TRADISI ATAU UPACARA-UPACARA DI
PALEMBANG
1.Tradisi
penguburan di gua
Konsep Kematian Dan Penguburan
Tradisional. Adanya penguburan dalam gua-gua dan ceruk payung menunjukkan
adanya satu konsep kepercayaan tentang kematian yang berkembang pesat seiring
dengan peningkatan teknologi dan kemampuan manusia dalam mengahadapi tantangan
alam. Pemilihan lokasi penguburan yang berada di sudut-sudut bagian dalam gua
yang cukup gelap, merupakan wujud dari perasaan takut mereka akan kekuatan dan
pengaruh yang berasal dari luar kehidupan manusia (supranatural). Manusia pada
masa ini, percaya dan yakin bahwa kematian itu bukanlah akhir dari satu
kehidupan manusia, tetapi merupakan salah satu tahapan transisi kehidupan yang
harus dilewati oleh roh si mati dalam perjalanan mencapai alam arwah.
Selama masa transisi, roh si mati tidak dapat berbuat apa-apa, dan sangat membutuhkan bantuan keluarga lainnya untuk mempersiapkan dan menyelenggarakan perjalanan panjangnya. Keberhasilan perjalanan roh si mati dalam menuju alam arwah (surga) merupakan kewajiban ahli waris atau keluarga yang ditinggalkannya, dan keberhasilan itu berdampak baik pada kehidupan manusia terutama yang berkaitan dengan kesuburan tanaman, kesehatan dan kemakmuran.
Pandangan dan keyakinan inilah yang
kemudian memunculkan adanya pemberian bekal kubur bagi keperluan si mati.
Seperti diketahui, setelah meninggal, roh si mati harus mengadakan perjalanan
panjang dan penuh rintangan menuju ke alam arwah. Perjalanan tersebut
memerlukan persiapan yang matang dan perbekalan yang cukup, sehingga nantinya
tidak akan mengalami gangguan dan dapat sampai dengan selamat ke alam arwah.
Untuk keperluan
perjalanan roh tersebut, maka disertakan barang atau benda lain yang diperlukan
selama perjalanan tersebut, seperti : makanan secukupnya, senjata, perhiasan
dan lainnya. Pada awalnya, perlakuan terhadap mayat hanya berupa pemberian
taburan warna atau sapuan cat merah (oker) pada rangka manusia yang dikuburkan,
kemudian berkembang seperti di atas bahkan adapula yang menyertakan seekor
binatang peliharaan atau seorang budak yang dimilikinya, untuk mengawal
perjalanan menuju ke alam arwah.
Semua konsep dan kepercayaan yang diyakini oleh masyarakat tradisional ini dilakukan dengan penuh ketaatan dan diatur secara tegas dalam adat istiadat tradisional. Dalam aturan adat istiadat, proses penanganan si mati ini terdiri dari dua atau tiga tahap, yaitu : tahap penguburan pertama, tahap penguburan kedua dan tahap penguburan ketiga. Tetapi pada umumnya yang sering tampak adalah penguburan pertama dan dilanjutkan oleh penguburan kedua beberapa waktu kemudian.
Semua konsep dan kepercayaan yang diyakini oleh masyarakat tradisional ini dilakukan dengan penuh ketaatan dan diatur secara tegas dalam adat istiadat tradisional. Dalam aturan adat istiadat, proses penanganan si mati ini terdiri dari dua atau tiga tahap, yaitu : tahap penguburan pertama, tahap penguburan kedua dan tahap penguburan ketiga. Tetapi pada umumnya yang sering tampak adalah penguburan pertama dan dilanjutkan oleh penguburan kedua beberapa waktu kemudian.
Pada pelaksanaan penguburan pertama, biasa
si mati (mayat) dimasukkan dalam sebuah wadah tertentu (peti kubur, tempayan
dan lain-lain). Sedang pada pelaksanaan penguburan kedua, biasa dilakukan
setelah 2
2. Tradisi Tahunan Mandi Bongen
(KAJIAN KRITIS TERHADAP
ANCAMAN PERSATUAN DAN KESATUAN DI DUNIA KEBUDAYAAN PALEMBANG
“Hamparan pasir yang biasa disebut warga Sekayu dengan “bongen” ini dimanfaatkan warga sekitar untuk mandi. Warga Sekayu terutama muda-mudi justru memanfaatkannya untuk rekreasi dan bermain air bersama keluarganya. Tampak juga para wisatawan dan pedagang yang berdatangan untuk menyaksikan tradisi tahunan ini.”
Fenomena diatas sudah tidak asing lagi bagi masyarakat Sekayu, Kabupaten Musi
Banyuasin, Sumatera Selatan saat air Sungai Musi mulai dangkal. Masyarakat
berbondong-bondong pergi ke Sungai Musi untuk merayakan tradisi tahunan ini.
Tradisi yang hanya bisa dijumpai satu kali dalam satu tahun ini memang berbeda
dengan kebanyakan tradisi yang ada. Mandi bongen berarti mandi
dengan pasir, kedua kata tersebut berasal dari bahasa Sekayu, yaitu Mani atau
Mandi yang berarti Mandi, sedangkan Bongen artinya Pasir. Maka
kebudayaan Mandi bongen adalah kebudayaan mandi dengan pasir
masyarakat pesisir Sungai Musi Kota Sekayu di waktu Sungai Musi dangkal.
Indonesia sebagai negara yang memiliki banyak sekali kebudayaan yang tidak bisa
dihitung dengan jari, Sumatera Selatan khususnya memiliki lebih dari 100
kebudayaan di setiap daerahnya. Musi Banyuasin sebagai salah satu kabupaten di
Sumatera Selatan memiliki berbagai macam kebudayaan yang sangat unik untuk
dikaji. Budaya Mandi bongen salah satunya, tradisi ini banyak
menimbulkan opini-opini berkaitan dengan tradisi mitos, alam, serta sejarahnya
yang sangat kompleks sekali. Mandi bongen dikalangan masyarakat
Sekayu, Musi Banyuasin tidak hanya sekedar menjadi tradisi saja tetapi banyak
sekali nilai-nilai budaya yang bisa diaplikasikan kedalam kehidupan masyarakat
sehari-hari.
Berangkat dari hal tersebut, apakah yang membuat tradisi ini berbeda dengan
tradisi lainnya yang ada di dunia? Seberapa besar pengaruh tradisi mandi
bongen dalam menciptakan rasa persatuan dan kesatuan diantara
masyrakat?
Menurut saya Saat musim kemarau tiba adalah waktu yang paling
ditunggu-tunggu oleh masyarakat Sekayu, Kabupaten Musi Banyuasin. Keadaan sungai
musi yang dangkal bahkan dipertengahan sungaipun dapat dijajaki oleh kaki,
keadaan tersebut dimanfaatkan oleh masyarakat untuk mandi dan rekreasi di
Sungai Musi. Keadaan tersebut tidak disia-siakan masyarakat untuk berekreasi
setiap tahun dengan mandi di sungai musi yang penuh dengan pasir atau bongen,
banyak kalangan yang melakukan mandi bongen mulai dari anak-anak,
orang tua, remaja, bahkan sesekali ada wisatawan yang berkesempatan untuk ikut
merasakan mandi bongen ini. Kebudayaan mandi bongen
ini juga tidak hanya dilakukan masyarakat golongan tertentu saja, akan tetapi
semua lapisan atau golongan masyarakat berpartisipasi untuk ikut memeriahkan
tradisi mandi bongen tersebut.
Anak-anak bermain pasir dipinggiran sungai, para remaja bermain sepak bola dan
ada juga yang bermain bola voli, para orang tua juga terlihat sangat senang /
menyebrangi sungai musi sampai ke seberang, karena memang kondisi Sungai Musi
yang sangat dangkal pada saat musim kemarau ini membuat masyarakat bisa
menjangkau sungai sampai ke seberang. Selain itu, pada saat bongen luas, banyak
masyarakat yang mandi di atas pasir karena airnya terasa lebih segar. Bahkan,
bongen ini akan dipenuhi masyarakat berbagai usia dari pagi hingga sore hari.
Tidak hanya aktivitas mandi diatas pasirnya saja yang membuat tradisi ini
berbeda dengan tradisi lainnya. Mitos masyarakat juga berkembang seiring dengan
berjalannya tradisi ini setiap tahunnya. Sehingga sering kali banyak persepsi
mengenai mandi bongen ini, ada yang mengatakan bahwa jika orang
jauh atau bukan orang daerah tersebut maka harus hati-hati karena bisa saja
orang asing tersebut tenggelam, atau bahkan digigit buaya. Selain itu juga
masyarakat masih mempercayai jika ada korban yang tenggelam ke dasar sungai
disebabkan oleh adanya inung ruguk, atau sejenis makhluk halus
yang diyakini masyarakat penghuni sungai musi. Fenomena masyarakat yang
tertarik kedalam permukaan pasir sungai juga diyakini oleh masyarakat sebagai
korban dari hantu ayo (Hantu Sungai Musi). Adanya hal tersebut
menyebabkan masyarakat waspada dalam berekreasi dan berusaha menghormati
penunggu Sungai Musi. Sampai sekarangpun masyrakat masih melakukan tradisi mandi
bongen ini sebagai tradisi tahunan masyarakat kabupaten Musi Banyuasin
walaupun mereka tetap meyakini mitos-mitos tersebut.
Uniknya kegiatan yang ada dalam tradisi ini dan juga kentalnya kepercayaan
masyarakat terhadap mitos hantu penuggu Sungai Musi yang ada disetiap tradisi
ini dilakukan tidak membuat tradisi ini mati begitu saja. Kentalnya nilai
persaudaraan diantara masyarakat Sekayu, Musi Banyuasin membuat tradisi ini
semakin hidup sepanjang tahunnya. Menurut kepercayaan masyarakat Sekayu tradisi
ini akan terasa lebih meriah jika dilakukan bersama-sama keluarga terdekat dan
juga masyarakat sekitar lainnya. Tidak ada perasaan kesal yang menyelimuti
wajah masyarakat selama tradisi ini berlangsung, hanya ada keceriaan dan
kentalnya nuansa persahabatan diantara masyarakat Sekayu. Selain itu masyarakat
juga dituntut untuk lebih sportif saat bermain sepak bola dan bola voli yang
merupakan bagian dari acara tradisi tahunan mandi bongen ini.
Setiap kegiatan yang dilakukan dalam tradisi ini memang terkesan biasa saja
namun nilai persatuan dan kesatuan diantara para masyarakat inilah yang tidak
bisa dibeli dengan apapun, tradisi mandi bongen ini merupakan
salah satu cerminan budaya masyarakat Musi Banyuasian yang berusaha untuk
mempersatukan seluruh lapisan masyarakat. Dengan adanya persatuan diantara
masyarakat maka setiap lapisan masyarakat akan berusaha untuk menjaga tali
persabahatan yang sudah terjalin selama ini. Budaya mandi bongen
ini hendaknya menjadi cerminan bagi dunia internasional dalam menanggapi
berbagai konflik saudara yang ada sekarang. Masyarakat Musi Banyuasin melalui
tradisi mandi bongen ini berusaha meunjukkan kepada kita,
bagaimana sebuah persahabatan, persatuan dan kesatuan itu tetap ada walaupun
dari kalangan yang berbeda.
Dan semoga dari essay saya ini bermanfaat unutk semua warga/masyarakat manapun
dan bisa kita pahami bersama.
3. Tradisi Bekarang Iwak
Pada Agustus lalu warga Kelurahan Pulokerto,
Kecamatan Gandus, Palembang melaksanakan sebuah sedekah adat yang disebut
Bekarang Iwak yaitu sebuah tradisi adat yang rutin dilaksanakan tiap tahun di
sungai Lacak. Bekarang Iwak sendiri sebenarnya hampir tak berbeda dengan
sedekah-sedekah adat lain yang biasa dilaksanakan oleh warga yang ada di kota
Palembang. Yang membedakan di sini hanyalah bahwa setelah diadakan beberapa
ritual upacara adat dan makan bersama, kemudian disusul dengan acara menangkap
ikan secara bersama-sama di sungai Lacak yang melibatkan warga kelurahan
Pulokerto seperti nama tradisi tersebut yaitu Bekarang = menangkap, dan Iwak =
ikan.
Hasil dari tangkapan ikan itu kemudian
dikumpulkan dan dipilah antara yang besar dan kecil. Untuk ikan-ikan kecil
diperbolehkan oleh pemangku adat untuk di bawa pulang warga yang ikut serta
menangkap ikan, sementara untuk yang besar-besar diambil oleh pemangku adat
untuk kemudian di jual. Uang dari penjualan ikan tersebut digunakan untuk
keperluan umum warga seperti membangun masjid, jembatan dan sebagainya.
Hasil tangkapan ikan dari tradisi Bekarang
Iwak ini memang bisa mencapai beberapa ton hingga dari tradisi ini saja
sarana-sarana umum seperti jembatan atau bendungan bisa terbantu pelaksanannya.
Hal ini dapat terjadi karena berbeda dengan sungai-sungai di pulau jawa yang
kebanyakan tercemar dan terjadi pendangkalan tiap tahunnya, dan diperparah lagi
dengan terjadinya perburuan-perburuan ikan yang tak jarang memakai bahan-bahan
kimia hingga hanya menyisakan ikan sapu-sapu sebagai penghuninya, maka di
sungai Lacak ini kelestarian sungai sangat diperhatikan karena mereka sadar
bahwa penghidupan mereka sangat tergantung oleh sungai ini. Oleh karena itu
warga kelurahan Pulokerto ini jangankan menangkap ikan menggunakan bahan-bahan
kimia, bahkan untuk menangkap ikan menggunakan setrum ikan pun tidak
diperbolehkan dan akan mendapat hukuman dari pemangku adat setempat.
Maka tak heran ketika tradisi adat
Bekarang Iwak dilaksanakan pun ikan-ikan yang di dapat relative besar-besar dan
memang dari jenis ikan yang layak jual seperti ikan gabus, lele, mujair dan
sebagainya.
Menurut kepercayaan setempat
kenapa ritual Bekarang Iwak ini selalu dilaksanakan rutin tiap tahunnya adalah
karena bila tradisi ini tak dilaksanakan maka desa Pulokerto yang memang
warganya selalu berhubungan dengan sungai lacak dalam keseharian mereka akan
mendapat hukuman berupa penampakan-penampakan buaya di sungai Lacak baik ketika
mereka sedang menggelar tradisi-tradisi adat lainnya maupun dalam keseharian
mereka.
Oleh karena itu dengan diadakannya tradisi
adat Bekarang Iwak ini diharapkan setiap warga yang mengikuti acara Bekarang
Iwak ini selalu dijauhkan dari malapetaka dan diberikan rezeki yang melimpah
ketika mereka menggunakan sungai Lacak sebagai mata pencaharian mereka yaitu
menangkap ikan.
4.
Tradisi Ziarah Kubra di Palembang
Di Indonesia, suasana berbeda seringkali
terjadi pada hari-hari terakhir bulan Sya’ban. Hari-hari tersebut biasanya
dimanfaatkan oleh kaum muslimin untuk berziarah, baik menziarahi makam
anggota keluarga yang telah mendahului, maupun ke makam ulama dan para wali
Allah. Suasana tersebut juga dirasakan di Kota Palembang. Tiap tahun
menjelang bulan suci Ramadhan, kota Palembang akan dibanjiri ulama, habaib
dan kyai dari penjuru tanah air dan luar negeri yang menyempatkan diri untuk
menghadiri Haul dan Ziarah Kubra Ulama dan Auliya Palembang Darussalam, yang
biasanya rutin dilaksanakan setiap tahun.
Acara Ziarah Kubra merupakan salah satu
tradisi turun temurun, terutama bagi kaum Alawiyyin maupun muhibbin yang
bermukim di kota Palembang. Acara ini juga melibatkan keluarga Kesultanan
Palembang Darussalam mengingat eratnya hubungan kekeluargaan antara kaum
Alawiyyin dengan para sultan di Kesultanan Palembang Darussalam. Salah satu
tujuan dilakukan ziarah ini adalah untuk mengenang dan meneladani para ulama
yang telah melakukan syiar Iislam di kota Palembang. Kegiatan ini
dilaksanakan dengan berjalan kaki, membawa umbul-umbul yang bertuliskan
kalimat tauhid, dan juga disemarakkan dengan tetabuhan hajir marawis dan
untaian kasidah.
Biasanya, rangkaian
pertama dari Ziarah Kubra ini adalah diawali dengan haul Al-Habib Abdullah
bin Idrus dan Al-Habib Abdurrahman bin Ahmad Al-bin Hamir. Haul ini
dilaksanakan di perkampungan Alawiyyin Sungai Bayas Kelurahan Kuto Batu
Palembang.
Menurut sejarah, perkampungan Sungai
Bayas ini sudah ada sejak 300 tahun lalu. Kampung ini merupakan pemukiman
awal para ulama dari Hadramaut (Yaman), yang menyebarkan ajaran Islam di
Palembang dan daerah lain di Indonesia, Malaysia dan Brunei Darussalam. Kini
para keluarga ulama itu menetap di perkampungan di sekitar Sungai Bayas,
antara lain Kampung Muaro, 10 Ilir, 13 Ilir, Lawang Kidul, dan Al-Fakhru.
Sementara di seberang ulu, antara lain Kampung As-Seggaf, Al-Kaaf,
Al-Munawar, Al-Habsyi, Kenduruan, dan Sungai Lumpur.
-Pemakaman Pangeran Syarif Ali
Setelah dari Sungai Bayas, para peziarah
melanjutkan perjalanan menuju pemakaman Pangeran Syarif Ali di Kelurahan 5
Ilir (jaraknya sekitar satu kilometer). Al-Habib Pangeran Syarif Ali,
dilahirkan di Palembang pada tahun 1795 M, dari seorang ibu yang bernama
Syarifah Nur binti Ibrahim bin Zaid bin Yahya. Adapun ayahnya Habib Abubakar
dilahirkan di kota Inat, Hadramaut. Habib Abubakar datang ke kota Palembang
bersama ayahnya yaitu Habib Sholeh bin Ali sekitar tahun 1755. Setelah itu Habib
Sholeh kembali ke Hadramaut dan meninggal di kota Inat.
Di samping mendapatkan pendidikkan agama
dari ayahnya, Syarif Ali juga banyak menimba ilmu agama dari para habib baik
dari kota Palembang maupun Hadramaut. Dan memasuki usia dewasa, beliau giat
melakukan pelayaran niaga, terutama ke Kalimatan dan Jawa dengan menaiki
kapal kayu sederhana (Pinisi). Dari pergaulan yang luas dengan para pembesar
kesultanan, Syarif Ali memperoleh pengalaman diplomatik. Pernah suatu ketika
Syarif Ali mendapat misi khusus ke Kalimatan untuk keperluan Sultan Husin
Dhiauddin. Karena misi tersebut berhasil dengan baik, Sultan menikahkannya
dengan salah seorang putrinya yang bernama Laila. Dari perkawinan inilah
Syarif Ali diberi gelar Pengeran. Pengeran Syarif Ali wafat pada tanggal 27
Muharram 1295 H/ 1877 M.
Selain makam Habib Pengeran Syarif Ali
dan keluarganya, di sini juga dimakamkan Habib Umar bin Alwi bin Syahab yang
merupakan ipar dari Pangeran Syarif Ali. Beliau dimakamkan tepat di sebelah
makam Pangeran Syarif Ali. Habib Umar adalah seorang ulama yang banyak
menyebarkan agama Islam ke pelosok-pelosok terpencil. Beberapa suku adat di
Palembang masuk Islam berkat pelantaran beliau, terutama di pesisir Sungai
Musi, antara lain daerah Pegayut, Pemulutan, Muara Enim, Lingkis, Ulak
Temago, Suko Darmo, bahkan sampai saat ini banyak keturunannya tinggal di
daerah Bungin Kiaji yang lebih dikenal dengan Desa Pegayut.
Perjalanan kemudian
di lanjutkan ke Pemakaman Kesultanan Kawah Tengkurep yang terletak di
Kelurahan 3 Ilir Boom Baru (sekitar 1,5 kilometer dari pemakaman Pangeran
Syarif Ali). Pemakaman ini dibangun pada tahun 1728 M oleh Sultan Mahmud
Badaruddin I (1724-1758), yaitu seorang pemimpin yang arif dan bijaksana,
serta seorang seorang ulama yang hafal Al-Our’an. Di dalam pemerintahnya,
Sultan Mahmud Badaruddin I banyak mengadakan musyawarah terutama dengan para
habaib. Ia pun memiliki guru-guru agama dari kalangan habaib. Bahkan hampir
semua putrinya dinikahkan dengan habaib.
Adapun Imam Kubur
(istilah untuk penasehat agama kesultanan yang biasanya dimakamkan
bersebelahan dengan para sultan) dari Sultan Mahmud Badaruddin I yaitu
Al-‘Arif Billah Al-Habib Abdullah bin Idrus Al-Idrus. sedangkan habib lainnya
yang dimakamkan di Pemakaman Kawah Tengkurep, antara lain adalah Al-‘Arif
Billah Al-Habib Abdurrahman bin Husin Al-Idrus (Maula Taqooh) yang merupakan
Imam Kubur Sultan Ahmad Najamuddin (1758-1776 M), Al-‘Arif Billah Al-Habib
Muhammad bin Ali Al-Haddad (Datuk Murni) yang merupakan Imam Kubur Sultan
Mahmud Bahauddin (1776-1803 M), Al’Arif Billah A-Habib Muhammad bin Yusuf
Al-Angkawi, Al-‘Arif Billah Al-Habib Agil bin Alwi Al-Madihij (Penghulu
Al-Madihij di Palembang), serta Al-‘Arif billah Muhammad dan Habib
Ahmad bin Idrus Al-Habsyi yang merupakan ayah dan kakek dari Habib Nuh
Al-Habsyi (Keramat Tanjung Pagar, Singapura). Selain itu di sini juga
dimakamkan seorang waliyah bernama Hababah Sidah binti Abdullah bin Agil
Al-Madihij. Dikisahkan bahwa ia pernah bertemu dengan Rasululah SAW secara yaqozoh
(dalam keadaan sadar) dengan iringan tetambuhan rebana dan aroma harum
wewangian, sehingga seluruh perkampungan di sekitar rumahnya pun dapat
mendengar suara tabuhan rebana tersebut.
-Pemakaman Kambang Koci
Rute para peziarah
berakhir di Pemakaman Kambang Koci. Lokasi pemakaman ini bersebelahan dengan
Pemakaman Kawah Tengkurep (sekitar 200 meter). Konon, pada tahun 1151 H/ 1735
M, Sultan Mahmud Badaruddin 1 mewakafkan sebidang tanah yang cukup luas untuk
pemakaman anak cucu serta menantunya. Tanah pemakaman tersebut dinamakan
Kambang Koci, yang berasal dari kata kambang (kolam) dan sekoci
(perahu), karena jauh sebelumnya tempat itu merupakan tempat pencucian
perahu.
Beberapa penghulu
habib yang dimakamkan di sini antara lain :
Mengingat banyaknya para wali yang
dimakamkan di Pemakaman Kambang Koci serta di beberapa pemakaman lainnya di
kota Palembang, maka banyak dari pemuka habaib dari Hadramaut menyebut
Kambang Koci sebagai Zanbal (pemakaman para wali di Kota Tarim,
Hadhramaut)-nya Palembang. Sementara Kota Palembang sendiri sempat dijuluki
sebagai Hadramaut Tsani alias Hadramaut Kedua, karena banyak
para ulama yang menetap dan beranak-pinak di kota ini.
|
|||||||
|
|||||||
5.
Tradisi Rumpa-rumpaan
|
|||||||
Usai melaksanakan Salat Idul Fitri dan
menyimak khutbah di masjid-masjid atau tanah lapang, jamaah Salat Ied tanpa
dikomandoi langsung saling menjulurkan tangan mengucapkan selamat merayakan
hari kemenangan dan saling maafmemaafkan. Merayakan Lebaran, bagi umat muslim
memang memiliki arti tersendiri dalam perjalanan hidupnya setiap tahun.
Banyak keunikan dalam
cara-cara merayakan lebaran, sehingga sering memunculkan berbagai tradisi dan
budaya tersendiri yang semakin memeriahkan momen keagamaan itu. Salah satunya
adalah mengunjungi keluarga, kerabat, dan teman untuk bersilaturahim dan saling
bermaaf-maafan. Di Palembang dan beberapa daerah di wilayah Sumsel, tradisi itu
di sebut sanjo.
Kelahiran tradisi dan
budaya ini tidak lepas dari unsur pemahaman manusia terhadap ajaran agamanya.
Namanya saja tradisi, apa yang terjadi dari tahun ke tahun tampaknya selalu
saja menarik untuk diangkat kembali ke permukaan. Sebagaimana biasa, pada
lebaran tahun ini para pemimpin tertinggi di pemerintahan baik pusat maupun
daerah mempersilahkan warganya untuk datang bersilaturahim dengan menggelar
open house.
Namun umumnya sanjo
dilaksanakan masing-masing warga perseorangan. Di bebarapa kawasan misalnya,
usai menunaikan shalat, beberapa kepala keluarga dalam lingkungan satu kampung
berkumpul dan Mereka kemudian bersama-sama mendatangi tempat tinggal tetangga
di sekitar tempat tinggal mereka satu persatu untuk bersilaturahmi dan
bermaaf-maafan. Kemudian rombongan melanjutkan kunjungan kerumah tetangganya
yang lain.
Setiap kepala rumah tangga yang kediamannya baru saja disanjoi, biasanya turut serta dalam rombongan tersebut untuk ikut sanjo ke rumah tetangga yang lain. Silaturahmi berakhir setelah rumah tetangga di sekitar lingkungan tempat tinggal sudah mereka kunjungi. Rumpak-rumpakan atau sebagian orang menyebut dengan Umpak-umpakan (mungkin karena lafal penyebutan huruf R kurang begitu jelas) , begitu aktivitas sanjo beramai-ramai ini dinamai.
Setiap kepala rumah tangga yang kediamannya baru saja disanjoi, biasanya turut serta dalam rombongan tersebut untuk ikut sanjo ke rumah tetangga yang lain. Silaturahmi berakhir setelah rumah tetangga di sekitar lingkungan tempat tinggal sudah mereka kunjungi. Rumpak-rumpakan atau sebagian orang menyebut dengan Umpak-umpakan (mungkin karena lafal penyebutan huruf R kurang begitu jelas) , begitu aktivitas sanjo beramai-ramai ini dinamai.
Sementara itu tradisi
rumpak-rumpakan di beberapa tempat di Palembang seperti daerah ulu laut,
seberang ulu masih terus ada. Lebih kurang sebanyak 60 orang berkeliling dari
satu rumah warga ke rumah lainnya dengan membawa terbangan (Rebana).
Rumpak-rumpakan ini
merupakan tradisi setiap hari raya idul fitri. Saat masuk para tamu menabuhkan
terbangan, selanjutnya membacakan salawat nabi dan ditutup doa bersama.
Kemudian menghabiskan makanan khas Palembang seperti tekwan dan pempek, kata
Rusli Hasani, lrg Setia RT 33 RW 04 Jl KH Azhari 13 Ulu.
Rumpak-rumpakan digelar
dengan membawa terbangan dan rebana. Mereka melantunkan Shalawat Nabi pada
setiap rumah yang di sanjoi. Tradisi semacam itu, yang hingga saat ini masih
dipertahankan, juga dilakukan di beberapa kampung lainnya di Palembang, begitu
pula di beberapa daerah di luar Palembang,
seperti di Kabupaten
Lahat. Warga di daerah sentra penghasil kopi robusta ini menyebutnya tradisi
pantauan. Pantauan dilakukan masyarakat saat hari pertama Lebaran dengan
mengunjungi rumah tetangga yang berada di sekitar tempat tinggal, tradisi ini
mirip dengan rumpak-rumpakan yang dilakukan masyarakat asli Palembang ketika
lebaran. Usai melaksanakan sholat Idul Fitri, setiap kepala keluarga dalam
lingkungan satu kampung, berkumpul di mesjid setempat atau di rumah kepala
kampung sesuai dengan kesepakatan. Kemudian mereka secara bersama-sama
mendatangi tetangga di sekitar tempat tinggal mereka satu per satu.
Jika ada tetangga
mereka yang mempunyai niat agar arwah para leluhur mereka untuk didoakan
ataupun ada yang baru mempunyai anak, pada saat pantauan ini keluarga yang
dikunjungi akan meminta didoakan para tetangga mereka dengan harapan diberikan
perlindungan, kesehatan, dan keselamatan oleh sang pencipta.
Usai berdoa bersama, para tetangga yang
datang itu, diminta oleh tuan rumah yang dikunjungi untuk menyantap hidangan
yang mereka sediakan. Setelah itu rombangan melanjutkan kunjungan ke rumah
tetangganya yang lain lagi, sedangkan kepala rumah yang rumahnya di kunjungi
tadi juga ikut serta dalam rombongan tersebut. Jika tidak, mereka akan merasa
dikucilkan dalam pergaulan bertetangga di tempat tinggalnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar