ASAL USUL
CIREBON
Asal kota
Cirebon ialah pada abad ke 14 di pantai utara Jawa Barat ada desa nelayan kecil
yang bernama Muara Jati yang terletak di lereng bukit Amparan Jati. Muara Jati
adalah pelabuhan nelayan kecil. Penguasa kerajaan Galuh yang ibu kotanya
Rajagaluh menempatkan seorang sebagai pengurus pelabuhan atau syahbandar Ki
Gedeng Tapa. Pelabuhan Muara Jati banyak di singgahi kapal-kapal dagang dari
luar di antaranya kapal Cina yang datang untuk berniaga dengan penduduk
setempat, yang di perdagangkannya adalah garam, hasil pertanian dan terasi.
Kemudian Ki Gendeng Alang-alang
mendirikan sebuah pemukiman di lemahwungkuk yang letaknya kurang lebih 5 km, ke
arah Selatan dari Muara Jati. Karena banyak saudagar dan pedangan asing juga
dari daerah-daer5ah lain yang bermukim dan menetap maka daerah itu di namakan
Caruban yang berarti campuran kemudian berganti Cerbon kemudian menjadi Cirebon
hingga sekarang.
Raja Pajajaran Prabu Siliwanggi
mengangkat Ki Gede Alang-alang sebagai kepala pemukiman baru ini dengan gelar
Kuwu Cerbon. Daerahnya yang ada di bawah pengawasan Kuwu itu dibatasi oleh Kali
Cipamali di sebelah Timur, Cigugur (Kuningan) di sebelah Selatan, pengunungan
Kromong di sebelah Barat dan Junti (Indramayu) di sebelah Utara.
Setelah Ki Gedeng Alang-alang
wafat kemudian digantikan oleh menantunya yang bernama Walangsungsang putra
Prabu Siliwanggi dari Pajajaran. Walangsungsang ditunjuk dan diangkat sebagai
Adipati Carbon dengan gelar Cakrabumi. Kewajibannya adalah membawa upeti kepada
Raja di ibukota Rajagaluh yang berbentuk hasil bumi, akan tetapi setelah merasa
kuat meniadakan pengiriman upeti, akibatnya Raja mengirim bala tentara, tetapi
Cakrabumi berhasil mempertahankannya.
Kemudian Cakrabumi
memproklamasikan kemerdekaannya dan mendirikan kerajaan Cirebon dengan mamakai
gelar Cakrabuana. Karena Cakrabuana telah memeluk agama Islam dan
pemerintahannya telah menandai mulainya kerajaan kerajaan Islam Cirebon, tetapi
masih tetap ada hubungan dengan kerajaan Hindu Pajajaran.
Semenjak itu pelabuhan kecil
Muara Jati menjadi besar, karena bertambahnya lalu lintas dari dan ke arah
pedalaman, menjual hasil setempat sejauh daerah pedalaman Asia Tengara. Dari
sinilah awal berangkat nama Cirebon hingga menjadi kota besar sampai sekarang
ini.
Pangeran Cakra Buana kemudian
membangun Keraton Pakungwati sekitar Tahun 1430 M, yang letaknya sekarang di
dalam Komplek Keraton Kasepuhan Cirebon.
Keraton Kasepuhan
adalah keraton termegah dan paling terawat di Cirebon.
Makna di setiap sudut arsitektur keraton ini pun terkenal paling bersejarah.
Halaman depan keraton ini dikelilingi tembok bata merah
dan terdapat pendopo didalamnya.
Keraton ini memiliki museum yang
cukup lengkap dan berisi benda pusaka dan lukisan
koleksi kerajaan. Salah satu koleksi yang dikeramatkan yaitu kereta Singa Barong. Kereta ini saat ini tidak lagi dipergunakan dan
hanya dikeluarkan pada tiap 1 Syawal untuk dimandikan.
Bagian dalam keraton ini terdiri
dari bangunan utama yang berwarna putih. Didalamnya terdapat ruang tamu, ruang
tidur dan singgasana raja.
Keraton Kasepuhan didirikan pada
tahun 1529 oleh [[Pangeran Mas Mochammad Arifin II] (cicit
dari Sunan Gunung Jati) yang menggantikan tahta dari Sunan Gunung Jati pada
tahun 1506. Ia bersemayam di dalem Agung Pakungwati Cirebon. Keraton Kasepuhan
dulunya bernama Keraton Pakungwati, sedangkan Pangeran Mas Mochammad
Arifin bergelar Panembahan Pakungwati I. Sebutan
Pakungwati berasal dari nama Ratu Dewi Pakungwati binti Pangeran Cakrabuana
yang menikah dengan Sunan Gunung Jati. Ia wafat pada tahun 1549 dalam Mesjid Agung Sang Cipta Rasa dalam usia yang sangat tua. Nama
beliau diabadikan dan dimuliakan oleh nasab Sunan Gunung Jati sebagai nama
Keraton yaitu Keraton Pakungwati yang sekarang bernama Keraton Kasepuhan.
Di depan Keraton Kesepuhan
terdapat alun-alun yang pada waktu zaman dahulu bernama Alun-alun Sangkala
Buana yang merupakan tempat latihan keprajuritan yang diadakan pada hari Sabtu
atau istilahnya pada waktu itu adalah Saptonan. Dan di alun-alun inilah
dahulunya dilaksanakan berbagai macam hukuman terhadap setiap rakyat yang
melanggar peraturan seperti hukuman cambuk. Di sebelah
barat Keraton kasepuhan terdapat Masjid yang cukup megah hasil karya dari para
wali yaitu Masjid Agung Sang Cipta Rasa.
Sedangkan di sebelah timur
alun-alun dahulunya adalah tempat perekonomian yaitu pasar — sekarang
adalah pasar kesepuhan yang sangat
terkenal dengan pocinya. Model bentuk Keraton yang menghadap utara dengan
bangunan Masjid di sebelah barat dan pasar di sebelah timur dan alun-alun
ditengahnya merupakan model-model Keraton pada masa itu terutama yang terletak
di daerah pesisir. Bahkan sampai sekarang, model ini
banyak diikuti oleh seluruh kabupaten/kota terutama di Jawa yaitu di depan
gedung pemerintahan terdapat alun-alun dan di sebelah baratnya terdapat masjid.
Sebelum memasuki gerbang komplek
Keraton Kasepuhan terdapat dua buah pendopo, di sebelah barat disebut Pancaratna
yang dahulunya merupakan tempat berkumpulnya para punggawa
Keraton, lurah atau pada zaman sekarang disebut pamong praja.
Sedangkan pendopo sebelah timur disebut Pancaniti yang merupakan
tempat para perwira keraton ketika
diadakannya latihan keprajuritan di alun-alun.
Memasuki jalan kompleks Keraton
di sebelah kiri terdapat bangunan yang cukup tinggi dengan tembok
bata kokoh disekelilingnya. Bangunan ini bernama Siti Inggil atau
dalam bahasa Cirebon sehari-harinya adalah lemah duwur yaitu tanah
yang tinggi. Sesuai dengan namanya bangunan ini memang tinggi dan nampak
seperti kompleks candi pada zaman Majapahit. Bangunan ini didirikan pada tahun
1529, pada masa pemerintahan Syekh Syarif Hidayatullah
(Sunan Gunung Jati).
Di pelataran depan Siti Inggil
terdapat meja batu berbentuk segi empat tempat bersantai. Bangunan ini
merupakan bangunan tambahan yang dibuat pada tahun 1800-an. Siti Inggil
memiliki dua gapura dengan motif bentar bergaya arsitek zaman Majapahit. Di
sebelah utara bernama Gapura Adi sedangkan di sebelah selatan bernama Gapura
Banteng. Dibawah Gapura Banteng ini terdapat Candra Sakala dengan
tulisan Kuta Bata Tinata Banteng yang jika diartikan adalah tahun 1451.
saka yang merupakan tahun
pembuatannya (1451 saka = 1529 M). Tembok bagian utara komplek Siti Inggil
masih asli sedangkan sebelah selatan sudah pernah mengalami pemugaran/renovasi.
Di dinding tembok kompleks Siti Inggil terdapat piring-piring dan
porslen-porslen yang berasal dari Eropa dan negeri Cina dengan tahun pembuatan
1745 M. Di dalam kompleks Siti Inggil terdapat 5 bangunan tanpa dinding yang
memiliki nama dan fungsi tersendiri. Bangunan utama yang terletak di tengah
bernama Malang Semirang dengan jumlah tiang utama 6 buah yang melambangkan
rukun iman dan jika dijumlahkan keseluruhan tiangnya berjumlah 20 buah yang
melambangkan 20 sifat-sifat Allah SWT. Bangunan ini merupakan tempat sultan
melihat latihan keprajuritan atau melihat pelaksanaan hukuman. Bangunan di
sebelah kiri bangunan utama bernama Pendawa Lima dengan jumlah tiang penyangga
5 buah yang melambangkan rukun islam. Bangunan ini tempat para pengawal pribadi
sultan.Bangunan di sebelah kanan bangunan utama bernama Semar Tinandu dengan 2
buah tiang yang melambangkan Dua Kalimat Syahadat. Bangunan ini adalah tempat
penasehat Sultan/Penghulu. Di belakang bangunan utama bernama Mande Pangiring
yang merupakan tempat para pengiring Sultan, sedangkan bangunan disebelah mande
pangiring adalah Mande Karasemen, tempat ini merupakan tempat pengiring
tetabuhan/gamelan. Di bangunan inilah sampai sekarang masih digunakan untuk
membunyikan Gamelan Sekaten (Gong Sekati), gamelan ini hanya dibunyikan 2 kali
dalam setahun yaitu pada saat Idul Fitri dan Idul Adha. Selain 5 bangunan tanpa
dinding terdapat juga semacam tugu batu yang bernama Lingga Yoni yang merupakan
lambing dari kesuburan. Lingga berarti laki-laki dan Yoni berarti perempuan.
Bangunan ini berasal dari budaya Hindu. Dan di atas tembok sekeliling kompleks
Siti Inggil ini terdapat Candi Laras untuk penyelaras dari kompleks Siti Inggil
ini.
KERATON KASEPUHAN CIREBON.
KERATON
KASEPUHAN yang terletak di Kelurahan Kasepuhan, Kecamatan Lemahwungkuk, Kota
Cirebon merupakan keraton yang pertama sekali didirikan sekitar abad ke 13.
Sebagai pusat pemerintahan Kesultanan Cirebon pada masa itu.
Sebagai
Keraton Kesultanan Cirebon yang pertama, Keraton Kasepuhan memiliki sejarah
yang paling panjang dibanding ketiga keraton lainnya. Keraton ini juga memiliki
wilayah kekeratonan yang terluas, wilayah kekeratonannya mencapai lebih dari 10
Ha. Keraton ini terletak di selatan alun-alun dengan Masjid Agung Sang Cipta
Rasa di sebelah barat alun-alun.
Pada
masa awal didirikannya yang pertama kali dibangun adalah bangunan Keraton
Pakungwati I. Keraton Pakungwati dibangun menghadap ke arah Laut Jawa dan
membelakangi Gunung Ciremai. Bangunan
ini terdapat disebelah timur bangunan Keraton Pakungwati II.
Banyak
sejarah penting yang tersimpan di dalam keraton ini, serta benda peninggalan
yang terdapat didalamnya seperti: sebuah tandu berbentuk makhluk berkepala
burung dan berbadan ikan. Hal ini melambangkan “Setinggi-tingginya seorang
pemimpin dalam kepemimpinannya tetap harus mampu melihat dan menyelami keadaan
setiap rakyat yang berada dibawahnya”.
Rentetan
perjalanan panjang dalam membangun sebuah pemerintahan pada masa itu. Keraton
Kasepuhan sebagai keraton yang pertama ada di Cirebon. Hal ini menunjukan
betapa besar peran serta pengaruh budaya Cirebon dalam membangun ekonomi pada
masa pemerintahan Kesultanan saat itu.
Keraton
Kasepuhan memang saat ini tidak lagi memegang dan menjalankan tampuk
pemerintahan di Cirebon
seperti
pada masa Kesultanan. Namun sebagai peninggalan budaya, Keraton Kasepuhan
memiliki arti dan peran yang sangat penting dalam perjalanan panjangnya
membangun budaya dan ekonomi Cirebon.
Keraton
Kanoman – Cirebon
Keraton
Kanoman merupakan pusat peradaban Kesultanan di Cirebon, yang kemudian terpecah
menjadi Keraton Kanoman, Keraton Kasepuhan, Keraton Kacirebonan, dan Keraton
Keprabon.
Kebesaran
Islam di Jawa Barat tidak lepas dari Cirebon. Sunan Gunung Jati adalah orang
yang bertanggung Jawab menyebarkan agama Islam di Jawa Barat, sehingga
berbicara tentang Cirebon tidak akan lepas dari sosok Syarif Hidayatullah atau
Sunan Gunung Jati.
Sunan
Gunung Jati juga meninggalkan jejaknya yang hingga kini masih berdiri tegak,
jejak itu bernama Kraton Kanoman. Keraton Kanoman masih taat memegang
adat-istiadat dan pepakem, di antaranya melaksanakan tradisi Grebeg
Syawal,seminggu setelah Idul Fitri dan berziarah ke makam leluhur, Sunan Gunung
Jati di Desa Astana, Cirebon Utara. Peninggalan-peninggalan bersejarah di
Keraton Kanoman erat kaitannya dengan syiar agama Islam yang giat dilakukan
Sunan Gunung Jati, yang juga dikenal dengan Syarif Hidayatullah.
Kompleks
Keraton Kanoman yang mempunyai luas sekitar 6 hektar ini berlokasi di belakang
pasar Di Kraton ini tinggal sultan ke dua belas yang bernama raja Muhammad
Emiruddin berserta keluarga. Kraton Kanoman merupakan komplek yang luas, yang
terdiri dari dua puluh tujuh bangunan kuno. salah satunya saung yang bernama
bangsal witana yang merupakan cikal bakal Kraton yang luasnya hampir lima kali
lapangan sepakbola.
Di
keraton ini masih terdapat barang barang Sunan Gunung Jati, seperti dua kereta
bernama Paksi Naga Liman dan Jempana yang masih terawat baik dan tersimpan di
museum. Bentuknya burak, yakni hewan yang dikendarai Nabi Muhammad ketika ia
Isra Mi’raj. Tidak jauh dari kereta, terdapat bangsal Jinem, atau Pendopo untuk
Menerima tamu, penobatan sultan dan pemberian restu sebuah acara seperti Maulid
Nabi. Dan di bagian tengah Kraton terdapat komplek bangunan bangunan bernama
Siti Hinggil.
Hal
yang menarik dari Keraton di Cirebon adalah adanya piring-piring porselen asli
Tiongkok yang menjadi penghias dinding semua keraton di Cirebon. Tak cuma di
keraton, piring-piring keramik itu bertebaran hampir di seluruh situs
bersejarah di Cirebon. Dan yang tidak kalah penting dari Keraton di Cirebon
adalah keraton selalu menghadap ke utara. Dan di halamannya ada patung macan
sebagai lambang Prabu Siliwangi. Di depan keraton selalu ada alun alun untuk
rakyat berkumpul dan pasar sebagai pusat perekonomian, di sebelah timur keraton
selalu ada masjid.
Kanoman
Keraton
Kanoman, disebut juga Kesultanan Kanoman, yang menjadi tujuan pertama di pagi
hari pada penggal awal Mei lalu ternyata terletak tersembunyi di balik
keramaian pasar. Memerlukan energi berlebih untuk mencapai tujuan sejak para
penjual jambu biji asal Desa Pagartoya yang menjajakan dagangan di depan Vihara
Pancar Keselamatan, menunjukkan arah menuju keraton. Maklum, kendaraan harus
membelah kerumunan penjual sayur-sayuran dan buah-buahan yang meluap hingga ke
badan jalan. Nyaris tak bisa jalan kalau tidak ada bantuan dari petugas parkir
pasar.
Keraguan
menyergap ketika mulai memasuki kawasan keraton. Lengang, sepi. Di bagian luar,
bangunan-bangunan seperti pagar yang menjadi pembatas kawasan keraton, pintu
gerbang, hingga bangsal paseban, tampak tak terawat. Rerumputan tumbuh meninggi
di beberapa tempat di halaman.
Tak
terbayangkan tempat itu menyimpan sejarah panjang tentang kepahlawanan, juga
syiar Islam, jika tidak menatap baik-baik bangunan utama. Memang tidak sebesar
bangunan-bangunan di Keraton Yogyakarta, atau Surakarta, namun masih
memancarkan kharisma tersendiri. Pagi itu, di Bangsal Jinem, tempat yang dulu
acap dipakai petinggi keraton menerima tamu penting, sedang ada acara keluarga.
Rasa
penasaran menggiring langkah merambahi halamannya yang teduh. Memang tampak
keistimewaan jika mengamati lebih teliti bangunan-bangunan pagar maupun pintu
gerbangnya. Pagar tembok maupun gerbangnya berhiaskan piring-piring porselen
yang cantik. Porselin-porselen asli dari Negeri Tiongkok, kata Muhammad Rais
(70), Lurah Kesultanan Kanoman, pemandu tamu.
Daya
tarik utama Keraton Kanoman baru bisa dinikmati ketika memasuki museum yang
terletak di sisi kanan bangunan utama. Di bangunan yang tidak terlalu besar itu
tersimpan peninggalan-peninggalan keraton, mulai dari kereta kerajaan,
peralatan rumah tangga, hingga senjata kerajaan.
Beberapa
koleksi tampak tidak utuh. Perhatian langsung tertuju kepada jajaran kereta.
Paling menonjol adalah kereta Paksi Naga Liman. Kereta itu, seperti tertera
dalam keterangan, dibuat dari kayu sawo pada tahun 1350 Saka atau tahun 1428
Masehi oleh Pangeran Losari. Rais menyebutnya sebagai kereta kebesaran Sunan
Gunung Jati, leluhur Kesultanan Cirebon, yang memerintah 1479 – 1568.
Pemberian
nama itu berkaitan dengan pahatan kayu di bagian depan yang menggambarkan
gabungan bentuk paksi (burung), naga, dan liman (gajah) memegang senjata.
Paduan bentuk itu melambangkan persatuan tiga unsur kekuatan di darat, laut,
udara, menyimbolkan keutuhan wilayah.
Keistimewaannya
terletak pada bagian sayap patung yang bisa membuka-menutup saat sedang
berjalan, juga bentuk rodanya yang berbeda dengan roda pedati biasa. Roda
kereta dibuat cekung ke dalam. Rais menjelaskan, konstruksi roda seperti itu
sangat berguna jika melewati jalanan berlumpur yang basah. Kotoran tidak akan
menciprat mengotori penumpangnya.
Kereta
yang lain adalah Jempana, kereta kebesaran untuk permaisuri dengan hiasan
bermotif batik Cirebon. Kereta berbahan kayu sawo itu juga dirancang dan dibuat
atas arahan Pangeran Losari pada tahun yang sama.
Nilai
kebesarannya langsung terbayangkan ketika Rais menceritakan kereta-kereta itu
dulunya ditarik enam ekor kuda. Dengan bangga pula ia menceritakan seorang
insinyur Eropa pernah secara khusus mempelajari konstruksi roda kereta-kereta
kesultanan itu.
Kereta-kereta
itu menempati bagian tengah ruangan. Bagian pinggir museum dipenuhi koleksi
yang lain. Di antaranya koleksi wayang golek papak, kursi pengantin, gamelan,
meja tulis lengkap dengan perlengkapan menulis daun lontar dan ijuk aren yang
berfungsi sebagai alat menulis, kotak-kotak termasuk kotak dari Mesir. Di salah
satu sudut, bisa dilihat koleksi senjata, mulai dari aneka pedang lokal dan
pedang Eropa, keris, senjata api, aneka perisai, dan meriam.
Hasil
penelusuran sejarah menyebutkan Keraton Kanoman adalah pusat peradaban
Kesultanan Cirebon, yang kemudian terpecah menjadi Keraton Kanoman, Keraton
Kasepuhan, Keraton Kacirebonan, dan Keraton Keprabon. Keraton Kanoman masih
taat memegang adat-istiadat dan pepakem, di antaranya melaksanakan tradisi
Grebeg Syawal, seminggu setelah Idul Fitri dan berziarah ke makam leluhur,
Sunan Gunung Jati di Desa Astana, Cirebon Utara.
Peninggalan-peninggalan
bersejarah di Keraton Kanoman erat kaitannya dengan syiar agama Islam yang giat
dilakukan Sunan Gunung Jati, yang juga dikenal dengan Syarif Hidayatullah.
Peninggalan sejarah kejayaan Islam masa lampau juga bisa ditemui di Tamansari
Gua Sunyaragi, yang menjadi penutup acara berkeliling Kota Cirebon.
Kompleks
bangunan yang didirikan pada 1852 di areal seluas 1,5 hektare itu, dulu
merupakan tempat peristirahatan dan tempat menyepi Sultan Kasepuhan dan
kerabatnya. Letaknya di Kelurahan Sunyaragi, 5 km sebelah barat pusat kota.
Banyak
yang bisa dilihat, banyak yang bisa dipelajari. Sayang, bahkan pada hari Minggu
pun peninggalan budaya leluhur itu sepi pengunjung
Keraton
Kacirebonan.
Keraton
Kecirebonan dibangun pada tanggal 1800, Keraton ini banyak menyimpan
benda-benda peninggalan sejarah seperti Keris Wayang perlengkapan Perang,
Gamelan dan lain-lain.
Seperti
halnya Keraton Kesepuhan dan Keraton Kanoman, Keraton Kecirebonan pun tetap
menjaga, melestarikan serta melaksanakan kebiasaan dan upacara adat seperti
Upacara Pajang Jimat dan sebagainya.
SILSILAH SULTAN
KERATON KECERIBONAN
1. Pangeran
Pasarean
2. Pangeran di
Jati Carbon
3. Panembahan
Ratu Pangeran di Pati Anom Carbon
4. Pangeran di
Pati Anom Carbon
5. Panembahan
Girilaya
6. Sultan Moh
Badridini Kanoman
7. Sultan Anom
Raja Mandurareja Kanoman
8. Sultan Anom
Alimudin
9. Sultan Anom
Moh Kaerudin
10. Sultan
Carbon Kaeribonan
11. Pangeran
Raja Madenda
12. Pangeran
Raja Denda Wijaya
13. Pangeran
Raharja Madenda
14. Pangeran
Raja Madenda
15. Pangeran
Sidek Arjaningrat
16. Pangeran
Harkat Nata Diningrat
17. Pangeran Moh
Mulyono Ami Natadiningrat
18. KGPH
Abdulgani Nata Diningrat Dekarangga
Gua Sunyaragi Cirebon.
Lebih
kurang 5 Km ke arah barat dari jantung kota Cirebon, tepatnya dikelurahan
Graksan, terhampar bangunan yang unik. Areal bangunan ini dikenal sebagai
Tamansari Gua Sunyaragi. Petilasan dengan arsitektur estetik bernilai historis,
serta mengungkap nilai-nilai spritual yang merupakan salah satu warisan budaya
masa lalu yang terdapat di wilayah Cirebon, Pembangunannya dilakukan pada tahun
1703, sedangkan gagasannya berasal dari benak Sang Patih Keraton Kasepuhan yang
bernama Pangeran Arya Cirebon. Tokoh ini dikenal sebagai peminta sejarah dan
kebudayaan. Karya legendaris lainnya yaitu kitab sejarah “Purwaka Caruban” yang
berhasil disusunnya pada tahun 1720. Sunya berarti sepi, dan Raga atau Ragi
berarti jasmani.
Tempat
Penyebaran Agama Islam dan Gua Pertapaan
Kereta
Kencana Singa Barong milik Sunan Gunung Jati. Kereta hias, dulunya dipakai
sebagai kendaraan Sunan. Ornamen Kereta Kencana penuh dengan perpaduan budaya,
Jawa Kuno, Tiongkok, India, dan Mesir. Kereta Kencana Singa Barong ini juga
menjadi simbol persahabatan.
Dulu,
sebuah istana megah bernama Keraton Kasepuhan, kediaman Raja Sunan Gunung Jati
atau Syekh Syarief Hidayat berdiri kokoh di atas tanah seluas 185.500 meter
persegi. Keraton Kasepuhan yang terletak di Cirebon, Jawa Barat ini pernah
menjadi tempat sakral bagi masyarakat sekitar. Dari keraton inilah penyebaran
agama Islam bermula.
Kini,
istana megah itu tak ubahnya seperti rerun- tuhan bebatuan. Sebagian besar
ruangan di Keraton Kasepuhan tidak berbentuk lagi. Hanya tumpukan batu bata
merah dan bebatuan yang ada di keraton ini. Kabarnya, untuk merenovasi Keraton
Kasepuhan dibutuhkan biaya sekitar Rp 50 juta per bulan.
Sayangnya,
biaya renovasi tidak mampu diberikan Pemerintah Kota (Pemkot) Cirebon. Kepala
Unit Pelaksana Teknis Pusat Informasi Pariwisata, Yatna Supriyatna menuturkan,
dana cagar budaya untuk Kota Cirebon hanya Rp 70 juta per bulan. Dana digunakan
untuk semua tempat bersejarah di Cirebon. Jadi, tidak mungkin bila Rp 50 juta
diberikan khusus untuk renovasi Keraton Kasepuhan saja.
“Keraton
Kasepuhan memang tempat bersejarah utama di Kota Cirebon. Namun, kami belum
mampu melakukan renovasi total. Dananya belum cukup,” ujar Yatna saat ditemui
di Keraton Kasepuhan, Cirebon, Jawa Barat, pada 14 Oktober lalu.
Keraton
Kasepuhan, adalah sebuah tempat bersejarah di Kota Cirebon. Dari Jakarta, kota
kecil ini hanya berjarak tiga jam perjalanan dengan kereta api. Sementara itu,
bila menggunakan mobil dari Jakarta-Cirebon sekitar empat-lima jam. Cirebon
juga kaya ragam budaya, karena menjadi persimpangan lalu lintas niaga. Letak
Cirebon persis berada di perbatasan Jawa Barat dan Jawa Tengah.
Sedangkan
untuk sampai ke Keraton Kasepuhan, dari terminal Harjamukti membutuhkan waktu
20 menit menggunakan becak. Pilihan lainnya, bisa menggunakan becak dari
stasiun Kejaksaan ke arah selatan selama 30 menit saja.
Masuk
ke wilayah Keraton Kasepuhan, para wisatawan lokal dan mancanegara harus
membayar uang masuk Rp 3.000 per orang. Keraton dibuka untuk umum mulai pukul
08.00-16.00 WIB. Setiap wisatawan mendapat seorang pemandu, yang sehari-hari
bertugas sebagai abdi dalem keraton.
Keraton
yang dikenal paling tua di Cirebon ini, awalnya bukan bernama Keraton
Kasepuhan. Asal usul nama Keraton Kasepuhan terbilang panjang. Bangunan yang
terletak di Kelurahan Kasepuhan, Kecamatan Lemahwungkuk, dibangun oleh Pangeran
Cakrabuwana, yakni putra mahkota Pajajaran. Keraton berdiri pada abad ke-15
atau tahun 1430. Keraton kemudian diserahkan kepada putrinya, Ratu Ayu
Pakungwati. Mulanya, keraton diberi nama Keraton Pakungwati atau Dalem Agung
Pakungwati.
Pakungwati
kemudian menikah dengan sepupunya, Sunan Gunung Jati. Kehadiran Sunan Gunung
Jati ternyata membawa sejarah baru di Jawa Barat. Nama Keraton Pakungwati
berganti menjadi Keraton Kasepuhan. Pergantian nama dikarenakan sebutan
Pakungwati dimuliakan. Sedangkan, nama Keraton Kasepuhan artinya tempat sepuh
atau paling tua di Cirebon.
Kondisi
Keraton Kasepuhan sekarang, memang sesuai dengan namanya. Bangunan tua itu
tampak rapuh. Saat masuk ke pelataran Keraton Kasepuhan, jangan berharap bisa
melihat kemewahan atau kemegahan sebuah istana. Kediaman para raja dan putri
ini tak ubahnya seperti bangunan tua bersejarah, yang hanya menyimpan kenangan
saja.
Memasuki
pelataran keraton, terdapat podium bernama Siti Inggil yang berarti tanah
tinggi. Siti Inggil dikelilingi tembok bata merah berupa Candi Bentar. Bentuk
dari Siti Inggil memiliki makna spritual. Semisal, terdapat 20 tiang dalam Siti
Inggil yang melambangkan 20 sifat Tuhan.
Dulu,
Siti Inggil dipakai oleh Sunan Gunung Jati untuk melihat pertandingan. Dalam
bangunan tersebut, Sunan juga kerap menggelar sidang bagi warga yang melanggar
aturan. Sidang bisa langsung dilihat oleh seluruh warga Cirebon.
Keraton
Kasepuhan memiliki banyak bagian, di antaranya Jinem Pangrawit tempat Sunan
bertemu dengan tamu kehormatannya. Jinem Pangrawit terbagi dua bagian, yakni
ruang tamu untuk para menteri dan bupati. Ruang tamu di desain unik. Corak
budaya Jawa tidak tampak di ruangan tersebut. Jinem Pangrawit dipenuhi dengan
hamparan keramik dan porselin dari Portugis, Tiongkok, dan Belanda.
Sunan
Syekh Syarief, konon sangat mencintai perpaduan budaya Tiongkok, Portugis,
India, dan Jawa. Jadi, semua barang-barang dan peralatan di Keraton Kasepuhan
banyak bersentuhan dengan tiga negara tersebut. Keramik Tiongkok yang ada di
Keraton, adalah hadiah dari kaisar Tiongkok kepada Sunan. Hadiah diterima saat
Sunan menikah dengan putri kaisar bernama Tan Hong Tien Nio.
Keramik
dan porselin dari Tiongkok ada sejak abad ke-15, sementara keramik dari Belanda
baru ada pada abad ke-17. Kecintaan Sunan terhadap keramik dan porselin memang
sangat besar. Terbukti, dinding dan lantai di ruang Jinem Pangrawit dipenuhi
dengan keramik.
Sebuah
ruang tamu di Keraton Kasepuhan bernama Jinem Pangrawit. Ruang tamu dipakai
untuk menerima tamu kehormatan, yakni bupati dan para Menteri.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar