasa dilakukan setelah 2

2.
Tradisi Tahunan Mandi Bongen
(KAJIAN KRITIS TERHADAP ANCAMAN PERSATUAN DAN KESATUAN DI DUNIA KEBUDAYAAN PALEMBANG

“Hamparan pasir yang biasa disebut warga Sekayu dengan “bongen” ini dimanfaatkan warga sekitar untuk mandi. Warga Sekayu terutama muda-mudi justru memanfaatkannya untuk rekreasi dan bermain air bersama keluarganya. Tampak juga para wisatawan dan pedagang yang berdatangan untuk menyaksikan tradisi tahunan ini.”
            Fenomena diatas sudah tidak asing lagi bagi masyarakat Sekayu, Kabupaten Musi Banyuasin, Sumatera Selatan saat air Sungai Musi mulai dangkal. Masyarakat berbondong-bondong pergi ke Sungai Musi untuk merayakan tradisi tahunan ini. Tradisi yang hanya bisa dijumpai satu kali dalam satu tahun ini memang berbeda dengan kebanyakan tradisi yang ada. Mandi bongen berarti mandi dengan pasir, kedua kata tersebut berasal dari bahasa Sekayu, yaitu Mani atau Mandi yang berarti Mandi, sedangkan Bongen artinya Pasir. Maka kebudayaan Mandi bongen adalah kebudayaan mandi dengan pasir masyarakat pesisir Sungai Musi Kota Sekayu di waktu Sungai Musi dangkal.
            Indonesia sebagai negara yang memiliki banyak sekali kebudayaan yang tidak bisa dihitung dengan jari, Sumatera Selatan khususnya memiliki lebih dari 100 kebudayaan di setiap daerahnya. Musi Banyuasin sebagai salah satu kabupaten di Sumatera Selatan memiliki berbagai macam kebudayaan yang sangat unik untuk dikaji. Budaya Mandi bongen salah satunya, tradisi ini banyak menimbulkan opini-opini berkaitan dengan tradisi mitos, alam, serta sejarahnya yang sangat kompleks sekali. Mandi bongen dikalangan masyarakat Sekayu, Musi Banyuasin tidak hanya sekedar menjadi tradisi saja tetapi banyak sekali nilai-nilai budaya yang bisa diaplikasikan kedalam kehidupan masyarakat sehari-hari.
            Berangkat dari hal tersebut, apakah yang membuat tradisi ini berbeda dengan tradisi lainnya yang ada di dunia? Seberapa besar pengaruh tradisi mandi bongen dalam menciptakan rasa persatuan dan kesatuan diantara masyrakat?
         Menurut saya Saat musim kemarau tiba adalah waktu yang paling ditunggu-tunggu oleh masyarakat Sekayu, Kabupaten Musi Banyuasin. Keadaan sungai musi yang dangkal bahkan dipertengahan sungaipun dapat dijajaki oleh kaki, keadaan tersebut dimanfaatkan oleh masyarakat untuk mandi dan rekreasi di Sungai Musi. Keadaan tersebut tidak disia-siakan masyarakat untuk berekreasi setiap tahun dengan mandi di sungai musi yang penuh dengan pasir atau bongen, banyak kalangan yang melakukan mandi bongen mulai dari anak-anak, orang tua, remaja, bahkan sesekali ada wisatawan yang berkesempatan untuk ikut merasakan mandi bongen ini. Kebudayaan mandi bongen ini juga tidak hanya dilakukan masyarakat golongan tertentu saja, akan tetapi semua lapisan atau golongan masyarakat berpartisipasi untuk ikut memeriahkan tradisi mandi bongen tersebut.
            Anak-anak bermain pasir dipinggiran sungai, para remaja bermain sepak bola dan ada juga yang bermain bola voli, para orang tua juga terlihat sangat senang / menyebrangi sungai musi sampai ke seberang, karena memang kondisi Sungai Musi yang sangat dangkal pada saat musim kemarau ini membuat masyarakat bisa menjangkau sungai sampai ke seberang. Selain itu, pada saat bongen luas, banyak masyarakat yang mandi di atas pasir karena airnya terasa lebih segar. Bahkan, bongen ini akan dipenuhi masyarakat berbagai usia dari pagi hingga sore hari.
            Tidak hanya aktivitas mandi diatas pasirnya saja yang membuat tradisi ini berbeda dengan tradisi lainnya. Mitos masyarakat juga berkembang seiring dengan berjalannya tradisi ini setiap tahunnya. Sehingga sering kali banyak persepsi mengenai mandi bongen ini, ada yang mengatakan bahwa jika orang jauh atau bukan orang daerah tersebut maka harus hati-hati karena bisa saja orang asing tersebut tenggelam, atau bahkan digigit buaya. Selain itu juga masyarakat masih mempercayai jika ada korban yang tenggelam ke dasar sungai disebabkan oleh adanya inung ruguk, atau sejenis makhluk halus yang diyakini masyarakat penghuni sungai musi. Fenomena masyarakat yang tertarik kedalam permukaan pasir sungai juga diyakini oleh masyarakat sebagai korban dari hantu ayo (Hantu Sungai Musi). Adanya hal tersebut menyebabkan masyarakat waspada dalam berekreasi dan berusaha menghormati penunggu Sungai Musi. Sampai sekarangpun masyrakat masih melakukan tradisi mandi bongen ini sebagai tradisi tahunan masyarakat kabupaten Musi Banyuasin walaupun mereka tetap meyakini mitos-mitos tersebut.
            Uniknya kegiatan yang ada dalam tradisi ini dan juga kentalnya kepercayaan masyarakat terhadap mitos hantu penuggu Sungai Musi yang ada disetiap tradisi ini dilakukan tidak membuat tradisi ini mati begitu saja. Kentalnya nilai persaudaraan diantara masyarakat Sekayu, Musi Banyuasin membuat tradisi ini semakin hidup sepanjang tahunnya. Menurut kepercayaan masyarakat Sekayu tradisi ini akan terasa lebih meriah jika dilakukan bersama-sama keluarga terdekat dan juga masyarakat sekitar lainnya. Tidak ada perasaan kesal yang menyelimuti wajah masyarakat selama tradisi ini berlangsung, hanya ada keceriaan dan kentalnya nuansa persahabatan diantara masyarakat Sekayu. Selain itu masyarakat juga dituntut untuk lebih sportif saat bermain sepak bola dan bola voli yang merupakan bagian dari acara tradisi tahunan mandi bongen ini.
            Setiap kegiatan yang dilakukan dalam tradisi ini memang terkesan biasa saja namun nilai persatuan dan kesatuan diantara para masyarakat inilah yang tidak bisa dibeli dengan apapun, tradisi mandi bongen ini merupakan salah satu cerminan budaya masyarakat Musi Banyuasian yang berusaha untuk mempersatukan seluruh lapisan masyarakat. Dengan adanya persatuan diantara masyarakat maka setiap lapisan masyarakat akan berusaha untuk menjaga tali persabahatan yang sudah terjalin selama ini. Budaya mandi bongen ini hendaknya menjadi cerminan bagi dunia internasional dalam menanggapi berbagai konflik saudara yang ada sekarang. Masyarakat Musi Banyuasin melalui tradisi mandi bongen ini  berusaha meunjukkan kepada kita, bagaimana sebuah persahabatan, persatuan dan kesatuan itu tetap ada walaupun dari kalangan yang berbeda.
            Dan semoga dari essay saya ini bermanfaat unutk semua warga/masyarakat manapun dan bisa kita pahami bersama.

3. Tradisi Bekarang Iwak
     Pada Agustus lalu warga Kelurahan Pulokerto, Kecamatan Gandus, Palembang melaksanakan sebuah sedekah adat yang disebut Bekarang Iwak yaitu sebuah tradisi adat yang rutin dilaksanakan tiap tahun di sungai Lacak. Bekarang Iwak sendiri sebenarnya hampir tak berbeda dengan sedekah-sedekah adat lain yang biasa dilaksanakan oleh warga yang ada di kota Palembang. Yang membedakan di sini hanyalah bahwa setelah diadakan beberapa ritual upacara adat dan makan bersama, kemudian disusul dengan acara menangkap ikan secara bersama-sama di sungai Lacak yang melibatkan warga kelurahan Pulokerto seperti nama tradisi tersebut yaitu Bekarang = menangkap, dan Iwak = ikan. 
     Hasil dari tangkapan ikan itu kemudian dikumpulkan dan dipilah antara yang besar dan kecil. Untuk ikan-ikan kecil diperbolehkan oleh pemangku adat untuk di bawa pulang warga yang ikut serta menangkap ikan, sementara untuk yang besar-besar diambil oleh pemangku adat untuk kemudian di jual. Uang dari penjualan ikan tersebut digunakan untuk keperluan umum warga seperti membangun masjid, jembatan dan sebagainya. 
     Hasil tangkapan ikan dari tradisi Bekarang Iwak ini memang bisa mencapai beberapa ton hingga dari tradisi ini saja sarana-sarana umum seperti jembatan atau bendungan bisa terbantu pelaksanannya. Hal ini dapat terjadi karena berbeda dengan sungai-sungai di pulau jawa yang kebanyakan tercemar dan terjadi pendangkalan tiap tahunnya, dan diperparah lagi dengan terjadinya perburuan-perburuan ikan yang tak jarang memakai bahan-bahan kimia hingga hanya menyisakan ikan sapu-sapu sebagai penghuninya, maka di sungai Lacak ini kelestarian sungai sangat diperhatikan karena mereka sadar bahwa penghidupan mereka sangat tergantung oleh sungai ini. Oleh karena itu warga kelurahan Pulokerto ini jangankan menangkap ikan menggunakan bahan-bahan kimia, bahkan untuk menangkap ikan menggunakan setrum ikan pun tidak diperbolehkan dan akan mendapat hukuman dari pemangku adat setempat.
     Maka tak heran ketika tradisi adat Bekarang Iwak dilaksanakan pun ikan-ikan yang di dapat relative besar-besar dan memang dari jenis ikan yang layak jual seperti ikan gabus, lele, mujair dan sebagainya. 
Menurut kepercayaan setempat kenapa ritual Bekarang Iwak ini selalu dilaksanakan rutin tiap tahunnya adalah karena bila tradisi ini tak dilaksanakan maka desa Pulokerto yang memang warganya selalu berhubungan dengan sungai lacak dalam keseharian mereka akan mendapat hukuman berupa penampakan-penampakan buaya di sungai Lacak baik ketika mereka sedang menggelar tradisi-tradisi adat lainnya maupun dalam keseharian mereka.
     Oleh karena itu dengan diadakannya tradisi adat Bekarang Iwak ini diharapkan setiap warga yang mengikuti acara Bekarang Iwak ini selalu dijauhkan dari malapetaka dan diberikan rezeki yang melimpah ketika mereka menggunakan sungai Lacak sebagai mata pencaharian mereka yaitu menangkap ikan.

4. Tradisi Ziarah Kubra di Palembang

     Di Indonesia, suasana berbeda seringkali terjadi pada hari-hari terakhir bulan Sya’ban. Hari-hari tersebut biasanya dimanfaatkan oleh kaum muslimin untuk berziarah, baik menziarahi makam anggota keluarga yang telah mendahului, maupun ke makam ulama dan para wali Allah. Suasana tersebut juga dirasakan di Kota Palembang. Tiap tahun menjelang bulan suci Ramadhan, kota Palembang akan dibanjiri ulama, habaib dan kyai dari penjuru tanah air dan luar negeri yang menyempatkan diri untuk menghadiri Haul dan Ziarah Kubra Ulama dan Auliya Palembang Darussalam, yang biasanya rutin dilaksanakan setiap tahun.
     Acara Ziarah Kubra merupakan salah satu tradisi turun temurun, terutama bagi kaum Alawiyyin maupun muhibbin yang bermukim di kota Palembang. Acara ini juga melibatkan keluarga Kesultanan Palembang Darussalam mengingat eratnya hubungan kekeluargaan antara kaum Alawiyyin dengan para sultan di Kesultanan Palembang Darussalam. Salah satu tujuan dilakukan ziarah ini adalah untuk mengenang dan meneladani para ulama yang telah melakukan syiar Iislam di kota Palembang. Kegiatan ini dilaksanakan dengan berjalan kaki, membawa umbul-umbul yang bertuliskan kalimat tauhid, dan juga disemarakkan dengan tetabuhan hajir marawis dan untaian kasidah.
Biasanya, rangkaian pertama dari Ziarah Kubra ini adalah diawali dengan haul Al-Habib Abdullah bin Idrus dan Al-Habib Abdurrahman bin Ahmad Al-bin Hamir. Haul ini dilaksanakan di perkampungan Alawiyyin Sungai Bayas Kelurahan Kuto Batu Palembang.
     Menurut sejarah, perkampungan Sungai Bayas ini sudah ada sejak 300 tahun lalu. Kampung ini merupakan pemukiman awal para ulama dari Hadramaut (Yaman), yang menyebarkan ajaran Islam di Palembang dan daerah lain di Indonesia, Malaysia dan Brunei Darussalam. Kini para keluarga ulama itu menetap di perkampungan di sekitar Sungai Bayas, antara lain Kampung Muaro, 10 Ilir, 13 Ilir, Lawang Kidul, dan Al-Fakhru. Sementara di  seberang ulu, antara lain Kampung As-Seggaf, Al-Kaaf, Al-Munawar, Al-Habsyi, Kenduruan, dan Sungai Lumpur.
-Pemakaman Pangeran Syarif Ali
     Setelah dari Sungai Bayas, para peziarah melanjutkan perjalanan menuju pemakaman Pangeran Syarif Ali di Kelurahan 5 Ilir (jaraknya sekitar satu kilometer). Al-Habib Pangeran Syarif Ali, dilahirkan di Palembang pada tahun 1795 M, dari seorang ibu yang bernama Syarifah Nur binti Ibrahim bin Zaid bin Yahya. Adapun ayahnya Habib Abubakar dilahirkan di kota Inat, Hadramaut. Habib Abubakar datang ke kota Palembang bersama ayahnya yaitu Habib Sholeh bin Ali sekitar tahun 1755. Setelah itu Habib Sholeh kembali ke Hadramaut dan meninggal di kota Inat.

     Di samping mendapatkan pendidikkan agama dari ayahnya, Syarif Ali juga banyak menimba ilmu agama dari para habib baik dari kota Palembang maupun Hadramaut. Dan memasuki usia dewasa, beliau giat melakukan pelayaran niaga, terutama ke Kalimatan dan Jawa dengan menaiki kapal kayu sederhana (Pinisi). Dari pergaulan yang luas dengan para pembesar kesultanan, Syarif Ali memperoleh pengalaman diplomatik. Pernah suatu ketika Syarif Ali mendapat misi khusus ke Kalimatan untuk keperluan Sultan Husin Dhiauddin. Karena misi tersebut berhasil dengan baik, Sultan menikahkannya dengan salah seorang putrinya yang bernama Laila. Dari perkawinan inilah Syarif Ali diberi gelar Pengeran. Pengeran Syarif Ali wafat pada tanggal 27 Muharram 1295 H/ 1877 M.

     Selain makam Habib Pengeran Syarif Ali dan keluarganya, di sini juga dimakamkan Habib Umar bin Alwi bin Syahab yang merupakan ipar dari Pangeran Syarif Ali. Beliau dimakamkan tepat di sebelah makam Pangeran Syarif Ali. Habib Umar adalah seorang ulama yang banyak menyebarkan agama Islam ke pelosok-pelosok terpencil. Beberapa suku adat di Palembang masuk Islam berkat pelantaran beliau, terutama di pesisir Sungai Musi, antara lain daerah Pegayut, Pemulutan, Muara Enim, Lingkis, Ulak Temago, Suko Darmo, bahkan sampai saat ini banyak keturunannya tinggal di daerah Bungin Kiaji yang lebih dikenal dengan Desa Pegayut.

-Pemakaman Kesultanan Kawah Tengkurep


Perjalanan kemudian di lanjutkan ke Pemakaman Kesultanan Kawah Tengkurep yang terletak di Kelurahan 3 Ilir Boom Baru (sekitar 1,5 kilometer dari pemakaman Pangeran Syarif Ali). Pemakaman ini dibangun pada tahun 1728 M oleh Sultan Mahmud Badaruddin I (1724-1758), yaitu seorang pemimpin yang arif dan bijaksana, serta seorang seorang ulama yang hafal Al-Our’an. Di dalam pemerintahnya, Sultan Mahmud Badaruddin I banyak mengadakan musyawarah terutama dengan para habaib. Ia pun memiliki guru-guru agama dari kalangan habaib. Bahkan hampir semua putrinya dinikahkan dengan habaib.
Adapun Imam Kubur (istilah untuk penasehat agama kesultanan yang biasanya dimakamkan bersebelahan dengan para sultan) dari Sultan Mahmud Badaruddin I yaitu Al-‘Arif Billah Al-Habib Abdullah bin Idrus Al-Idrus. sedangkan habib lainnya yang dimakamkan di Pemakaman Kawah Tengkurep, antara lain adalah Al-‘Arif Billah Al-Habib Abdurrahman bin Husin Al-Idrus (Maula Taqooh) yang merupakan Imam Kubur Sultan Ahmad Najamuddin (1758-1776 M), Al-‘Arif Billah Al-Habib Muhammad bin Ali Al-Haddad (Datuk Murni) yang merupakan Imam Kubur Sultan Mahmud Bahauddin (1776-1803 M), Al’Arif Billah A-Habib Muhammad bin Yusuf Al-Angkawi, Al-‘Arif Billah Al-Habib Agil bin Alwi Al-Madihij (Penghulu Al-Madihij di Palembang), serta  Al-‘Arif billah Muhammad dan Habib Ahmad bin Idrus Al-Habsyi yang merupakan ayah dan kakek dari Habib Nuh Al-Habsyi (Keramat Tanjung Pagar, Singapura). Selain itu di sini juga dimakamkan seorang waliyah bernama Hababah Sidah binti Abdullah bin Agil Al-Madihij. Dikisahkan bahwa ia pernah bertemu dengan Rasululah SAW secara yaqozoh (dalam keadaan sadar) dengan iringan tetambuhan rebana dan aroma harum wewangian, sehingga seluruh perkampungan di sekitar rumahnya pun dapat mendengar suara tabuhan rebana tersebut.
-Pemakaman Kambang Koci

Rute para peziarah berakhir di Pemakaman Kambang Koci. Lokasi pemakaman ini bersebelahan dengan Pemakaman Kawah Tengkurep (sekitar 200 meter). Konon, pada tahun 1151 H/ 1735 M, Sultan Mahmud Badaruddin 1 mewakafkan sebidang tanah yang cukup luas untuk pemakaman anak cucu serta menantunya. Tanah pemakaman tersebut dinamakan Kambang Koci, yang berasal dari kata kambang (kolam) dan sekoci (perahu), karena jauh sebelumnya tempat itu merupakan tempat pencucian perahu.
Beberapa penghulu habib yang dimakamkan di sini antara lain :
  • Al-‘Arif Billah Al-Habib Syech bin Ahmad bin Syahab yang merupakan ulama besar pada masanya dan dikarenakan kedekatannya dengan Sultan Mahmud Badaruddin 1, ia dianugerahi tanah yang sangat luas dari daerah Kuto sampai Kenten, yang di antara lain ia wakafkan sebagai tanah pemakaman kaum alawiyyin Palembang serta tanah wakaf Masjid Daarul Muttaqien.
  • Al-‘Arif Billah Al-Habib Ibrahim bin Zein bin Yahya (wafat 1790 M), merupakan seorang ulama besar yang memahami banyak masalah Ilmu Fiqh, beliau adalah menantu Sultan Mahmud Badaruddin I yang beristrikan Raden Ayu Aisyah binti Sultan Mahmud Badaruddin I. Al-‘Arif Billah Al-Habib Alwi bin Ahmad Al-Kaaf yang dikenal sebagai seorang Wali Quthb.
  • Habib Abdullah bin Salim Al-Kaaf yang merupakan seorang ulama besar sekaligus pengusaha sukses. Beliaulah yang mambangun Masjid Sungai Lumpur pada tahun 1287 H yang berlokasi di 11 Ulu Palembang.
  • Habib Abdullah bin Ali Al-Kaaf yang merupakan seorang wali mastur (tersembunyi). Adapun keturunannya yang banyak menjadi orang sholeh dan ulama besar antara lain Habib Abdurrahman bin Ahmad Al-Kaaf (Jeddah) dan Habib Abdullah bin Ahmad Al-Kaaf (Jakarta).
     Mengingat banyaknya para wali yang dimakamkan di Pemakaman Kambang Koci serta di beberapa pemakaman lainnya di kota Palembang, maka banyak dari pemuka habaib dari Hadramaut menyebut Kambang Koci sebagai Zanbal (pemakaman para wali di Kota Tarim, Hadhramaut)-nya Palembang. Sementara Kota Palembang sendiri sempat dijuluki  sebagai Hadramaut Tsani alias Hadramaut Kedua, karena banyak para ulama yang menetap dan beranak-pinak di kota ini.

5. Tradisi Rumpa-rumpaan

     Usai melaksanakan Salat Idul Fitri dan menyimak khutbah di masjid-masjid atau tanah lapang, jamaah Salat Ied tanpa dikomandoi langsung saling menjulurkan tangan mengucapkan selamat merayakan hari kemenangan dan saling maafmemaafkan. Merayakan Lebaran, bagi umat muslim memang memiliki arti tersendiri dalam perjalanan hidupnya setiap tahun.
Banyak keunikan dalam cara-cara merayakan lebaran, sehingga sering memunculkan berbagai tradisi dan budaya tersendiri yang semakin memeriahkan momen keagamaan itu. Salah satunya adalah mengunjungi keluarga, kerabat, dan teman untuk bersilaturahim dan saling bermaaf-maafan. Di Palembang dan beberapa daerah di wilayah Sumsel, tradisi itu di sebut sanjo.
Kelahiran tradisi dan budaya ini tidak lepas dari unsur pemahaman manusia terhadap ajaran agamanya. Namanya saja tradisi, apa yang terjadi dari tahun ke tahun tampaknya selalu saja menarik untuk diangkat kembali ke permukaan. Sebagaimana biasa, pada lebaran tahun ini para pemimpin tertinggi di pemerintahan baik pusat maupun daerah mempersilahkan warganya untuk datang bersilaturahim dengan menggelar open house.
Namun umumnya sanjo dilaksanakan masing-masing warga perseorangan. Di bebarapa kawasan misalnya, usai menunaikan shalat, beberapa kepala keluarga dalam lingkungan satu kampung berkumpul dan Mereka kemudian bersama-sama mendatangi tempat tinggal tetangga di sekitar tempat tinggal mereka satu persatu untuk bersilaturahmi dan bermaaf-maafan. Kemudian rombongan melanjutkan kunjungan kerumah tetangganya yang lain.
Setiap kepala rumah tangga yang kediamannya baru saja disanjoi, biasanya turut serta dalam rombongan tersebut untuk ikut sanjo ke rumah tetangga yang lain. Silaturahmi berakhir setelah rumah tetangga di sekitar lingkungan tempat tinggal sudah mereka kunjungi. Rumpak-rumpakan atau sebagian orang menyebut dengan Umpak-umpakan (mungkin karena lafal penyebutan huruf R kurang begitu jelas) , begitu aktivitas sanjo beramai-ramai ini dinamai.
Sementara itu tradisi rumpak-rumpakan di beberapa tempat di Palembang seperti daerah ulu laut, seberang ulu masih terus ada. Lebih kurang sebanyak 60 orang berkeliling dari satu rumah warga ke rumah lainnya dengan membawa terbangan (Rebana).
Rumpak-rumpakan ini merupakan tradisi setiap hari raya idul fitri. Saat masuk para tamu menabuhkan terbangan, selanjutnya membacakan salawat nabi dan ditutup doa bersama. Kemudian menghabiskan makanan khas Palembang seperti tekwan dan pempek, kata Rusli Hasani, lrg Setia RT 33 RW 04 Jl KH Azhari 13 Ulu.
Rumpak-rumpakan digelar dengan membawa terbangan dan rebana. Mereka melantunkan Shalawat Nabi pada setiap rumah yang di sanjoi. Tradisi semacam itu, yang hingga saat ini masih dipertahankan, juga dilakukan di beberapa kampung lainnya di Palembang, begitu pula di beberapa daerah di luar Palembang,
seperti di Kabupaten Lahat. Warga di daerah sentra penghasil kopi robusta ini menyebutnya tradisi pantauan. Pantauan dilakukan masyarakat saat hari pertama Lebaran dengan mengunjungi rumah tetangga yang berada di sekitar tempat tinggal, tradisi ini mirip dengan rumpak-rumpakan yang dilakukan masyarakat asli Palembang ketika lebaran. Usai melaksanakan sholat Idul Fitri, setiap kepala keluarga dalam lingkungan satu kampung, berkumpul di mesjid setempat atau di rumah kepala kampung sesuai dengan kesepakatan. Kemudian mereka secara bersama-sama mendatangi tetangga di sekitar tempat tinggal mereka satu per satu.
Jika ada tetangga mereka yang mempunyai niat agar arwah para leluhur mereka untuk didoakan ataupun ada yang baru mempunyai anak, pada saat pantauan ini keluarga yang dikunjungi akan meminta didoakan para tetangga mereka dengan harapan diberikan perlindungan, kesehatan, dan keselamatan oleh sang pencipta.
     Usai berdoa bersama, para tetangga yang datang itu, diminta oleh tuan rumah yang dikunjungi untuk menyantap hidangan yang mereka sediakan. Setelah itu rombangan melanjutkan kunjungan ke rumah tetangganya yang lain lagi, sedangkan kepala rumah yang rumahnya di kunjungi tadi juga ikut serta dalam rombongan tersebut. Jika tidak, mereka akan merasa dikucilkan dalam pergaulan bertetangga di tempat tinggalnya.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

MAKALAH KERAJAAN ISLAM DI INDONESIA

KERAJAAN ISLAM DI INDONESIA  BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Indonesia memiliki sejarah yang panjang mengenai kerajaan-ker...