Rabu, 26 Juli 2017

KESULTANAN-KESULTANAN DI JAWA



KESULTANAN DEMAK
Kejayaan Kesultanan Demak
     Mundurnya Kerajaan Majapahit memberikan kesempatan kepada para bupati yang berada di pesisir pantai utara Jawa untuk melepaskan diri, khususnya Demak. Faktor lain yang mendorong perkembangan Demak ialah letaknya yang strategis di jalur perdagangan Indonesia bagian barat dengan Indonesia bagian timur.
a. Letak Geografis
Secara geografis Kerajaan Demak terletak di Jawa Tengah. Kerajaan Demak berkembang dari sebuah daerah yang bernama Bintoro yang merupakan daerah bawahan Majapahit. Kerajaan Demak merupakan kerajaan Islam pertama di Pulau Jawa.
b. Kehidupan Politik
Raden Patah (1475–1518)
     Dengan bantuan daerah-daerah lain yang masuk Islam, seperti Jepara,Tuban, dan Gresik, Raden Patah pada tahun 1475 berhasil mendirikan Kerajaan Demak, yang merupakan kerajaan Islam pertama di Jawa. Menurut Babad Tanah Jawa, Raden Patah adalah putra Brawijaya V (RajaMajapahit terakhir) dengan putri Campa. Raden Patah semula diangkat menjadi bupati oleh Kerajaan Majapahit di Bintoro Demak dengan gelar Sultan Alam Akhbar al Fatah.
     Dalam upaya mengembangkan kekuasaan dan menguasai perdagangan nasional dan internasional maka pada tahun 1513, Demak melancarkan serangan ke Malaka di bawah pimpinan Adipati Unus (Pangeran Sabrang Lor). Namun, serangan tersebut gagal. Di lingkungan kerajaan, para wali berperan sebagai pendamping dan sekaligus sebagai penasehat raja, khususnya Sunan Kalijaga. Ia banyak memberikan saran- saran sehingga Demak berkembang menjadi mirip kerajaan teokrasi, yaitu kerajaan atas dasar agama.
Sultan Trenggono (1521–1546).
             Adipati Unus (1518–1521 ) menggantikan ayahnya (Raden Patah) untuk menjalankan roda pemerintahan. Ia lebih dikenal dengan nama Pangeran Sabrang Lor (gelar yang diterima sebab pernah mengadakan serangan ke utara/Malaka). Adipati Unus meninggal tanpa meningalkan putra sehingga seharusnya digantikan oleh adiknya, Pangeran Sekar Seda Lepen. Akan tetapi, pangeran ini dibunuh oleh kemenakannya sehingga yang menggantikan takhta Demak adalah adik Adpati Unus yang lain, yakni Pangeran Trenggono. Ia setelah naik takhta Demak bergelar Sultan Trenggono.
       Di bawah pemerintahannya, Kerajaan Demak mencapai puncak kejayaannya. Wilayah kekuasaannya sangat luas, meliputi Jawa Barat (Banten, Jayakarta, dan Cirebon), Jawa Tengah, dan sebagian Jawa Timur. Tindakan-tindakan penting yang pernah dilakukan Sultan Trenggono adalah sebagai berikut:
       a) menegakkan agama Islam;
   b)membendung perluasan daerah yang dilakukan oleh Portugis; Indonesia pada Masa      Perkembangan Islam 6.
    c)menguasai dan mengislamkan Banten, Cirebon, dan Sunda Kelapa (Perluasan ke wilayah Jawa Barat ini dipimpin oleh Fatahilah (Faletehan) yang kemudian menurunkan raja-raja Banten).
      d)   berhasil menakhlukkan Mataram, Singasari, dan Blambangan.
      Sultan Trenggono gugur (1546)
          Ketika berusaha menaklukkan Pasuruan. Wafatnya Sultan Trenggono memberi peluang kepada keturunan Pangeran Sekar Seda Lepen yang merasa berhak atas takhta Kerajaan Demak untuk merebut takhta. Tokoh ini ialah Aria Penangsang yang menjadi bupati di Jipang (Blora). Keluarga Sultan Trenggono dengan tokohnya Pangeran Prawoto berusaha untuk menggantikan ayahnya sehingga terjadi perebutan kekuasaan.
            Perang saudara ini berlangsung selama beberapa tahun yang akhirnya memunculkan Joko Tingkir, menantu Sultan Trenggono yang berasal dari Pajang, menaiki takhta sebagai raja dengan gelar Sultan Hadiwijoyo (1552–1575).
     c. Kehidupan Ekonomi
Dilihat dari segi ekonomi, Demak sebagai kerajaan maritim, menjalankan fungsinya sebagai penghubung atau transit daerah penghasil rempah-rempah di bagian timur dengan Malaka sebagai pasaran di bagian barat. Perekonomian Demak dapat berkembang dengan pesat di dunia maritim karena didukung oleh penghasil dalam bidang agraris yang cukup besar.
     d. Kehidupan Sosial Budaya
Kehidupan sosial Demak diatur oleh hukum-hukum Islam, namun juga masih menerima tradisi lama. Dengan demikian, muncul sistem kehidupan sosial yang telah mendapat pengaruh Islam.
Di bidang budaya, terlihat jelas dengan adanya pembangunan Masjid Agung Demak yang terkenal dengan salah satu tiang utamanya terbuat dari kumpulan sisa-sisa kayu yang dipakai untuk membuat masjid itu sendiri yang disebut soko tatal. Di pendapa (serambi depan masjid) itulah Sunan Kalijaga (pemimpin pembangunan masjid) meletakkan dasar-dasar syahadatain (perayaan Sekaten). Tujuannya ialah untuk memperoleh banyak pengikut agama Islam. Tradisi Sekaten itu sampai sekarang masih berlangsung di Yogyakarta, Surakarta, dan Cirebon.


KESULTANAN PAJANG
Kesultanan Pajang, adalah kerajaan suksesor Kesultanan Demak yang didirikan oleh Joko Tingkir. Pajang sebelumnya merupakan daerah kadipaten di bawah Kesultanan Demak. Situs keraton Pajang, diperkirakan berada di Kelurahan Pajang, Kota Surakarta.

Joko Tingkir adalah anak Ki Ageng Pengging, yang menurut dihukum mati oleh Sunan Kudus karena mengikuti ajaran Syekh Siti Jenar. Setelah ayahnya mangkat, Joko Tingkir kemudian dibesarkan oleh pamannya, Ki Ageng Tingkir. Setelah dewasa, ia diperintahkan pamannya untuk pergi ke Kutaraja Demak dan mengabdi ke Sultan yang berkuasa, yaitu Sultan Trenggono.

Dikisahkan bahwa pada saat ia datang ke kutaraja, sedang diadakan sayembara melawan banteng ketaton (banteng mengamuk). Joko Tingkir yang mengikuti sayembara tersebut dapat melumpuhkan banteng tersebut dengan satu kali pukulan saja. Karena kesaktiannya, Joko Tingkir diterima mengabdi dan akhirnya bahkan menjadi menantu Sultan Trenggono.

Setelah Sultan Trenggono wafat, anaknya Sunan Prawoto diangkat menjadi penggantinya. Akan tetapi ia kemudian meninggal terbunuh dalam intrik perebutan kekuasaan dengan keponakannya sendiri yaitu Arya Penangsang, adipati Jipang yang juga adalah murid Sunan Kudus. Arya Penangsang kemudian menjadi penguasa Demak, dan selanjutnya terjadilah perlawanan terhadap Arya Penangsang yang dipimpin oleh kadipaten Pajang. Waktu itu, Joko Tingkir telah menjadi adipati Pajang.

Dengan bantuan dari kadipaten-kadipaten lainnya yang juga tidak menyukai Arya Penangsang, Joko Tinggkir akhirnya berhasil membinasakan Arya Penangsang. Joko Tingkir kemudian memindahkan istana Demak ke Pajang, dan di sana ia mendirikan Kesultanan Pajang. Joko Tingkir sebagai raja bergelar Sultan Hadiwijaya (1568-1582), kedudukannya disahkan oleh Sunan Giri, segera mendapat pengakuan dari adipati-adipati di seluruh Jawa Tengah dan Jawa Timur.

Salah seorang anak Sunan Prawoto yaitu Arya Pangiri, diangkatnya menjadi adipati Demak. Sedangkan seseorang yang paling berjasa membantunya yaitu Ki Ageng Pemanahan (putra dari Ki Ageng Ngenis, dan cucu Ki Ageng Selo), diberinya imbalan daerah Mataram (sekitar Kota Gede, Yogyakarta) pada tahun 1558 untuk ditinggali.

Pemberian tanah di daerah Mataram oleh Joko Tingkir kepada Ki Ageng Pemanahan, seakan menjadi bumerang karena Mataram akan menghabisi kekuatan Pajang. Ki Ageng Pemanahan, yang kemudian juga dikenal dengan panggilan Ki Gede Mataram, dalam waktu singkat mampu membuat Mataram beserta rakyatnya maju. Namun sebelum dapat ikut menikmati hasil, di tahun 1575 Ki Ageng Pemanahan meninggal dunia.

Usahanya kemudian dilanjutkan oleh anaknya yaitu Sutawijaya, yang merupakan ahli peperangan dan nantinya lebih dikenal dengan nama Senapati ing Alaga (panglima perang) atau Panembahan Senopati.
Tujuh tahun kemudian (1582) Joko Tingkir meninggal, dan Pangeran Benowo anak laki-laki tertuanya yang seharusnya menggantikannya, ternyata disingkirkan Arya Pangiri dan akhirnya hanya dijadikan adipati di Jipang. Pada tahun 1587, Sutawijaya (putra Ki Ageng Pemanahan), penguasa Mataram, menyatakan tidak loyal lagi pada Pajang.
Arya Pangiri diserang oleh Sutawijaya yang dibantu Pangeran Benowo. Ia merebut Pajang dan Arya Pangiri berhasil dikalahkan. Sutawijaya lalu memindahkan Karaton Pajang ke Mataram dan ia menjadi raja bergelar Panembahan Senopati (1575-1601). Pajang kemudian menjadi bagian dari wilayah Kerajaan Mataram yang didirikan oleh Sutawijaya.

KESULTANAN MATARAM
 Mataram merupaken kerajaan berbasis agraris/pertanian & relatif lemah secara maritim. Ia meninggalkan beberapa jejak sejarah yg bisa dilihat sampai kini, seperti kampung Matraman di Batavia/Jakarta, sistem persawahan di Pantura Jawa Barat, penggunaan hanacaraka dlm literatur bahasa Sunda, politik feodal di Pasundan, serta beberapa batas administrasi wilayah yg masih berlaku sampai sekarang. Kesultanan Mataram ialah kerajaan Islam di Pulau Jawa yg pernah berdiri pada abad ke-17.
Kerajaan ini dipimpin suatu dinasti keturunan Ki Ageng Sela & Ki Ageng Pemanahan, yg mengklaim sebagai suatu cabang ningrat keturunan penguasa Majapahit. Asal-usulnya ialah suatu Kadipaten di bawah Kesultanan Pajang, berpusat di “Bumi Mentaok” yg diberikan kepada Ki Ageng Pemanahan sebagai hadiah atas jasanya. Raja berdaulat pertama ialah Sutawijaya [Panembahan Senapati], putra dari Ki Ageng Pemanahan. Kerajaan Mataram pada masa keemasannya pernah menyatukan tanah Jawa & sekitarnya, termasuk Madura.
Kerajaan Mataram pernah memerangi VOC di Batavia untuk mencegah semakin berkuasanya firma dagang itu, namun ironisnya malah harus menerima bantuan VOC pada masa-masa akhir menjelang keruntuhannya. Sutawijaya naik tahta sesudah ia merebut wilayah Pajang sepeninggal Hadiwijaya dengan gelar Panembahan Senopati. Pada saat itu wilayahnya hanya di sekitar Jawa Tengah saat ini, mewarisi wilayah Kerajaan Pajang. Pusat pemerintahan berada di Mentaok, wilayah yg terletak kira-kira di timur Kota Yogyakarta & selatan Bandar Udara Adisucipto sekarang.
Lokasi keraton [tempat kedudukan raja] pada masa awal terletak di Banguntapan, kemudian dipindah ke Kotagede. Sesudah ia meninggal [dimakamkan di Kotagede] kekuasaan diteruskan putranya Mas Jolang yg sesudah naik tahta bergelar Prabu Hanyokrowati. Pemerintahan Prabu Hanyokrowati tak berlangsung lama karena beliau wafat karena kecelakaan saat sedang berburu di hutan Krapyak. Karena itu ia juga disebut Susuhunan Seda Krapyak atau Panembahan Seda Krapyak yg artinya Raja [yang] wafat [di] Krapyak. Setelah itu tahta beralih sebentar ke tangan putra keempat
Mas Jolang yang bergelar Adipati Martoputro. Ternyata Adipati Martoputro menderita penyakit syaraf sehingga tahta beralih ke putra sulung Mas Jolang yg bernama Mas Rangsangpada masa pemerintahan Mas Rangsang,Mataram mengalami masa keemasan.
Sultan Agung Menguasai Pulau Jawa & Madura
Sesudah naik tahta Mas Rangsang bergelar Sultan Agung Prabu Hanyokrokusumo atau lebih dikenal dengan sebutan Sultan Agung. Pada masanya Mataram berekspansi untuk mencari pengaruh di Jawa. Wilayah Mataram mencakup Pulau Jawa & Madura [kira-kira gabungan Jawa Tengah, DIY, & Jawa Timur sekarang].
Ia memindahkan lokasi kraton ke Karta [Jw. “kertå”, maka muncul sebutan pula “Mataram Karta”]. Akibat terjadi gesekan dlm penguasaan perdagangan antara Mataram dengan VOC yg berpusat di Batavia, Mataram lalu berkoalisi dengan Kesultanan Banten & Kesultanan Cirebon & terlibat dlm beberapa peperangan antara Mataram melawan VOC. Setelah wafat [dimakamkan di Imogiri], ia digantikan oleh putranya yg bergelar Amangkurat [Amangkurat I].
Runut Waktu Kerjaan Mataram
1558-Ki Ageng Pemanahan dihadiahi wilayah Mataram oleh Sultan Pajang Adiwijaya atas jasanya mengalahkan Arya Penangsang.
1577-Ki Ageng Pemanahan membangun istananya di Pasargede atau Kotagede.
1584-Ki Ageng Pemanahan meninggal. Sultan Pajang mengangkat Sutawijaya, putra Ki Ageng Pemanahan sebagai penguasa baru di Mataram, yg sebelumnya sebagai putra angkat Sultan Pajang bergelar “Mas Ngabehi Loring Pasar” [karena rumahnya di sebelah utara pasar]. Ia mendapat gelar “Senapati in Ngalaga” [karena masih dianggap sebagai Senapati Utama Pajang di bawah Sultan Pajang].
1587-Pasukan Kesultanan Pajang yg akan menyerbu Mataram porak-poranda diterjang badai letusan Gunung Merapi. Sutawijaya & pasukannya selamat.
1588-Mataram menjadi kerajaan dengan Sutawijaya sebagai Sultan, bergelar “Senapati Ingalaga Sayidin Panatagama” artinya Panglima Perang & Ulama Pengatur Kehidupan Beragama.
1601-Panembahan Senopati wafat & digantikan putranya, Mas Jolang yg bergelar Panembahan Hanyakrawati & kemudian dikenal sebagai “Panembahan Seda ing Krapyak” karena wafat saat berburu [jawa: krapyak].
1613-Mas Jolang wafat, kemudian digantikan oleh putranya Pangeran Aryo Martoputro. Karena sering sakit, kemudian digantikan oleh kakaknya Raden Mas Rangsang. Gelar pertama yg digunakan ialah Panembahan Hanyakrakusuma atau “Prabu Pandita Hanyakrakusuma”. Setelah Menaklukkan Madura beliau menggunakan gelar “Susuhunan Hanyakrakusuma”. Terakhir sesudah 1640-an beliau menggunakan gelar bergelar “Sultan Agung Senapati Ingalaga Abdurrahman”
1645-Sultan Agung wafat & digantikan putranya Susuhunan Amangkurat I.
1645-1677-Pertentangan & perpecahan dlm keluarga kerajaan Mataram, yg dimanfaatkan oleh VOC.
1677-Trunajaya merangsek menuju Ibukota Pleret. Susuhunan Amangkurat I mangkat. Putra Mahkota dilantik menjadi Susuhunan Amangkurat II di pengasingan. Pangeran Puger yg diserahi tanggung jawab atas ibukota Pleret mulai memerintah dengan gelar Susuhunan Ing Ngalaga.
1680-Susuhunan Amangkurat II memindahkan ibukota ke Kartasura.
1681-Pangeran Puger diturunkan dari tahta Plered.
1703-Susuhunan Amangkurat III wafat. Putra mahkota diangkat menjadi Susuhunan Amangkurat III.
1704-Dengan bantuan VOC Pangeran Puger ditahtakan sebagai Susuhunan Paku Buwono I. Awal Perang Tahta I [1704-1708]. Susuhunan Amangkurat III membentuk pemerintahan pengasingan.
1708-Susuhunan Amangkurat III ditangkap & dibuang ke Srilanka sampai wafatnya pada 1734.
1719-Susuhunan Paku Buwono I meninggal & digantikan putra mahkota dengan gelar Susuhunan Amangkurat IV atau Prabu Mangkurat Jawa. Awal Perang Tahta Jawa Kedua [1719-1723].
1726-Susuhunan Amangkurat IV meninggal & digantikan Putra Mahkota yg bergelar Susuhunan Paku Buwono II.
1742-Ibukota Kartasura dikuasai pemberontak. Susuhunan Paku Buwana II berada dlm pengasingan.
1743-Dengan bantuan VOC Ibukota Kartasura berhasil direbut dari tangan pemberontak dengan keadaan luluh lantak. Sebuah perjanjian sangat berat [menggadaikan kedaulatan Mataram kepada VOC selama belum dapat melunasi hutang biaya perang] bagi Mataram dibuat oleh Susuhunan Paku Buwono II sebagai imbalan atas bantuan VOC.
1745-Susuhunan Paku Buwana II membangun ibukota baru di desa Sala di tepian Bengawan Beton.
1746-Susuhunan Paku Buwana II secara resmi menempati ibukota baru yg dinamai Surakarta. Konflik Istana menyebabkan saudara Susuhunan, P. Mangkubumi, meninggalkan istana. Meletus Perang Tahta Jawa Ketiga yg berlangsung lebih dari 10 tahun [1746-1757] & mencabik Kerajaan Mataram menjadi dua Kerajaan besar & satu kerajaan kecil.
1749-11 Desember Susuhunan Paku Buwono II menandatangani penyerahan kedaulatan Mataram kepada VOC. Namun secara de facto Mataram baru dapat ditundukkan sepenuhnya pada 1830. 12 Desember Di Yogyakarta, P. Mangkubumi diproklamirkan sebagai Susuhunan Paku Buwono oleh para pengikutnya. 15 Desember van Hohendorff mengumumkan Putra Mahkota sebagai Susuhunan Paku Buwono III.
1752-Mangkubumi berhasil menggerakkan pemberontakan di provinsi-provinsi Pasisiran [daerah pantura Jawa] mulai dari Banten sampai Madura. Perpecahan Mangkubumi-RM Said.
1754-Nicolas Hartingh menyerukan gencatan senjata & perdamaian. 23 September, Nota Kesepahaman Mangkubumi-Hartingh. 4 November, PB III meratifikasi nota kesepahaman. Batavia walau keberatan tak punya pilihan lain selain meratifikasi nota yg sama.
1755-13 Februari Puncak perpecahan terjadi, ditandai dengan Perjanjian Giyanti yg membagi Kerajaan Mataram menjadi dua, yaitu Kesunanan Surakarta & Kesultanan Yogyakarta. Pangeran Mangkubumi menjadi Sultan atas Kesultanan Yogyakarta dengan gelar “Ingkang Sinuwun Kangjeng Sultan Hamengku Buwono Senopati Ing-Ngalaga Ngabdurakhman Sayidin Panatagama Khalifatullah” atau lebih populer dengan gelar Sri Sultan Hamengku Buwono I.
1757-Perpecahan kembali melanda Mataram. Perjanjian Salatiga, perjanjian yg lebih lanjut membagi wilayah Kesultanan Mataram yg sudah terpecah, ditandatangani pada 17 Maret 1757 di Kota Salatiga antara Raden Mas Said [Pangeran Sambernyawa] dengan Sunan Paku Buwono III,VOC & Sultan Hamengku Buwono I. Raden Mas Said diangkat sebagai penguasa atas sebuah kepangeranan, Praja Mangkunegaran yg terlepas dari Kesunanan Surakarta dengan gelar “Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Arya Mangku Nagara Senopati Ing Ayudha”.
1788-Susuhunan Paku Buwono III mangkat.
1792-Sultan Hamengku Buwono I wafat.
1795-KGPAA Mangku Nagara I meninggal.
1799-Voc dibubarkan
1813-Perpecahan kembali melanda Mataram. P. Nata Kusuma diangkat sebagai penguasa atas sebuah kepangeranan, Kadipaten Paku Alaman yg terlepas dari Kesultanan Yogyakarta dengan gelar “Kangjeng Gusti Pangeran Adipati Paku Alam”.
1830-Akhir perang Diponegoro. Seluruh daerah Manca nagara Yogyakarta & Surakarta dirampas Belanda. 27 September, Perjanjian Klaten menentukan tapal yg tetap antara Surakarta & Yogyakarta & membagi secara permanen Kerajaan Mataram ditandatangani oleh Sasradiningrat, Pepatih Dalem Surakarta, & Danurejo, Pepatih Dalem Yogyakarta. Mataram secara de facto & de yure dikuasai oleh Hindia Belanda.

SEJARAH KEJAYAAN KESULTANAN CIREBON, 1445–1677, KESULTANAN PAKUNGWATI CIREBON

Menurut Sulendraningrat yg mendasarkan pada naskah Babad Tanah Sunda & Atja pada naskah Carita Purwaka Caruban Nagari, Cirebon pada awalnya ialah sebuah dukuh kecil yg dibangun oleh Ki Gedeng Tapa, yg lama-kelamaan berkembang menjadi sebuah desa yg ramai & diberi nama Caruban [Bahasa Sunda: campuran], karena di sana bercampur para pendatang dari berbagai macam suku bangsa, agama, bahasa, adat istiadat, & mata pencaharian yg berbeda-beda untuk bertempat tinggal atau berdagang.
Mengingat pada awalnya sebagian besar mata pencaharian masyarakat ialah sebagai nelayan, maka berkembanglah pekerjaan menangkap ikan & rebon [udang kecil] di sepanjang pantai serta pembuatan terasi, petis, & garam. Dari istilah air bekas pembuatan terasi [belendrang] dari udang rebon inilah berkembanglah sebutan cai-rebon [Bahasa Sunda:, air rebon] yg kemudian menjadi Cirebon.
Dengan dukungan pelabuhan yg ramai & sumber daya alam dari pedalaman, Cirebon kemudian menjadi sebuah kota besar & menjadi salah satu pelabuhan penting di pesisir utara Jawa baik dlm kegiatan pelayaran & perdagangan di kepulauan Nusantara maupun dengan bagian dunia lainnya. Selain itu, Cirebon tumbuh menjadi cikal bakal pusat penyebaran agama Islam di Jawa Barat.Kesultanan Cirebon ialah sebuah kesultanan Islam ternama di Jawa Barat pada abad ke-15 & 16 Masehi, & merupaken pangkalan penting dlm jalur perdagangan & pelayaran antar pulau.
Lokasinya di pantai utara pulau Jawa yg merupaken perbatasan antara Jawa Tengah & Jawa Barat, membuatnya menjadi pelabuhan & “jembatan” antara kebudayaan Jawa & Sunda sehingga tercipta suatu kebudayaan yg khas, yaitu kebudayaan Cirebon yg tak didominasi kebudayaan Jawa maupun kebudayaan Sunda.

Ki Gedeng Alang-Alang

Kuwu atau kepala desa Caruban yg pertama yg diangkat oleh masyarakat baru itu ialah Ki Gedeng Alang-alang. Sebagai Pangraksabumi atau wakilnya, diangkatlah Raden Walangsungsang, yaitu putra Prabu Siliwangi & Nyi Mas Subanglarang atau Subangkranjang, yg tak lain ialah puteri dari Ki Gedeng Tapa. Setelah Ki Gedeng Alang-alang wafat, Walangsungsang yg juga bergelar Ki Cakrabumi diangkat menjadi penggantinya sebagai kuwu yg kedua, dengan gelar Pangeran Cakrabuana.

Ki Gedeng Tapa

Ki Gedeng Tapa [atau juga dikenal dengan nama Ki Gedeng Jumajan Jati] ialah seorang saudagar kaya di pelabuhan Muarajati, Cirebon. Ia mulai membuka hutan ilalang & membangun sebuah gubug & sebuah tajug [Jalagrahan] pada tanggal 1 Syura 1358 [tahun Jawa] bertepatan dengan tahun 1445 Masehi. Sejak saat itu, mulailah para pendatang mulai menetap & membentuk masyarakat baru di desa Caruban.

Masa Kesultanan Cirebon [Pakungwati]

Pangeran Cakrabuana […. –1479]

Pangeran Cakrabuana ialah keturunan Pajajaran. Putera pertama Sri Baduga Maharaja Prabu Siliwangi dari istrinya yg kedua bernama SubangLarang [puteri Ki Gedeng Tapa]. Nama kecilnya ialah Raden Walangsungsang, sesudah remaja dikenal dengan nama Kian Santang. Ia mempunyai dua orang saudara seibu, yaitu Nyai Lara Santang/ Syarifah Mudaim & Raden Sangara. Sebagai anak sulung & laki-laki ia tak mendapatkan haknya sebagai putera mahkota Pakuan Pajajaran. Hal ini disebabkan oleh karena ia memeluk agama Islam [diturunkan oleh Subanglarang-ibunya], sementara saat itu [abad 16] ajaran agama mayoritas di Pajajaran ialah Sunda Wiwitan [agama leluhur orang Sunda] Hindu & Budha. Posisinya digantikan oleh adiknya, Prabu Surawisesa, anak laki-laki Prabu Siliwangi dari istrinya yg ketiga Nyai Cantring Manikmayang.
Ketika kakeknya Ki Gedeng Tapa yg penguasa pesisir utara Jawa meninggal, Walangsungsang tak meneruskan kedudukan kakeknya, melainkan lalu mendirikan istana Pakungwati & membentuk pemerintahan di Cirebon. Dengan demikian, yg dianggap sebagai pendiri pertama Kesultanan Cirebon ialah Walangsungsang atau Pangeran Cakrabuana. Pangeran Cakrabuana, yg usai menunaikan ibadah haji kemudian disebut Haji Abdullah Iman, tampil sebagai “raja” Cirebon pertama yg memerintah dari keraton Pakungwati & aktif menyebarkan agama Islam kepada penduduk Cirebon.

Sunan Gunung Jati [1479-1568]

Pada tahun 1479 M, kedudukannya kemudian digantikan putra adiknya, Nyai Rarasantang dari hasil perkawinannya dengan Syarif Abdullah dari Mesir, yakni Syarif Hidayatullah [1448-1568] yg sesudah wafat dikenal dengan sebutan Sunan Gunung Jati dengan gelar Tumenggung Syarif Hidayatullah bin Maulana Sultan Muhammad Syarif Abdullah & bergelar pula sebagai Ingkang Sinuhun Kangjeng Susuhunan Jati Purba Panetep Panatagama Awlya Allah Kutubid Jaman Khalifatur Rasulullah. Pertumbuhan & perkembangan yg pesat pada Kesultanan Cirebon dimulailah oleh Syarif Hidayatullah atau Sunan Gunung Jati. Sunan Gunung Jati kemudian diyakini sebagai pendiri dinasti raja-raja Kesultanan Cirebon & Kesultanan Banten serta penyebar agama Islam di Jawa Barat seperti Majalengka, Kuningan, Kawali [Galuh], Sunda Kelapa, & Banten.

Fatahillah [1568-1570]

Kekosongan pemegang kekuasaan itu kemudian diisi dengan mengukuhkan pejabat keraton yg selama Sunan Gunung Jati melaksanakan tugas dakwah, pemerintahan dijabat oleh Fatahillah atau Fadillah Khan. Fatahillah kemudian naik takhta, & memerintah Cirebon secara resmi menjadi raja sejak tahun 1568. Fatahillah menduduki takhta kerajaan Cirebon hanya berlangsung dua tahun karena ia meninggal dunia pada tahun 1570, dua tahun sesudah Sunan Gunung Jati wafat & dimakamkan berdampingan dengan makam Sunan Gunung Jati di Gedung Jinem Astana Gunung Sembung.

Panembahan Ratu I [1570-1649]

Sepeninggal Fatahillah, oleh karena tak ada calon lain yg layak menjadi raja, takhta kerajaan jatuh kepada cucu Sunan Gunung Jati yaitu Pangeran Emas putra tertua Pangeran Dipati Carbon atau cicit Sunan Gunung Jati. Pangeran Emas kemudian bergelar Panembahan Ratu I & memerintah Cirebon selama kurang lebih 79 tahun.

Panembahan Ratu II [1649-1677]

Setelah Panembahan Ratu I meninggal dunia pada tahun 1649, pemerintahan Kesultanan Cirebon dilanjutkan oleh cucunya yg bernama Pangeran Rasmi atau Pangeran Karim, karena ayah Pangeran Rasmi yaitu Pangeran Seda ing Gayam atau Panembahan Adiningkusumah meninggal lebih dahulu. Pangeran Rasmi kemudian menggunakan nama gelar ayahnya almarhum yakni Panembahan Adiningkusuma yg kemudian dikenal pula dengan sebutan Panembahan Girilaya atau Panembahan Ratu II.
Panembahan Girilaya pada masa pemerintahannya terjepit di antara dua kekuatan kekuasaan, yaitu Kesultanan Banten & Kesultanan Mataram. Banten merasa curiga sebab Cirebon dianggap lebih mendekat ke Mataram [Amangkurat I ialah mertua Panembahan Girilaya]. Mataram dilain pihak merasa curiga bahwa Cirebon tak sungguh-sungguh mendekatkan diri, karena Panembahan Girilaya & Sultan Ageng Tirtayasa dari Banten ialah sama-sama keturunan Pajajaran. Kondisi ini memuncak dengan meninggalnya Panembahan Girilaya di Kartasura & ditahannya Pangeran Martawijaya & Pangeran Kartawijaya di Mataram.
Panembahan Girilaya ialah menantu Sultan Agung Hanyakrakusuma dari Kesultanan Mataram. Makamnya di Jogjakarta, di bukit Girilaya, dekat dengan makam raja raja Mataram di Imogiri, Kabupaten Bantul. Menurut beberapa sumber di Imogiri maupun Girilaya, tinggi makam Panembahan Girilaya ialah sejajar dengan makam Sultan Agung di Imogiri.

KESULTANAN BANTEN
Kesultanan Banten mencapai puncak kejayaannya pada masa pemerintahan Abu Fath Abdul Fatah atau lebih dikenal dengan nama Sultan Ageng Tirtayasa. Saat itu Pelabuhan Banten telah menjadi pelabuhan internasional, sehingga perekonomian  kesultanan itu maju pesat. 

Wilayah kekuasaannya pun semakin meluas,  meliputi sisa kerajaan Sunda yang tidak direbut kesultanan Mataram dan serta wilayah yang sekarang menjadi Provinsi Lampung.
Kesultanan Banten mengadakan hubungan dengan negara-negara lain melalui jalur laut. Pengiriman pejabat ke berbagai negara seringkali dilakukan pada masa pemerintahan Sultan Ageng Tirtayasa. Inilah masa keemasan Kesultanan Banten.
Sultan  Ageng Tirtayasa sempat mengirimkan dua orang utusannya ke Inggris sebagai duta besar yang ditugasi juga membeli senjata. Selain itu, sultan menggalang hubungan baik dengan Aceh, Makassar, India, Mongol, Turki, dan Arab. 
Para penguasa Banten yang pergi ke Arab untuk menunaikan haji dan ke Inggris untuk menunaikan tugas sebagai utusan, menggunakan kapal milik pedagang Inggris.
Sebagai sultan ke-6, Sultan Ageng Tirtayasa, tegas menentang segala bentuk penjajahan bangsa asing atas negaranya. Ia tidak pernah berkeinginan untuk berkompromi dengan Belanda. Pada 1645 hubungan Banten dengan Belanda semakin panas. 
Pada 1656 pasukan Banten bergerilya di sekitar Batavia. Setahun kemudian, Belanda menawarkan perjanjian damai. Lantaran perjanjian itu hanya menguntungkan Belanda, sultan Banten menolaknya. Pada 1580 meletuslah perang besar antara Banten dan Belanda. 

Perang itu berakhir pada 10 Juli 1659 dengan ditandai penandatanganan perjanjian gencatan senjata. Sultan Ageng Tirtayasa memiliki putra mahkota yang bernama Abdul Kohar. Ia diangkat menjadi putra mahkota pada tanggal 16 Februari 1671 dengan gelar Sunan Abu'n Nasr Abdul Kohar yang dikenal sebagai Sultan Haji. 
Putra mahkota inilah yang menjadi jalan bagi Belanda untuk mengadu domba sultan dengan putranya sendiri. Sultan Haji menginginkan perdamaian dengan Belanda dengan mengirimkan surat pada  1680 dan menyatakan bahwa ia adalah penguasa Banten sepenuhnya, bukan lagi Sultan Ageng Tirtayasa.

Pada 26 Februari 1682, Sultan Ageng Tirtayasa menyerbu Surosowan tempat Sultan Haji berkedudukan. Serangan tersebut berhasil, namun kemudian Surosowan direbut oleh Belanda di bawah pimpinan Kapten Tack. Pemerintahan Banten selanjutnya dipegang oleh Sultan Haji. 

Setelah  Sultan Haji meninggal, terjadilah perebutan kekuasaan di antara anak-anaknya, akibat campur tangan dari Belanda. Sejak saat itu terjadi gonta-ganti sultan dan Kesultanan Banten mulai mengalami kemunduran. 
Puncak kehancuran terjadi pada masa Kesultanan Banten diperintah oleh Sultan Muhammad Syarifuddin. Ia dipaksa turun tahta dan Kesultanan Banten dihapus oleh pemerintahan Inggris yang menggantikan Belanda di Banten di bawah pemerintahan Gubernur Jenderal Raffles. Sejak itulah Kesultanan Banten hilang dan hanya meninggalkan jejaknya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

MAKALAH KERAJAAN ISLAM DI INDONESIA

KERAJAAN ISLAM DI INDONESIA  BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Indonesia memiliki sejarah yang panjang mengenai kerajaan-ker...