UPACARA-UPACARA
TRADISIONAL DI BANTEN
1.
UPACARA SERN TAUN
Istilah Seren Taun berasal dari kata dalam Bahasa
Sunda seren yang artinya serah, seserahan, atau
menyerahkan, dan taun yang berarti tahun. Jadi Seren Tahun bermakna
serah terima tahun yang lalu ke tahun yang akan datang sebagai penggantinya.
Dalam konteks kehidupan tradisi masyarakat peladang Sunda, seren taun merupakan
wahana untuk bersyukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas segala hasil pertanian
yang dilaksanakan pada tahun ini, seraya berharap hasil pertanian mereka akan
meningkat pada tahun yang akan datang.
Lebih spesifik lagi, upacara seren taun
merupakan acara penyerahan hasil bumi berupa padi yang dihasilkan dalam kurun
waktu satu tahun untuk disimpan ke dalam lumbung
atau dalam bahasa Sunda disebut leuit. [1]
Ada dua leuit; yaitu lumbung utama yang bisa disebut leuit sijimat,
leuit ratna inten, atau leuit indung (lumbung utama); serta leuit
pangiring atau leuit leutik (lumbung kecil). Leuit indung
digunakan sebagai sebagai tempat menyimpan padi ibu yang ditutupi kain putih
dan pare bapak yang ditutupi kain hitam. Padi di kedua leuit itu untuk
dijadikan bibit atau benih pada musim tanam yang akan datang. Leuit pangiring
menjadi tempat menyimpan padi yang tidak tertampung di leuit indung.
Sejarah
Menurut catatan sejarah dan tradisi lokal,
perayaan Seren Taun sudah turun-temurun dilakukan sejak zaman Kerajaan
Sunda purba seperti kerajaan Pajajaran. Upacara ini berawal
dari pemuliaan terhadap Nyi
Pohaci Sanghyang Asri, dewi padi dalam kepercayaan Sunda kuno.
Sistem kepercayaan masyarakat Sunda kuno dipengaruhi warisan kebudayaan
masyarakat asli Nusantara, yaitu animisme-dinamisme pemujaan arwah karuhun
(nenek moyang) dan kekuatan alam, serta dipengaruhi ajaran Hindu. Masyarakat
agraris Sunda kuno memuliakan kekuatan alam yang memberikan kesuburan tanaman
dan ternak, kekuatan alam ini diwujudkan sebagai Nyi Pohaci Sanghyang Asri,
dewi padi dan kesuburan. Pasangannya adalah Kuwera, dewa kemakmuran. Keduanya
diwujudkan dalam Pare Abah (Padi Ayah) dan Pare Ambu (Padi Ibu),
melambangkan persatuan laki-laki dan perempuan sebagai simbol kesuburan dan
kebahagiaan keluarga. Upacara-upacara di Kerajaan Pajajaran ada yang bersifat
tahunan dan delapan tahunan. Upacara yang bersifat tahunan disebut Seren Taun
Guru Bumi yang dilaksanakan di Pakuan
Pajajaran dan di tiap wilayah. Upacara besar yang bersifat delapan
tahunan sekali atau sewindu disebut upacara Seren Taun Tutug Galur atau lazim
disebut upacara Kuwera Bakti yang dilaksanakan khusus di Pakuan.[2]
Kegiatan Seren Taun sudah berlangsung pada
masa Pajajaran dan berhenti ketika Pajajaran runtuh. Empat windu kemudian
upacara itu hidup lagi di Sindang Barang, Kuta Batu, dan Cipakancilan. Namun
akhirnya berhenti benar pada 1970-an. Setelah kegiatan ini berhenti selama 36 tahun,
Seren Taun dihidupkan kembali sejak tahun 2006 di Desa Adat Sindang Barang,
Pasir Eurih, Kecamatan Taman Sari, Kabupaten Bogor. Upacara ini disebut upacara
Seren Taun Guru Bumi sebagai upaya membangkitkan jati diri budaya masyarakat
Sunda.[3]
Di Cigugur, Kuningan, upacara seren taun yang
diselenggarakan tiap tanggal 22 Rayagung-bulan terakhir pada sistem penanggalan
Sunda, sebagaimana biasa, dipusatkan di pendopo Paseban Tri Panca Tunggal,
kediaman Pangeran Djatikusumah, yang didirikan tahun 1840. Sebagaimana layaknya
sesembahan musim panen, ornamen gabah serta hasil bumi mendominasi rangkaian
acara.
Masyarakat pemeluk kepercayaan Sunda
Wiwitan tetap menjalankan upacara ini, seperti masyarakat
Kanekes, Kasepuhan Banten Kidul, dan Cigugur. Kini setelah kebanyakan
masyarakat Sunda memeluk agama Islam, di beberapa desa adat Sunda seperti
Sindang Barang, ritual Seren Taun tetap digelar dengan doa-doa Islam. Upacara
seren taun bukan sekadar tontonan, melainkan juga tuntutan tentang bagaimana
manusia senantiasa bersyukur kepada Tuhan Yang Maha Kuasa, terlebih di kala
menghadapi panen. Upacara ini juga dimaksudkan agar Tuhan memberikan
perlindungan di musim tanam mendatang.
Ritual
Upacara
Rangkaian ritual upacara Seren Taun
berbeda-beda dan beraneka ragam dari satu desa ke desa lainnya, akan tetapi
intinya adalah prosesi penyerahan padi hasil panen dari masyarakat kepada ketua
adat. Padi ini kemudian akan dimasukkan ke dalam leuit (lumbung) utama
dan lumbung-lumbung pendamping. Pemimpin adat kemudian memberikan indung
pare (induk padi/bibit padi) yang sudah diberkati dan dianggap bertuah
kepada para pemimpin desa untuk ditanan pada musim tanam berikutnya.
Di beberapa desa adat upacara biasanya
diawali dengan mengambil air suci dari beberapa sumber air yang dikeramatkan.
Biasanya air yang diambil berasal dari tujuh mata air yang kemudian disatukan
dalam satu wadah dan didoakan dan dianggap bertuah dan membawa berkah. Air ini
dicipratkan kepada setiap orang yang hadir di upacara untuk membawa berkah.
Ritual berikutnya adalah sedekah kue, warga yang hadir berebut mengambil kue di
dongdang (pikulan) atau tampah yang dipercaya kue itu memberi berkah yang
berlimpah bagi yang mendapatkannya. Kemudian ritual penyembelihan kerbau yang
dagingnya kemudian dibagikan kepada warga yang tidak mampu dan makan tumpeng
bersama. Malamnya diisi dengan pertunjukan wayang golek.[3]
Puncak acara seren taun biasanya dibuka sejak
pukul 08.00, diawali prosesi ngajayak (menyambut atau menjemput padi),
lalu diteruskan dengan tiga pergelaran kolosal, yakni tari buyung, angklung
baduy, dan angklung buncis-dimainkan berbagai pemeluk agama dan
kepercayaan yang hidup di Cigugur.
Rangkaian acara bermakna syukur kepada Tuhan
itu dikukuhkan pula melalui pembacaan doa yang disampaikan secara bergantian
oleh tokoh-tokoh agama yang ada di Indonesia.
Selanjutnya, dilaksanakan kegiatan akhir dari Ngajayak, yaitu penyerahan padi
hasil panen dari para tokoh kepada masyarakat untuk kemudian ditumbuk
bersama-sama. Ribuan orang yang hadir pun akhirnya terlibat dalam kegiatan ini,
mengikuti jejak para pemimpin, tokoh masyarakat, maupun rohaniwan yang terlebih
dahulu dipersilakan menumbuk padi. Puluhan orang lainnya berebut gabah dari
saung bertajuk Pwah Aci Sanghyang Asri (Pohaci Sanghyang Asri).
Dalam upacara Seren Taun dilakukan berbagai
keramaian dan pertunjukan kesenian adat. Ritual seren taun itu sendiri mulai
berlangsung sejak tangal 18 Rayagung, dimulai dengan pembukaan pameran
Dokumentasi Seni dan Komoditi Adat Jabar. Setiap hari dipertunjukkan pencak
silat, nyiblung (musik air), kesenian dari Dayak Krimun, Indramayu, suling
rando, tarawelet, karinding, dan suling kumbang dari Baduy.
2. UPACARA
SEBA
Perayaan adat Seba, menurut warga Baduy, merupakan
peninggalan leluhur tetua (Kokolot) yang harus dilaksanakan sekali dalam setiap
tahun. Acara itu digelar setelah musim panen ladang huma, bahkan tradisi sudah
berlangsung ratusan tahun sejak zaman Kesultanan Banten di Kabupaten Serang.
Namun, dalam upacara Seba kali ini, di Pendopo Pemkab Lebak berbeda dengan
tahun-tahun lalu. Seba tahun ini jumlah pendatang warga Baduy Luar dan Baduy
Dalam terbesar hingga tercatat sebanyak 1.031 orang atau 10 persen dari
penduduk 10.074 jiwa.
Seba itu sediri merupakan menyerahan hasil tani atau
hasil bumi pada pemerintah setempat yang biasa kita sebut dengan upeti pada
kerajaan, itu semua merupakan rasa syukur masyarakat baduy luar dan baduy dalam
karena mendapatkan hasil panen yang melimpah ruah, kegiatan seba ini tanpa ada
paksaan dari manapun masyarakat baduy luar yang dipimpin oleh Jaro maupun baduy
dalam yang dipimpin oleh Puun, bersama-sama berbondong-bondong membawa hasil
tani tersebut pada pemerintahan yang saat itu diserahkan pada Bupati Lebak
secara langsung di pendopo Kabupaten Lebak.
Kawasan Baduy yang menghuni lahan seluas 5.108 hektare
itu, dan seluas 3.000 hektare di hutan lindung dalam acara Seba tersebut
meminta perlindungan kepada Bupati dan aparat pemerintah daerah sehingga
masyarakat Baduy merasa aman dan damai. Kejadian pemerkosaan dan penyerobotan
tanah ulayat yang menimpa warga Baduy tahun lalu, jangan sampai terulang
kembali. Demikian permintaan warga Baduy dalam acara Seba tersebut. Panggilan
kewajiban Seba begitu sakral, karena prosesi itu titipan dari Lembaga Adat
Baduy dari leluhur hingga dijalankan para generasi penerusnya. Malam itu,
ribuan warga Baduy memadati pelataran Pendopo tampak hening dan khusyu tak ada
satu pun orang-orang yang bercanda atau mengganggu acara tersebut.
Baduy Dalam, berseragam serba putih-putih hingga kini
masih mempertahankan adat mereka. Baduy Dalam pergi kemana-mana selalu ditempuh
berjalan kaki. Mereka tidak diperbolehkan menggunakan kendaraan, termasuk
mengikuti upacara Seba dengan berjakan kaki sepanjang 50 Km. Bagi Baduy Luar
yang berseragam hitam-hitam kehidupannya lebih modern, dan mereka kemana-kemana
menggunakan kendaraan bahkan di zaman sekarang ini juga banyak warga Baduy Luar
memiliki telepon seluler (ponsel).
Ayah Mursid (35), seorang kepala Lembaga Adat Baduy Dalam
(Tangtu Jaro 3), memiliki kekuasaan Cibeo, Cikeusik, Cikawartana, sejak usia 12
tahun sudah mengikuti acara Seba, sehingga dirinya cukup dikenal di kalangan
pejabat pemerintah maupun masyarakat Lebak. Ia bersama Naldi (20), warga
Cikeusik, melakukan perjalanan menuju Pemkab Lebak yang cukup melelahkan
sekitar 12 jam, dan mereka berjalan kaki hingga sepanjang 12 kilometer menembus
perbukitan Gunung Kendeng di kawasan Baduy.
Selama menempuh ke pusat pemerintahan, ia juga beberapa
kalii melepaskan rasa lelah dengan beristirahat di sepanjang jalan. "Kami
mulai pergi dari Kampung Cibeo sekitar pukul 5.00 pagi. Orang-orang masih tidur
lelap. Namun, perjalanan lancar hingga sampai di sini pukul 17.00 sore,"
katanya.
Prosesi upacara Seba suatu kewajiban yang harus
dilaksanakan dan menjadikan ketetapan Lembaga Adat Masyarakat Baduy yang
diterapkan dalam kehidupan bernegara dan berbangsa. "Seba itu titipan adat
yang harus dijalankan karena jika tidak dilaksanakan khawatir kami
kualat," katanya. Namun demikian, kendati melelahkan Seba itu, ia merasa
senang selain bisa bertemu langsung bersama Bupati dan aparat Muspida setempat.
Saidi sebagai Jaro tanggungan 7 yang membawahi Lembaga
Masyarakat Baduy Luar sekaligus memimpin acara Seba itu meminta perlindungan
kepada Bupati sebagai kepala daerah dan Kepolisian setempat, agar ditegakan
hukum bagi pelaku kerusakan hutan maupun pemilik ternak yang masuk ke wilayah
kawasan Baduy. "Di perbatasan masih ada ternak warga luar yang masuk ke
kawasan Baduy hingga merusak tanaman, padahal kami sudah beberapa kali
melaporkan ke aparat polisi, namun hingga kini belum juga ditindak,"
katanya. Ia mengatakan, pihaknya berharap dalam kehidupan itu dilindungi oleh
pemerintah daerah sehingga warga Baduy merasa tenang dalam menjalankan
aktivitas pertanian.
"Sebagai
rasa syukur, kami tak seberapa memberikan hasil pertanian, tetapi kedatangan ke
sini hanya menjalin hubungan erat bersama pemerintah daerah," demikian
Saidi, saat memberikan sambutannya di hadapan Bupati serta Musyawarah Pimpinan
Daerah (Muspida).
3. KESENIAN
DEBUS
Mungkin
sebagian dari kita jika mendengar kata “Banten” pasti yang akan pertama kali
muncul di pikiran adalah “Debus”, sebuah atraksi kesenian yang bernuansa
magis. Ya, Debus memang merupakan kesenian asli masyarakat Banten yang
ada sejak abad ke-16. Bentuk Atraksi Debus Permainan debus merupakan bentuk
kesenian yang dikombinasikan dengan seni tari, seni suara dan seni kebatinan
yang bernuansa mistis. Kesenian debus biasanya dipertunjukkan sebagai pelengkap
upacara adat, atau untuk hiburan masyarakat.
Pertunjukan ini dimulai dengan pembukaan, yaitu pembacaan sholawat dan dzikir yang diiringi musik dari alat musik tabuh lalu dilanjutkan dengan beluk, yaitu lantunan nyanyian dzikir dengan suara keras, melengking, bersahut-sahutan dengan iringan tetabuhan. Uniknya, bersamaan dengan beluk atraksi kekebalan tubuh didemonstrasikan sesuai dengan keinginan pemainnya, seperti menusuk perut dengan gada (semacam senjata); makan api; memasukkan jarum ke dalam lidah, kulit pipi dan anggota tubuh lainnya sampai tembus; menyiram tubuh dengan air keras sampai pakaian yang dikenakan hancur; dan masih banyak lagi. Hebatnya, semua ini dilakukan tanpa menyebabkan luka sedikitpun pada tubuh pemain yang melakukan atraksi debus ini.
Pertunjukan ini dimulai dengan pembukaan, yaitu pembacaan sholawat dan dzikir yang diiringi musik dari alat musik tabuh lalu dilanjutkan dengan beluk, yaitu lantunan nyanyian dzikir dengan suara keras, melengking, bersahut-sahutan dengan iringan tetabuhan. Uniknya, bersamaan dengan beluk atraksi kekebalan tubuh didemonstrasikan sesuai dengan keinginan pemainnya, seperti menusuk perut dengan gada (semacam senjata); makan api; memasukkan jarum ke dalam lidah, kulit pipi dan anggota tubuh lainnya sampai tembus; menyiram tubuh dengan air keras sampai pakaian yang dikenakan hancur; dan masih banyak lagi. Hebatnya, semua ini dilakukan tanpa menyebabkan luka sedikitpun pada tubuh pemain yang melakukan atraksi debus ini.
Hal
lain yang perlu diingat adalah debus tidak ada kaitannya dengan dunia mistis,
tidak seperti anggapan orang kebanyakan. Selama ini Debus dianggap berkaitan
erat dengan dunia mistis yang bertentangan dengan ajaran Islam. Padahal, Debus
digunakan oleh ulama zaman dahulu untuk melawan penjajah dan atraksinya pun
dimulai dengan pembacaan doa dan shalawat Nabi. Debus merupakan kesenian
tradisional dari banten yang bisa menjadi daya tarik bagi wisatawan. Jadi, kita
pun harus turut melestarikan dan mengembangkan kesenian Debus, yang menjadi
ciri khas kebudayaan Banten :)
4.
TARI
COKEK, PERPADUAN KESENIAN CINA DAN SUNDA
Tarian
ini biasanya dimainkan oleh sepuluh orang penari wanita, dan tujuh orang
laki-laki pemegang gamang kromong, alat musik yang mengiringinya. Tari Cokek
merupakan jenis tarian khas yang berasal dari daerah Tangerang yang pada
awalnya berkembang di daerah betawi. Di daerah Tangerang, tari Cokek
biasanya dimainkan sebagai pertunjukkan hiburan saat warga Cina benteng
menyelenggarakan acara, khususnya acara pernikahan. Warga Cina Benteng
merupakan warga keturunan Tionghoa yang tinggal di daerah Tangerang. Selain
itu, seringkali tari Cokek ini dimainkan sebagai tari penyambutan untuk tamu
kehormatan yang berkunjung ke Tangerang.
Keunikan
tari Cokek terlihat pada gerakan tubuh penarinya yang bergerak
perlahan-lahan,sehingga mudah untuk diikuti oleh penonton. Gerakan tarian tari
Cokek ini kemudian akan dilanjutkan dengan ajakan pada para penonton untuk ikut
bergabung menari. Ajakan pada para penonton itu dilakukan dengan cara
mengalungkan selendang ke leher sambil menariknya maju ke depan atau ke
panggung. Ajakan itu umumnya ditujukan kepada pemuka masyarakat atau orang kaya
yang hadir pada acara itu. Proses menari bersama ini dilakukan berdekatan antara
penari dengan penonton, tetapi tidak saling bersentuhan.
Selain
gerakannya yang pelan dan mudah diikuti, keunikan lainnya pada tarian ini
adalah pada busana penarinya. Biasanya busana yang dipakai para penari adalah
kebaya yang terbuat dari kain sutra yang memiliki warna mencolok, yaitu
berwarna hijau, merah, kuning, dan ungu dan warna kain ini akan bertambah
mencolok ketika terkena pancaran sinar lampu. Selain keindahan busananya,
selendang dan rambut penari yang dikepang dan dipasangi sanggul juga menambah
kecantikan para penari itu. Jika ingin menonton seni pertunjukan tari
Cokek, biasanya tarian ini dipentaskan di Rumah Kawin yang terletak di
Kalan Selapajang Jaya, Kampung Melayu, Kabupaten Tangerang.
5.
RAMPAK
BEDUG, KOLABORASI TABUH BEDUG DAN TARIAN
Kata
“Bedug” mungkin sudah tidak asing lagi di telinga bangsa Indonesia. Seperti di
Banten, Bedug hampir terdapat pada setiap masjid. Rampak Bedug adalah salah
satu kesenian yang hanya terdapat di daerah Banten. Kata “Rampak” memiliki arti
“serempak” dan juga “banyak” jadi Rampak Bedug adalah seni menabuh nedug yang
ditabuh secara serempak sehingga menghasilkan irama yang enak di dengar. Rampak
Bedug pertama kali dilakukan untuk menyambut bulan suci Ramadhan. Namun karena
seni rampak bedug ini mengundang banyak penonton, maka kesenian ini menjadi
sering ditampilkan dalam suatu acara pementasan.
Pada
zaman dahulu, pemain rampak bedug semuanya laki-laki, namun sekarang kesenian
ini bisa dilakukan olah perempuan dan laki-laki. Biasanya pemain laki-laki
sebagai penabuh bedug sekaligus kendang dan pemain perempuan sebagai penabuh
bedug. Baik pemain laki-laki dan perempuan juga berfungsi sebagai penari.
Busana yang dipakai oleh pemain Rampak bedug adalah pakaian muslim yang
disesuaikan dengan perkembangan zaman. Biasanya pemain laki-laki mengenakan
pakaian pesilat lengkap dengan sorban khas Banten. Sedangkan untuk perempuannya
memakai pakaian khas tradisional, seperti rok panjang bawah lutut dari bahan
batik dengan didalamnya mamakain celana panjang sejenis celana panjang pesilat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar