KESULTANAN
DEMAK
Kejayaan
Kesultanan Demak
Mundurnya Kerajaan Majapahit memberikan
kesempatan kepada para bupati yang berada di pesisir pantai utara Jawa untuk
melepaskan diri, khususnya Demak. Faktor lain yang mendorong perkembangan Demak
ialah letaknya yang strategis di jalur perdagangan Indonesia bagian barat
dengan Indonesia bagian timur.
a. Letak Geografis
Secara geografis
Kerajaan Demak terletak di Jawa Tengah. Kerajaan Demak berkembang dari sebuah
daerah yang bernama Bintoro yang merupakan daerah bawahan Majapahit. Kerajaan
Demak merupakan kerajaan Islam pertama di Pulau Jawa.
b. Kehidupan Politik
Raden Patah (1475–1518)
Dengan bantuan daerah-daerah lain yang
masuk Islam, seperti Jepara,Tuban, dan Gresik, Raden Patah pada tahun 1475
berhasil mendirikan Kerajaan Demak, yang merupakan kerajaan Islam pertama di
Jawa. Menurut Babad Tanah Jawa, Raden Patah adalah putra Brawijaya V
(RajaMajapahit terakhir) dengan putri Campa. Raden Patah semula diangkat
menjadi bupati oleh Kerajaan Majapahit di Bintoro Demak dengan gelar Sultan
Alam Akhbar al Fatah.
Dalam upaya mengembangkan kekuasaan dan
menguasai perdagangan nasional dan internasional maka pada tahun 1513, Demak
melancarkan serangan ke Malaka di bawah pimpinan Adipati Unus (Pangeran Sabrang
Lor). Namun, serangan tersebut gagal. Di lingkungan kerajaan, para wali
berperan sebagai pendamping dan sekaligus sebagai penasehat raja, khususnya
Sunan Kalijaga. Ia banyak memberikan saran- saran sehingga Demak berkembang
menjadi mirip kerajaan teokrasi, yaitu kerajaan atas dasar agama.
Sultan Trenggono
(1521–1546).
Adipati Unus (1518–1521 )
menggantikan ayahnya (Raden Patah) untuk menjalankan roda pemerintahan. Ia
lebih dikenal dengan nama Pangeran Sabrang Lor (gelar yang diterima sebab
pernah mengadakan serangan ke utara/Malaka). Adipati Unus meninggal tanpa
meningalkan putra sehingga seharusnya digantikan oleh adiknya, Pangeran Sekar
Seda Lepen. Akan tetapi, pangeran ini dibunuh oleh kemenakannya sehingga yang
menggantikan takhta Demak adalah adik Adpati Unus yang lain, yakni Pangeran
Trenggono. Ia setelah naik takhta Demak bergelar Sultan Trenggono.
Di bawah pemerintahannya, Kerajaan Demak
mencapai puncak kejayaannya. Wilayah kekuasaannya sangat luas, meliputi Jawa
Barat (Banten, Jayakarta, dan Cirebon), Jawa Tengah, dan sebagian Jawa Timur.
Tindakan-tindakan penting yang pernah dilakukan Sultan Trenggono adalah sebagai
berikut:
a) menegakkan agama Islam;
b)membendung perluasan daerah yang dilakukan
oleh Portugis; Indonesia pada Masa
Perkembangan Islam 6.
c)menguasai dan mengislamkan Banten,
Cirebon, dan Sunda Kelapa (Perluasan ke wilayah Jawa Barat ini dipimpin oleh
Fatahilah (Faletehan) yang kemudian menurunkan raja-raja Banten).
d)
berhasil menakhlukkan Mataram, Singasari, dan Blambangan.
Sultan Trenggono gugur (1546)
Ketika berusaha menaklukkan Pasuruan.
Wafatnya Sultan Trenggono memberi peluang kepada keturunan Pangeran Sekar Seda
Lepen yang merasa berhak atas takhta Kerajaan Demak untuk merebut takhta. Tokoh
ini ialah Aria Penangsang yang menjadi bupati di Jipang (Blora). Keluarga
Sultan Trenggono dengan tokohnya Pangeran Prawoto berusaha untuk menggantikan
ayahnya sehingga terjadi perebutan kekuasaan.
Perang saudara ini berlangsung
selama beberapa tahun yang akhirnya memunculkan Joko Tingkir, menantu Sultan
Trenggono yang berasal dari Pajang, menaiki takhta sebagai raja dengan gelar
Sultan Hadiwijoyo (1552–1575).
c. Kehidupan Ekonomi
Dilihat dari segi
ekonomi, Demak sebagai kerajaan maritim, menjalankan fungsinya sebagai
penghubung atau transit daerah penghasil rempah-rempah di bagian timur dengan
Malaka sebagai pasaran di bagian barat. Perekonomian Demak dapat berkembang
dengan pesat di dunia maritim karena didukung oleh penghasil dalam bidang
agraris yang cukup besar.
d. Kehidupan Sosial Budaya
Kehidupan sosial Demak
diatur oleh hukum-hukum Islam, namun juga masih menerima tradisi lama. Dengan
demikian, muncul sistem kehidupan sosial yang telah mendapat pengaruh Islam.
Di bidang budaya,
terlihat jelas dengan adanya pembangunan Masjid Agung Demak yang terkenal
dengan salah satu tiang utamanya terbuat dari kumpulan sisa-sisa kayu yang
dipakai untuk membuat masjid itu sendiri yang disebut soko tatal. Di pendapa
(serambi depan masjid) itulah Sunan Kalijaga (pemimpin pembangunan masjid)
meletakkan dasar-dasar syahadatain (perayaan Sekaten). Tujuannya ialah untuk
memperoleh banyak pengikut agama Islam. Tradisi Sekaten itu sampai sekarang
masih berlangsung di Yogyakarta, Surakarta, dan Cirebon.
KESULTANAN
PAJANG
Kesultanan Pajang, adalah kerajaan suksesor Kesultanan Demak yang
didirikan oleh Joko Tingkir. Pajang sebelumnya merupakan daerah kadipaten di
bawah Kesultanan Demak. Situs keraton Pajang, diperkirakan berada di Kelurahan
Pajang, Kota Surakarta.
Joko Tingkir adalah anak Ki Ageng Pengging, yang menurut dihukum mati oleh Sunan Kudus karena mengikuti ajaran Syekh Siti Jenar. Setelah ayahnya mangkat, Joko Tingkir kemudian dibesarkan oleh pamannya, Ki Ageng Tingkir. Setelah dewasa, ia diperintahkan pamannya untuk pergi ke Kutaraja Demak dan mengabdi ke Sultan yang berkuasa, yaitu Sultan Trenggono.
Dikisahkan bahwa pada saat ia datang ke kutaraja, sedang diadakan sayembara melawan banteng ketaton (banteng mengamuk). Joko Tingkir yang mengikuti sayembara tersebut dapat melumpuhkan banteng tersebut dengan satu kali pukulan saja. Karena kesaktiannya, Joko Tingkir diterima mengabdi dan akhirnya bahkan menjadi menantu Sultan Trenggono.
Setelah Sultan Trenggono wafat, anaknya Sunan Prawoto diangkat menjadi penggantinya. Akan tetapi ia kemudian meninggal terbunuh dalam intrik perebutan kekuasaan dengan keponakannya sendiri yaitu Arya Penangsang, adipati Jipang yang juga adalah murid Sunan Kudus. Arya Penangsang kemudian menjadi penguasa Demak, dan selanjutnya terjadilah perlawanan terhadap Arya Penangsang yang dipimpin oleh kadipaten Pajang. Waktu itu, Joko Tingkir telah menjadi adipati Pajang.
Dengan bantuan dari kadipaten-kadipaten lainnya yang juga tidak menyukai Arya Penangsang, Joko Tinggkir akhirnya berhasil membinasakan Arya Penangsang. Joko Tingkir kemudian memindahkan istana Demak ke Pajang, dan di sana ia mendirikan Kesultanan Pajang. Joko Tingkir sebagai raja bergelar Sultan Hadiwijaya (1568-1582), kedudukannya disahkan oleh Sunan Giri, segera mendapat pengakuan dari adipati-adipati di seluruh Jawa Tengah dan Jawa Timur.
Salah seorang anak Sunan Prawoto yaitu Arya Pangiri, diangkatnya menjadi adipati Demak. Sedangkan seseorang yang paling berjasa membantunya yaitu Ki Ageng Pemanahan (putra dari Ki Ageng Ngenis, dan cucu Ki Ageng Selo), diberinya imbalan daerah Mataram (sekitar Kota Gede, Yogyakarta) pada tahun 1558 untuk ditinggali.
Pemberian tanah di daerah Mataram oleh Joko Tingkir kepada Ki Ageng Pemanahan, seakan menjadi bumerang karena Mataram akan menghabisi kekuatan Pajang. Ki Ageng Pemanahan, yang kemudian juga dikenal dengan panggilan Ki Gede Mataram, dalam waktu singkat mampu membuat Mataram beserta rakyatnya maju. Namun sebelum dapat ikut menikmati hasil, di tahun 1575 Ki Ageng Pemanahan meninggal dunia.
Usahanya kemudian dilanjutkan oleh anaknya yaitu Sutawijaya, yang merupakan ahli peperangan dan nantinya lebih dikenal dengan nama Senapati ing Alaga (panglima perang) atau Panembahan Senopati.
Tujuh tahun kemudian (1582) Joko Tingkir meninggal, dan Pangeran Benowo
anak laki-laki tertuanya yang seharusnya menggantikannya, ternyata disingkirkan
Arya Pangiri dan akhirnya hanya dijadikan adipati di Jipang. Pada tahun 1587,
Sutawijaya (putra Ki Ageng Pemanahan), penguasa Mataram, menyatakan tidak loyal
lagi pada Pajang.
Arya Pangiri diserang oleh Sutawijaya yang dibantu Pangeran Benowo. Ia
merebut Pajang dan Arya Pangiri berhasil dikalahkan. Sutawijaya lalu
memindahkan Karaton Pajang ke Mataram dan ia menjadi raja bergelar Panembahan
Senopati (1575-1601). Pajang kemudian menjadi bagian dari wilayah Kerajaan
Mataram yang didirikan oleh Sutawijaya.
KESULTANAN MATARAM
Mataram merupaken
kerajaan berbasis agraris/pertanian & relatif lemah secara maritim. Ia
meninggalkan beberapa jejak sejarah yg bisa dilihat sampai kini, seperti
kampung Matraman di Batavia/Jakarta, sistem persawahan di Pantura Jawa Barat,
penggunaan hanacaraka dlm literatur bahasa Sunda, politik feodal di Pasundan,
serta beberapa batas administrasi wilayah yg masih berlaku sampai sekarang. Kesultanan
Mataram ialah kerajaan Islam di Pulau Jawa yg pernah berdiri pada abad ke-17.
Kerajaan ini dipimpin suatu dinasti keturunan Ki Ageng Sela
& Ki Ageng Pemanahan, yg mengklaim sebagai suatu cabang ningrat keturunan
penguasa Majapahit. Asal-usulnya ialah suatu Kadipaten di bawah Kesultanan
Pajang, berpusat di “Bumi Mentaok” yg diberikan kepada Ki Ageng Pemanahan
sebagai hadiah atas jasanya. Raja berdaulat pertama ialah Sutawijaya
[Panembahan Senapati], putra dari Ki Ageng Pemanahan. Kerajaan Mataram pada
masa keemasannya pernah menyatukan tanah Jawa & sekitarnya, termasuk
Madura.
Kerajaan Mataram pernah memerangi VOC di Batavia untuk mencegah semakin berkuasanya firma
dagang itu, namun ironisnya malah harus menerima bantuan VOC pada masa-masa
akhir menjelang keruntuhannya. Sutawijaya naik tahta sesudah
ia merebut wilayah Pajang sepeninggal Hadiwijaya dengan gelar Panembahan
Senopati. Pada saat itu wilayahnya hanya di sekitar Jawa Tengah saat ini,
mewarisi wilayah Kerajaan Pajang. Pusat pemerintahan berada di Mentaok, wilayah
yg terletak kira-kira di timur Kota Yogyakarta & selatan Bandar Udara
Adisucipto sekarang.
Lokasi keraton [tempat kedudukan raja] pada masa awal terletak
di Banguntapan, kemudian dipindah ke Kotagede. Sesudah ia meninggal [dimakamkan
di Kotagede] kekuasaan diteruskan putranya Mas Jolang yg sesudah naik tahta
bergelar Prabu Hanyokrowati. Pemerintahan Prabu Hanyokrowati tak
berlangsung lama karena beliau wafat karena kecelakaan saat sedang berburu di
hutan Krapyak. Karena itu ia juga disebut Susuhunan Seda Krapyak atau
Panembahan Seda Krapyak yg artinya Raja [yang] wafat [di] Krapyak. Setelah itu
tahta beralih sebentar ke tangan putra keempat
Mas Jolang yang bergelar Adipati Martoputro. Ternyata Adipati Martoputro
menderita penyakit syaraf sehingga tahta beralih ke putra sulung Mas Jolang yg
bernama Mas Rangsangpada masa pemerintahan Mas Rangsang,Mataram mengalami masa
keemasan.
Sultan Agung Menguasai Pulau Jawa & Madura
Sesudah naik tahta Mas Rangsang bergelar Sultan Agung Prabu
Hanyokrokusumo atau lebih dikenal dengan sebutan Sultan Agung. Pada
masanya Mataram berekspansi untuk mencari pengaruh di Jawa. Wilayah Mataram
mencakup Pulau Jawa & Madura [kira-kira gabungan Jawa Tengah, DIY, &
Jawa Timur sekarang].
Ia memindahkan lokasi
kraton ke Karta [Jw. “kertå”, maka muncul sebutan pula “Mataram Karta”]. Akibat
terjadi gesekan dlm penguasaan perdagangan antara Mataram dengan VOC yg
berpusat di Batavia, Mataram lalu berkoalisi dengan Kesultanan Banten &
Kesultanan Cirebon & terlibat dlm beberapa peperangan antara Mataram
melawan VOC. Setelah wafat [dimakamkan di Imogiri], ia digantikan oleh putranya
yg bergelar Amangkurat [Amangkurat I].
Runut Waktu Kerjaan Mataram
1558-Ki Ageng Pemanahan dihadiahi wilayah Mataram oleh Sultan
Pajang Adiwijaya atas jasanya mengalahkan Arya Penangsang.
1577-Ki Ageng
Pemanahan membangun istananya di Pasargede atau Kotagede.
1584-Ki Ageng
Pemanahan meninggal. Sultan Pajang mengangkat Sutawijaya, putra Ki Ageng
Pemanahan sebagai penguasa baru di Mataram, yg sebelumnya sebagai putra angkat
Sultan Pajang bergelar “Mas Ngabehi Loring Pasar” [karena rumahnya di sebelah
utara pasar]. Ia mendapat gelar “Senapati in Ngalaga” [karena masih dianggap
sebagai Senapati Utama Pajang di bawah Sultan Pajang].
1587-Pasukan Kesultanan
Pajang yg akan menyerbu Mataram porak-poranda diterjang badai letusan Gunung
Merapi. Sutawijaya & pasukannya selamat.
1588-Mataram menjadi
kerajaan dengan Sutawijaya sebagai Sultan, bergelar “Senapati Ingalaga Sayidin
Panatagama” artinya Panglima Perang & Ulama Pengatur Kehidupan Beragama.
1601-Panembahan Senopati wafat & digantikan
putranya, Mas Jolang yg bergelar Panembahan Hanyakrawati & kemudian dikenal
sebagai “Panembahan Seda ing Krapyak” karena wafat saat berburu [jawa:
krapyak].
1613-Mas Jolang wafat,
kemudian digantikan oleh putranya Pangeran Aryo Martoputro. Karena sering
sakit, kemudian digantikan oleh kakaknya Raden Mas Rangsang. Gelar pertama yg
digunakan ialah Panembahan Hanyakrakusuma atau “Prabu Pandita Hanyakrakusuma”.
Setelah Menaklukkan Madura beliau menggunakan gelar “Susuhunan Hanyakrakusuma”.
Terakhir sesudah 1640-an beliau menggunakan gelar bergelar “Sultan Agung
Senapati Ingalaga Abdurrahman”
1645-Sultan Agung
wafat & digantikan putranya Susuhunan Amangkurat I.
1645-1677-Pertentangan
& perpecahan dlm keluarga kerajaan Mataram, yg dimanfaatkan oleh VOC.
1677-Trunajaya
merangsek menuju Ibukota Pleret. Susuhunan Amangkurat I mangkat. Putra Mahkota
dilantik menjadi Susuhunan Amangkurat II di pengasingan. Pangeran Puger yg
diserahi tanggung jawab atas ibukota Pleret mulai memerintah dengan gelar
Susuhunan Ing Ngalaga.
1680-Susuhunan
Amangkurat II memindahkan ibukota ke Kartasura.
1681-Pangeran Puger
diturunkan dari tahta Plered.
1703-Susuhunan
Amangkurat III wafat. Putra mahkota diangkat menjadi Susuhunan Amangkurat III.
1704-Dengan bantuan
VOC Pangeran Puger ditahtakan sebagai Susuhunan Paku Buwono I. Awal Perang
Tahta I [1704-1708]. Susuhunan Amangkurat III membentuk pemerintahan
pengasingan.
1708-Susuhunan
Amangkurat III ditangkap & dibuang ke Srilanka sampai wafatnya pada 1734.
1719-Susuhunan Paku
Buwono I meninggal & digantikan putra mahkota dengan gelar Susuhunan
Amangkurat IV atau Prabu Mangkurat Jawa. Awal Perang Tahta Jawa Kedua
[1719-1723].
1726-Susuhunan
Amangkurat IV meninggal & digantikan Putra Mahkota yg bergelar Susuhunan
Paku Buwono II.
1742-Ibukota Kartasura
dikuasai pemberontak. Susuhunan Paku Buwana II berada dlm pengasingan.
1743-Dengan bantuan
VOC Ibukota Kartasura berhasil direbut dari tangan pemberontak dengan keadaan
luluh lantak. Sebuah perjanjian sangat berat [menggadaikan kedaulatan Mataram
kepada VOC selama belum dapat melunasi hutang biaya perang] bagi Mataram dibuat
oleh Susuhunan Paku Buwono II sebagai imbalan atas bantuan VOC.
1745-Susuhunan Paku
Buwana II membangun ibukota baru di desa Sala di tepian Bengawan Beton.
1746-Susuhunan Paku
Buwana II secara resmi menempati ibukota baru yg dinamai Surakarta. Konflik
Istana menyebabkan saudara Susuhunan, P. Mangkubumi, meninggalkan istana.
Meletus Perang Tahta Jawa Ketiga yg berlangsung lebih dari 10 tahun [1746-1757]
& mencabik Kerajaan Mataram menjadi dua Kerajaan besar & satu kerajaan
kecil.
1749-11 Desember
Susuhunan Paku Buwono II menandatangani penyerahan kedaulatan Mataram kepada
VOC. Namun secara de facto Mataram baru dapat ditundukkan sepenuhnya pada 1830.
12 Desember Di Yogyakarta, P. Mangkubumi diproklamirkan sebagai Susuhunan Paku
Buwono oleh para pengikutnya. 15 Desember van Hohendorff mengumumkan Putra
Mahkota sebagai Susuhunan Paku Buwono III.
1752-Mangkubumi
berhasil menggerakkan pemberontakan di provinsi-provinsi Pasisiran [daerah
pantura Jawa] mulai dari Banten sampai Madura. Perpecahan Mangkubumi-RM Said.
1754-Nicolas Hartingh
menyerukan gencatan senjata & perdamaian. 23 September, Nota Kesepahaman
Mangkubumi-Hartingh. 4 November, PB III meratifikasi nota kesepahaman. Batavia
walau keberatan tak punya pilihan lain selain meratifikasi nota yg sama.
1755-13 Februari
Puncak perpecahan terjadi, ditandai dengan Perjanjian Giyanti yg membagi
Kerajaan Mataram menjadi dua, yaitu Kesunanan Surakarta & Kesultanan
Yogyakarta. Pangeran Mangkubumi menjadi Sultan atas Kesultanan Yogyakarta
dengan gelar “Ingkang Sinuwun Kangjeng Sultan Hamengku Buwono Senopati
Ing-Ngalaga Ngabdurakhman Sayidin Panatagama Khalifatullah” atau lebih populer
dengan gelar Sri Sultan Hamengku Buwono I.
1757-Perpecahan
kembali melanda Mataram. Perjanjian Salatiga, perjanjian yg lebih lanjut
membagi wilayah Kesultanan Mataram yg sudah terpecah, ditandatangani pada 17
Maret 1757 di Kota Salatiga antara Raden Mas Said [Pangeran Sambernyawa] dengan
Sunan Paku Buwono III,VOC & Sultan Hamengku Buwono I. Raden Mas Said
diangkat sebagai penguasa atas sebuah kepangeranan, Praja Mangkunegaran yg
terlepas dari Kesunanan Surakarta dengan gelar “Kanjeng Gusti Pangeran Adipati
Arya Mangku Nagara Senopati Ing Ayudha”.
1788-Susuhunan Paku
Buwono III mangkat.
1792-Sultan Hamengku
Buwono I wafat.
1795-KGPAA Mangku
Nagara I meninggal.
1799-Voc dibubarkan
1813-Perpecahan
kembali melanda Mataram. P. Nata Kusuma diangkat sebagai penguasa atas sebuah
kepangeranan, Kadipaten Paku Alaman yg terlepas dari Kesultanan Yogyakarta
dengan gelar “Kangjeng Gusti Pangeran Adipati Paku Alam”.
1830-Akhir perang
Diponegoro. Seluruh daerah Manca nagara Yogyakarta & Surakarta dirampas Belanda.
27 September, Perjanjian Klaten menentukan tapal yg tetap antara Surakarta
& Yogyakarta & membagi secara permanen Kerajaan Mataram ditandatangani
oleh Sasradiningrat, Pepatih Dalem Surakarta, & Danurejo, Pepatih Dalem
Yogyakarta. Mataram secara de facto & de yure dikuasai oleh Hindia Belanda.
SEJARAH KEJAYAAN KESULTANAN CIREBON, 1445–1677, KESULTANAN PAKUNGWATI CIREBON
Menurut Sulendraningrat yg mendasarkan pada naskah Babad Tanah Sunda
& Atja pada naskah Carita Purwaka Caruban Nagari, Cirebon pada awalnya
ialah sebuah dukuh kecil yg dibangun oleh Ki Gedeng Tapa, yg lama-kelamaan
berkembang menjadi sebuah desa yg ramai & diberi nama Caruban [Bahasa
Sunda: campuran], karena di sana bercampur para pendatang dari berbagai macam
suku bangsa, agama, bahasa, adat istiadat, & mata pencaharian yg
berbeda-beda untuk bertempat tinggal atau berdagang.
Mengingat pada awalnya sebagian
besar mata pencaharian masyarakat ialah sebagai nelayan, maka berkembanglah
pekerjaan menangkap ikan & rebon [udang kecil] di sepanjang pantai serta
pembuatan terasi, petis, & garam. Dari
istilah air bekas pembuatan terasi [belendrang] dari udang rebon inilah
berkembanglah sebutan cai-rebon [Bahasa Sunda:, air rebon] yg kemudian menjadi
Cirebon.
Dengan dukungan pelabuhan yg
ramai & sumber daya alam dari pedalaman, Cirebon kemudian menjadi sebuah
kota besar & menjadi salah satu pelabuhan penting di pesisir utara Jawa
baik dlm kegiatan pelayaran & perdagangan di kepulauan Nusantara maupun
dengan bagian dunia lainnya. Selain itu, Cirebon tumbuh menjadi cikal bakal
pusat penyebaran agama Islam di Jawa Barat.Kesultanan Cirebon ialah sebuah kesultanan Islam ternama
di Jawa Barat pada abad ke-15 & 16 Masehi, & merupaken pangkalan
penting dlm jalur perdagangan & pelayaran antar pulau.
Lokasinya di pantai utara pulau Jawa yg merupaken perbatasan antara
Jawa Tengah & Jawa Barat, membuatnya menjadi pelabuhan & “jembatan”
antara kebudayaan Jawa & Sunda sehingga tercipta suatu kebudayaan yg khas,
yaitu kebudayaan Cirebon yg tak didominasi kebudayaan Jawa maupun kebudayaan
Sunda.
Ki Gedeng Alang-Alang
Kuwu atau kepala desa Caruban yg
pertama yg diangkat oleh masyarakat baru itu ialah Ki Gedeng Alang-alang.
Sebagai Pangraksabumi atau wakilnya, diangkatlah Raden
Walangsungsang, yaitu putra Prabu Siliwangi & Nyi Mas Subanglarang atau
Subangkranjang, yg tak lain ialah puteri dari Ki Gedeng Tapa. Setelah Ki Gedeng
Alang-alang wafat, Walangsungsang yg juga bergelar Ki Cakrabumi diangkat menjadi penggantinya sebagai
kuwu yg kedua, dengan gelar Pangeran Cakrabuana.
Ki Gedeng Tapa
Ki Gedeng Tapa [atau juga dikenal
dengan nama Ki Gedeng Jumajan
Jati] ialah seorang saudagar kaya di pelabuhan Muarajati, Cirebon. Ia
mulai membuka hutan ilalang & membangun sebuah gubug & sebuah tajug
[Jalagrahan] pada tanggal 1 Syura 1358 [tahun Jawa] bertepatan dengan tahun
1445 Masehi. Sejak saat itu, mulailah para pendatang mulai menetap &
membentuk masyarakat baru di desa Caruban.
Masa Kesultanan Cirebon [Pakungwati]
Pangeran Cakrabuana […. –1479]
Pangeran Cakrabuana ialah
keturunan Pajajaran.
Putera pertama Sri Baduga Maharaja Prabu
Siliwangi dari istrinya
yg kedua bernama SubangLarang [puteri Ki Gedeng Tapa]. Nama kecilnya ialah
Raden Walangsungsang, sesudah remaja dikenal dengan nama Kian Santang. Ia
mempunyai dua orang saudara seibu, yaitu Nyai Lara Santang/ Syarifah Mudaim
& Raden Sangara. Sebagai anak sulung & laki-laki ia tak mendapatkan
haknya sebagai putera mahkota Pakuan Pajajaran. Hal ini disebabkan oleh karena
ia memeluk agama Islam [diturunkan oleh Subanglarang-ibunya], sementara saat
itu [abad 16] ajaran agama mayoritas di Pajajaran ialah Sunda Wiwitan [agama
leluhur orang Sunda] Hindu & Budha. Posisinya digantikan oleh adiknya,
Prabu Surawisesa, anak laki-laki Prabu Siliwangi dari istrinya yg ketiga Nyai Cantring
Manikmayang.
Ketika kakeknya Ki Gedeng Tapa yg penguasa pesisir utara Jawa
meninggal, Walangsungsang tak meneruskan kedudukan kakeknya, melainkan lalu
mendirikan istana Pakungwati & membentuk pemerintahan di Cirebon. Dengan
demikian, yg dianggap sebagai pendiri pertama Kesultanan Cirebon ialah
Walangsungsang atau Pangeran Cakrabuana. Pangeran Cakrabuana, yg usai
menunaikan ibadah haji kemudian disebut Haji Abdullah Iman, tampil sebagai
“raja” Cirebon pertama yg memerintah dari keraton Pakungwati & aktif menyebarkan
agama Islam kepada penduduk Cirebon.
Sunan Gunung Jati [1479-1568]
Pada tahun 1479 M, kedudukannya
kemudian digantikan putra adiknya, Nyai Rarasantang dari hasil perkawinannya
dengan Syarif Abdullah dari Mesir, yakni Syarif Hidayatullah [1448-1568] yg
sesudah wafat dikenal dengan sebutan Sunan Gunung Jati dengan gelar Tumenggung
Syarif Hidayatullah bin Maulana Sultan Muhammad Syarif Abdullah & bergelar
pula sebagai Ingkang Sinuhun Kangjeng Susuhunan Jati Purba Panetep Panatagama
Awlya Allah Kutubid Jaman Khalifatur Rasulullah. Pertumbuhan & perkembangan
yg pesat pada Kesultanan Cirebon dimulailah oleh Syarif Hidayatullah atau Sunan
Gunung Jati. Sunan Gunung Jati kemudian diyakini sebagai pendiri dinasti
raja-raja Kesultanan Cirebon & Kesultanan
Banten serta penyebar
agama Islam di Jawa Barat seperti Majalengka, Kuningan, Kawali [Galuh], Sunda
Kelapa, & Banten.
Fatahillah [1568-1570]
Kekosongan pemegang kekuasaan itu kemudian diisi dengan mengukuhkan
pejabat keraton yg selama Sunan Gunung Jati melaksanakan tugas dakwah,
pemerintahan dijabat oleh Fatahillah atau Fadillah Khan. Fatahillah kemudian
naik takhta, & memerintah Cirebon secara resmi menjadi raja sejak tahun
1568. Fatahillah menduduki takhta kerajaan Cirebon hanya berlangsung dua tahun
karena ia meninggal dunia pada tahun 1570, dua tahun sesudah Sunan Gunung Jati
wafat & dimakamkan berdampingan dengan makam Sunan Gunung Jati di Gedung
Jinem Astana Gunung Sembung.
Panembahan Ratu I [1570-1649]
Sepeninggal Fatahillah, oleh karena tak ada calon lain yg layak
menjadi raja, takhta kerajaan jatuh kepada cucu Sunan Gunung Jati yaitu
Pangeran Emas putra tertua Pangeran Dipati Carbon atau cicit Sunan Gunung Jati.
Pangeran Emas kemudian bergelar Panembahan Ratu I & memerintah Cirebon
selama kurang lebih 79 tahun.
Panembahan Ratu II [1649-1677]
Setelah Panembahan Ratu I meninggal dunia pada tahun 1649,
pemerintahan Kesultanan Cirebon dilanjutkan oleh cucunya yg bernama Pangeran
Rasmi atau Pangeran Karim, karena ayah Pangeran Rasmi yaitu Pangeran Seda ing Gayam
atau Panembahan Adiningkusumah meninggal lebih dahulu. Pangeran Rasmi kemudian
menggunakan nama gelar ayahnya almarhum yakni Panembahan Adiningkusuma yg
kemudian dikenal pula dengan sebutan Panembahan Girilaya atau Panembahan Ratu
II.
Panembahan Girilaya pada masa pemerintahannya terjepit di antara dua
kekuatan kekuasaan, yaitu Kesultanan Banten & Kesultanan Mataram. Banten
merasa curiga sebab Cirebon dianggap lebih mendekat ke Mataram [Amangkurat I
ialah mertua Panembahan Girilaya]. Mataram dilain pihak merasa curiga bahwa
Cirebon tak sungguh-sungguh mendekatkan diri, karena Panembahan Girilaya &
Sultan Ageng Tirtayasa dari Banten ialah sama-sama keturunan Pajajaran. Kondisi
ini memuncak dengan meninggalnya Panembahan Girilaya di Kartasura &
ditahannya Pangeran Martawijaya & Pangeran Kartawijaya di Mataram.
Panembahan Girilaya ialah menantu Sultan Agung Hanyakrakusuma dari
Kesultanan Mataram. Makamnya di Jogjakarta, di bukit Girilaya, dekat dengan
makam raja raja Mataram di Imogiri, Kabupaten Bantul. Menurut beberapa sumber
di Imogiri maupun Girilaya, tinggi makam Panembahan Girilaya ialah sejajar
dengan makam Sultan Agung di Imogiri.
KESULTANAN
BANTEN
Kesultanan Banten mencapai puncak kejayaannya pada masa pemerintahan Abu
Fath Abdul Fatah atau lebih dikenal dengan nama Sultan Ageng Tirtayasa. Saat
itu Pelabuhan Banten telah menjadi pelabuhan internasional, sehingga
perekonomian kesultanan itu maju pesat.
Wilayah kekuasaannya pun semakin meluas, meliputi sisa kerajaan Sunda yang tidak direbut kesultanan Mataram dan serta wilayah yang sekarang menjadi Provinsi Lampung.
Kesultanan Banten mengadakan hubungan dengan negara-negara lain melalui jalur laut. Pengiriman pejabat ke berbagai negara seringkali dilakukan pada masa pemerintahan Sultan Ageng Tirtayasa. Inilah masa keemasan Kesultanan Banten.
Wilayah kekuasaannya pun semakin meluas, meliputi sisa kerajaan Sunda yang tidak direbut kesultanan Mataram dan serta wilayah yang sekarang menjadi Provinsi Lampung.
Kesultanan Banten mengadakan hubungan dengan negara-negara lain melalui jalur laut. Pengiriman pejabat ke berbagai negara seringkali dilakukan pada masa pemerintahan Sultan Ageng Tirtayasa. Inilah masa keemasan Kesultanan Banten.
Sultan Ageng Tirtayasa sempat mengirimkan dua orang utusannya ke
Inggris sebagai duta besar yang ditugasi juga membeli senjata. Selain itu,
sultan menggalang hubungan baik dengan Aceh, Makassar, India, Mongol, Turki,
dan Arab.
Para penguasa Banten yang pergi ke Arab untuk menunaikan haji dan ke
Inggris untuk menunaikan tugas sebagai utusan, menggunakan kapal milik pedagang
Inggris.
Sebagai sultan ke-6, Sultan Ageng Tirtayasa, tegas menentang segala bentuk penjajahan bangsa asing atas negaranya. Ia tidak pernah berkeinginan untuk berkompromi dengan Belanda. Pada 1645 hubungan Banten dengan Belanda semakin panas.
Sebagai sultan ke-6, Sultan Ageng Tirtayasa, tegas menentang segala bentuk penjajahan bangsa asing atas negaranya. Ia tidak pernah berkeinginan untuk berkompromi dengan Belanda. Pada 1645 hubungan Banten dengan Belanda semakin panas.
Pada 1656 pasukan Banten bergerilya di sekitar Batavia. Setahun
kemudian, Belanda menawarkan perjanjian damai. Lantaran perjanjian itu hanya
menguntungkan Belanda, sultan Banten menolaknya. Pada 1580 meletuslah perang
besar antara Banten dan Belanda.
Perang itu berakhir pada 10 Juli 1659 dengan ditandai penandatanganan perjanjian gencatan senjata. Sultan Ageng Tirtayasa memiliki putra mahkota yang bernama Abdul Kohar. Ia diangkat menjadi putra mahkota pada tanggal 16 Februari 1671 dengan gelar Sunan Abu'n Nasr Abdul Kohar yang dikenal sebagai Sultan Haji.
Perang itu berakhir pada 10 Juli 1659 dengan ditandai penandatanganan perjanjian gencatan senjata. Sultan Ageng Tirtayasa memiliki putra mahkota yang bernama Abdul Kohar. Ia diangkat menjadi putra mahkota pada tanggal 16 Februari 1671 dengan gelar Sunan Abu'n Nasr Abdul Kohar yang dikenal sebagai Sultan Haji.
Putra mahkota inilah yang menjadi jalan bagi Belanda untuk mengadu domba
sultan dengan putranya sendiri. Sultan Haji menginginkan perdamaian dengan
Belanda dengan mengirimkan surat pada 1680 dan menyatakan bahwa ia adalah
penguasa Banten sepenuhnya, bukan lagi Sultan Ageng Tirtayasa.
Pada 26 Februari 1682, Sultan Ageng Tirtayasa menyerbu Surosowan tempat Sultan Haji berkedudukan. Serangan tersebut berhasil, namun kemudian Surosowan direbut oleh Belanda di bawah pimpinan Kapten Tack. Pemerintahan Banten selanjutnya dipegang oleh Sultan Haji.
Setelah Sultan Haji meninggal, terjadilah perebutan kekuasaan di antara anak-anaknya, akibat campur tangan dari Belanda. Sejak saat itu terjadi gonta-ganti sultan dan Kesultanan Banten mulai mengalami kemunduran.
Puncak kehancuran terjadi pada masa Kesultanan Banten diperintah oleh
Sultan Muhammad Syarifuddin. Ia dipaksa turun tahta dan Kesultanan Banten
dihapus oleh pemerintahan Inggris yang menggantikan Belanda di Banten di bawah
pemerintahan Gubernur Jenderal Raffles. Sejak itulah Kesultanan Banten hilang dan
hanya meninggalkan jejaknya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar