UPACARA-UPACARA TRADISIONAL
DI LOMBOK
1. UPACARA
REBO BONTONG
Upacara Rebo bontong dimaksudkan untuk
menolak bala (bencana/penyakit), dilaksanakan setiap tahun sekali tepat pada
hari Rabu minggu terakhir bulan Safar. Menurut kepercayaan masyarakat Sasak bahwa
pada hari Rebo Bontong adalah merupakan puncak terjadi Bala (bencana/penyakit),
sehingga sampai sekarang masih dipercaya untuk memulai suatu pekerjaan tidak
diawali pada hari Rebo Bontong. Rebo Bontong ini mengandung arti Rebo dan
Bontong yang berarti putus sehingga bila diberi awalan pe menjadi pemutus.
Upacara Rebo Bontong ini sampai sekarang masih tetap dilaksanakan oleh
masyarakat di Kecamatan Pringgabaya.
Sebagian
masyarakat di Pulau Lombok, Nusa Tenggara Barat (NTB), menggelar tradisi "Rebo Bontong"
atau tradisi mandi bersama di kali yang dilaksanakan setiap tahun pada Rabu
terakhir bulan Safar.
Seorang
tokoh masyarakat Dasan Agung, Kota Mataram, H Rohiman di Mataram, Selasa,
mengatakan, tradisi Rebo Bontong atau mandi Safar tersebut dilaksanakan di
beberapa tempat di Pulau
Lombok, antara lain di Dasan Agung (Kota Mataram), Pantai
Tanjung Menangis, Kecamatan Pringgabaya dan Lombok Timur dan di Desa Kuranji,
Kecamatan Labuapi, Lombok Barat.
Khusus
di Desa Kuranji, Kecamatan Labuapi ritual Rebo Bontong dilakukan dengan mandi
bersama di sebuah sumur desa yang dikeramatkan.
Tradisi
Rebo Bontong di Mataram dilaksanakan dengan cara mandi bersama di Sungai
(Kokoq) Jangkuk yang dimulai Rabu siang hingga sore, pada setiap perayaan mandi
Safar tersebut sepanjang kali Jangkuk dibanjiri masyarakat baik tua maupun muda
untuk melakukan ritual
mandi bersama.
Menurut
Rohiman, ritual mandi bersama pada perayaan Rebo Bontong merupakan tradisi yang
dilaksanakan secara turun temurun sejak ratusan tahun silam yang diniatkan
untuk menyucikan badan menyambut perayaan Maulid nabi Besar Muhammad SAW.
"Mandi
bersama pada Rabu terakhir bulan Safar atau Rebo Bontong ini memiliki arti
sakral bagi sebagian masyarakat Lombok, karena mandi dimaksudkan untuk
membersihkan dan menyucikan diri dari segala dosa dan salah," katanya.
Ia
mengatakan, jiwa dan raga harus suci sebelum memasuki perayaan Maulid Nabi
Besar Muhammad SAW, karena itu pada Rabu terakhir bulan Safar dilaksanakan
ritual mandi bersama.
Tradisi
Rebo Bontong juga merupakan sebuah nilai lokal yang menjadi ciri khas muslim
Sasak di Lombok, di beberapa provinsi lain di Indonesia tradisi tersebut
dikenal dengan Mandi Safar
Tradidi
serupa juga dilaksanakan oleh masyarakat di Kabupaten Kotawaringin Timur,
Kalimantan Tengah, yang dikenal dengan tradisi mandi Safar yang dilakukan
dengan mandi bersama di Sungai Mentaya Sampit yang juga dilaksanakan pada Rabu
terakhir bulan Safar.
2. UPACARA BAU NYALE
upacara Bau Nyale merupakan sebuah peristiwa dan tradisi yang sangat melegenda dan mempunyai
nilai sakral tinggi bagi Suku Sasak, Suku asli Pulau Lombok. Keberadaan
pesta bau nyale ini berkaitan erat dengan sebuah cerita rakyat yang berkembang di daerah Lombok Tengah bagian selatan.
Putri Mandalika, seorang putri cantik jelita yang
menjelma menjadi cacing nyale dan muncul sekali dalam setahun di Pantai Lombok.
Siapa sangka cacing nyale yang diperebutkan dan dicari-cari setiap tahun oleh
masyarakat Lombok ini adalah jelmaan dari seorang putri yang sangat cantik yang
jaman dahulu diperebutkan oleh pangeran-pangeran dari berbagai kerajaan di
Lombok.
Putri Mandalika adalah putri dari pasangan Raja Tonjang
Beru dan Dewi Seranting. Raja ini terkenal karena kebijaksanaannya sehingga
rakyatnya sangat mencintainya karena mereka hidup makmur. Putri Mandalika hidup
dalam suasana kerajaan dan dihormati hingga dia menginjak dewasa.
Saat dewasa Putri Mandalika tumbuh menjadi seorang gadis
yang sangat cantik dan mempesona. Kecantikannya tersebar hingga ke seluruh
Lombok sehingga Pangeran-Pangeran dari berbagai Kerajaan seperti Kerajaan
Johor, Kerajaan Lipur, Kerajaan Pane, Kerajaan Kuripan, Kerajaan Daha, dan
kerajaan Beru berniat untuk mempersuntingnya.
Mengetahui hal tersebut ternyata membuat sang Putri
menjadi gusar, karena jika dia memilih satu diantara mereka maka akan terjadi
perpecahan dan pertempuran di Gumi Sasak. Bahkan ada beberapa kerajaan yang
memasang senggeger agar Sang Putri jatuh hati padanya. Namun hal ini malah
membuat sang Putri makin gusar.
Setelah berpikir panjang, akhirnya sang Putri memutuskan
untuk mengundang seluruh pangeran beserta rakyat mereka untuk bertemu di Pantai
Kuta Lombok pada tanggal 20 bulan ke 10 menurut perhitungan bulan Sasak
tepatnya sebelum Subuh. Undangan tersebut disambut oleh seluruh pangeran
beserta rakyatnya sehingga tepat pada tanggal tersebut mereka berduyun-duyun
menuju lokasi undangan.
Setelah beberapa saat akhirnya Sang Putri Mandalika muncul
dengan diusung oleh prajurit-prajurit yang menjaganya. Kemudian dia berhenti
dan berdiri di sebuah batu dipinggir pantai. Setelah mengatakan niatnya untuk
menerima seluruh pangeran dan rakyat akhirnya Sang Putri pun meloncat ke dalam
laut. Seluruh rakyat yang mencarinya tidak menemukannya. Setelah beberapa saat
akhirnya datanglah sekumpulan Cacing berwarna-warni yang menurut masyarakat
dipercaya sebagai jelmaan Putri Mandalika
2.
UPACARA
SORONG SERAH AJI KERAMA
Adat
perkawinan pada masyarakat Lombok Timur dikaitkan dengan upacara adat sorong
serah aji kerama. Seorang pemuda (terune) dapat memperoleh seorang istri
berdasarkan adat dengan dua cara yaitu: pertama dengan soloh (meminang kepada
keluarga si gadis); kedua dengan cara merariq (melarikan si gadis), Setelah
salah satu cara sudah dilakukan, maka keluarga pria akan melakukan tata cara
perkawinan sesuai adat Sasak.
http://lomboktimurkab.go.id/files/sorong1.jpgUpacara
perkawinan Lombok Timur sering dikaitkan dengan upacara adat perkawinan sorong
serah aji kerama yang merupakan salah satu tradisi yang ada sejak zaman dahulu
dan telah melekat dengan kuat serta utuh didalam tatanan kehidupan masyarakat
suku Sasak Lombok Timur, bahkan beberapa kalangan masyarakat baik itu tokoh
agama dan tokoh masyarakat adat itu sendiri menyatakan bahwa jika tidak
melaksanakan upacara adat ini akan menjadi aib bagi keluarga dan masyarakat
setempat.
Sorong
serah berasal dari kata sorong yang berarti mendorong dan serah yang berarti
menyerahkan, jadi sorong serah merupakan suatu pernyataan persetujuan kedua
belah pihak baik dari pihak perempuan maupun pihak laki-laki dalam prosesi
suatu perkawinan antara terune (jejaka) dan dedare (gadis).
Upacara
sorong serah ini merupakan salah satu rangkaian upacara terpenting pada prosesi
perkawinan adat Sasak di Lombok Timur. Adapun prosesi perkawinan secara lengkap
adalah sebagai berikut:
Mesejati
Mengandung arti bahwa dari pihak laki-laki
mengutus beberapa orang tokoh masyarakat setempat atau tokoh adat untuk
melaporkan kepada kepala desa atau keliang/kepala dusun untuk mempermaklumkan
mengenai perkawinan tersebut tentang jati diri calon pengantin laki-laki dan
selanjutnya melaporkan kepada pihak keluarga perempuan.
Selabar
Mengandung maksud untuk memper maklumkan
kepada pihak keluarga calon pengantin perempuan yang ditindaklanjuti dengan
pembicaraan adat istiadatnya meliputi aji kerama yang terdiri dari nilai-nilai
33-66-100 dengan dasar penilaian uang kepeng bolong atau kepeng jamaq, bahkan
kadang-kadang acara selabar ini dirangkaikan dengan permintaan wali sekaligus.
Mengambil Wali
Yang dimaksud dengan mengambil wali adalah
mengambil wali dari pihak perempuan bisa langsung pada saat selabar atau
beberapa hari setelah pelaksanaan selabar dan hal ini tergantung dari
kesepakatan dua belah pihak (kapisuka)
Mengambil
Janji
Dalam pelaksanaan mengambil janji ini adalah
membicarakan seputar sorong serah dan aji kerama sesuai dengan adat istiadat
yang berlaku di dalam desa atau kampung asal calon mempelai perempuan.
Sorong Serah
pelaksanaan sorong serah ini adalah
pengumuman resmi acara perkawinan seorang laki-laki dan seorang perempuan yang
disertai dengan penyerahan peralatan mempelai pihak laki-laki atau yang dikenal
dengan nama ajen-ajen.
Nyongkolan
Dalam pelaksanaan nyongkolan keluarga pihak
laki-laki disertai oleh kedua mempelai mengunjungi pihak keluarga perempuan
yang diiringi oleh kerabat dan handai taulan dengan mempergunakan pakaian adat
diiringi gamelan bahkan gendang beleq.
Balik Lampak
Merupakan salah satu tradisi untuk berkunjung
ke rumah orang tua perempuan secara khusus bersama kedua orang tua pihak
laki-laki.
4. UPACARA MALEMAN QUNUT DAN MALEMAN
LIKURAN
1. Asal-Usul
Malam-malam pada bulan Ramadhan merupakan malam-malam
yang penuh dengan berkah Allah SWT. Karena hal tersebut, maka banyak cara yang dilakukan oleh umat Islam agar mendapatkan berkah
Ramadhan, diantaranya adalah apa yang dilakukan oleh penganut Islam di Lombok,
Nusa Tenggara Barat, Indonesia. Sebagaimana banyak ditulis dalam buku-buku yang
mengkaji Islam di Lombok, bahwa secara garis besar di Lombok terdapat dua kelompok
besar Islam, yaitu Islam Wetu Telu dan Islam Waktu Lima. Kedua
kelompok tersebut mempunyai tatacara yang berbeda dalam mengekspresikan
pemahaman mereka terhadap Islam.
Perbedaan
di antara kedua kelompok tersebut dapat dilihat, misalnya, dalam melaksanakan
Shalat tarawih. Di kalangan Waktu Lima Shalat tarawih dilakukan oleh
semua orang laki-laki dan perempuan, tua dan muda, orang biasa maupun tokoh
agama. Setiap orang Islam boleh ikut Shalat bersama yang diselenggarakan setiap
habis Shalat Isya’. Karena tarawih adalah Shalat sunnah (dianjurkan), maka
tidaklah berdosa apabila ditinggalkan, tetapi karena pahala yang dijanjikan
oleh Allah begitu besar maka walaupun tidak dapat hadir ke Masjid untuk
melaksanakan Shalat tarawih berjamaah, sebagian orang Waktu Lima
melakukannya sendirian di rumah.
Berbeda
dengan kelompok Islam Waktu Lima, kelompok Islam Wetu Telu mempunyai
expresi yang berbeda dalam menyikapi anjuran melaksanakan Shalat tarawih.
Kelompok Islam Wetu Telu juga melaksanakan Shalat tarawih sejak permulaan
hingga akhir bulan ramadhan, hanya saja terbatas kepada para Kiainya
saja dan hanya diselenggarakan di Masjid Kuno. Masjid Kuno merupakan tempat
peribadatan eksklusif bagi para Kiai saja. Orang awam, pemangku dan para
wanita tidak diperbolehkan ikut Shalat. Bahkan, secara khusus, wanita dilarang
memasuki masjid Kuno karena darah haid para wanita dikhawatirkan dapat
mengotori tempat itu. Nampaknya karena alasan tersebut orang-orang selain dari
kelompok Kiai tidak melaksanakan Shalat tarawih. Bahkan tidak ada yang
diperbolehkan masuk Masjid Kuno kecuali penyilak (semacam pembawa acara)
yang bertugas menyampaikan tujuan suatu upacara dan seorang pria yang bertugas
mengantar makanan ritual ke dalam Masjid Kuno.
Pada
malam bulan Ramadhan, selain pelaksanaan Shalat tarawih, kelompok Islam Wetu
Telu mengadakan ritual-ritual yang lain diantaranya adalah upacara Maleman
Qunut dan Maleman Likuran. Pelaksanaan kedua upacara tersebut antara
Waktu Lima dan Wetu Telu juga berbeda. Upacara-upacara yang
dilakukan oleh kelompok Wetu Telu selalu diakhiri dengan acara
makan-makan, sedangkan kelompok Islam Waktu Lima lebih berorientasi pada
ibadah sunnah misalnya i’tikaf pada 10 hari terakhir dan sebagainya.
Dengan kata lain, apa yang dilakukan oleh kelompok Islam Waktu Lima sama
dengan kelompok-kelompok Islam lainnya. Berdasarkan hal tersebut, maka fokus
penulisan tata ritual Maleman Qunut dan Maleman Likuran
adalah ritual yang dilakukan oleh kelompok Islam Wetu Telu.
3.
Peralatan
dan Tempat pelaksanaan
Kelompok Wetu Telu
melaksanaan upacara Maleman Qunut dan Maleman Likuran secara
eksklusif di Masjid Kuno, sama seperti pelaksanaan tarawihnya, sedangkan
kelompok Islam Waktu Lima di seluruh masjid yang ada.
Mesjid Kuno tempat dilaksanakannya Malemam Qunut dan Maleman
Likuran
Adapun
peralatan yang dibutuhkan untuk melaksanakan upacara Maleman Qunut dan Maleman
Likuran diantaranya adalah:
- Ancak adalah piring anyaman bambu yang ditutupi daun pisang. Jumlah ancak disesuikan dengan hitungan malam pelaksanaannya, misalnya malam 21 berarti dua puluh satu ancak, demikian seterusnya sampai malam ke-29 dengan dua puluh sembilan ancak.
- Daun pisang sebagai penutup ancak.
- Lelukon ( bahan lekesan atau sesajen) ditempatkan di atas daun penutup ancak dan diikat dengan tali bamboo.
- Sampak adalah piring yang terbuat dari tanah.
- Nasi dan lauk pauknya.
- Ketan.
- Santan kelapa.
- Gula merah.
3. Tata Laksana/Pelaksanaan
Pelaksanaan upacara Maleman Qunut dan Maleman
Likuran pada hakekatnya sama, yaitu makan bersama. Oleh karena itu agar
tidak terjadi pengulangan penulisan, maka
dalam tulisan ini hanya akan dijelaskan pelaksanaan upacara Meleman Likuran.
Namun agar semua sapek ritual ini dapat dikaji secara lebih komprehensif,
maka pelaksanaan Shalat tarawih yang didalamnya terdapat upacara Maleman
Qunut dan Maleman Likuran terlebih dahulu akan dijelaskan sebagai
berikut:
- Setelah waktu Mangrib berlalu, para Kiai kelompok Islam Wetu Telu berkumpul di Masjid Kuno.
- Setelah semua Kiai berkumpul di Masjid Kuno, termasuk Kiai-Kiai yang bertempat tinggal jauh dari masjid, barulah Shalat tarawih dimulai. Karena hal tersebut, seringkali pelaksanaan Shalat tarawih terlambat karena harus menunggu Kiai-Kiai dari daerah yang jaraknya sangat jauh. Namun demikian, penghulu seringkali memulai tarawih kalau Kiai yang hadir dianggap sudah cukup. Karena kalau harus lebih lama lagi menunggu sampai semua orang hadir, maka konsekuensinya pelaksanaan Shalat akan sangat terlambat.
- Pada malam ke-16 Ramadhan, mereka mengadakan Maleman Qunut. Artinya pada Shalat witir ditambah dengan doa qunut. Setelah itu ditutup dengan acara makan bersama.
Setelah
memasuki malam keduapuluh satu, kelompok Wetu Telu mempunyai dua
macam ritual yaitu Maleman Likuran dan Sedekah Maleman Likuran.
Adapun pelaksanaan kedua ritual tersebut adalah sebagai berikut:
a.
Maleman Likuran
Memasuki
malam ke-21, orang-orang Islam Wetu Telu mengadakan Maleman Likuran.
Upacara tersebut diadakan pada malam-malam ganjil diantaranya Maleman Selikur
(malam ke-21), Maleman Telulikur (malam ke-23), Maleman Selae (malam
ke-25), Maleman Pitulikur (malam ke-27), dan Maleman Siwak Likur (malam
ke-29). Pada setiap malam ganjil tersebut, masing-masing pemuka adat secara
bergantian membawa ancak ke Masjid Kuno.
- Penghulu adalah orang pertama yang membawa ancak sebanyak 21 ancak. Jumlah ancak disesuaikan tanggal malam bulan Ramadhannya, misalnya jumlah ancak 21 menunjuk pada malam ke-21 bulan Ramadhan. Setelah itu, setiap pemangku membawa ancak sejumlah Maleman Likuran tersebut.
- Seperti biasanya para Kiai tersebut melaksanakan Shalat Isyak dan tarawih
- Setelah selesai petugas pembawa ancak membawa masuk ancak-ancak tersebut ke dalam Masjid Kuno.
- Selanjutnya penyilak menyampaikan maksud dari keberadaan ancak-ancak tersebut.
- Setelah itu, para Kiai memakan suguhan yang ada dalam ancak-ancak tersebut.
- Makanan yang tersisa mereka bawa pulang sebagai berkat.
- Setelah pulang, maka berakhir sudah acara Maleman Likuran.
b.
Sedekah Maleman Likuran
Malam likuran pada bulan Ramadhan dengan bilangan
genap (22, 24, 26, dan 28) juga dirayakan dengan makan bersama oleh para Kiai.
Perayaan ini disebut Sedekah Maleman Likuran. Suguhan dalam upacara, sampak,
ini disediakan secara bergantian oleh para tokoh adat. Sampak berisi
segala macam makanan manis yang terbuat dari ketan, santan dan gula merah. Sedekah
Maleman Likuran sama dengan pelaksanaan Maleman Likuran dan makan
bersama menandai perayaan ritual Sedekah Maleman Likuran sudah berakhir.
5.-UPACARA ADAT NGAYU-AYU
Upacara
adat Ngayu-ayu yang dipusatkan di lapangan umum Desa Sembalun Bumbung Kecamatan
Sembalun Kabupaten Lombok Timur provinsi Nusa Tenggara Barat pada Kamis
(6/6/2013), ditandai dengan saling lempar ketupat (perang topat).
Upacara
ini dihadiri tamu dari dalam maupun luar daerah, diantaranya Kesultanan Aceh
Darussalam, Raja Bali, Dompu, Sulawesi Selatan, Kutai serta para wisatawan
lokal dan mancanegara.
Adat Ngayu-ayu, seperti juga acara tradisi lain, mengandung simbol-simbol yang sebenarnya merupakan upaya mencintai alam, diri sendiri, dan upaya mensyukuri nikmat Ilahi. Air misalnya, sebagai lambang kehidupan. Tanpa air, mustahil seluruh isi jagat raya ini bisa tumbuh dan berkembang.
Adat Ngayu-ayu, seperti juga acara tradisi lain, mengandung simbol-simbol yang sebenarnya merupakan upaya mencintai alam, diri sendiri, dan upaya mensyukuri nikmat Ilahi. Air misalnya, sebagai lambang kehidupan. Tanpa air, mustahil seluruh isi jagat raya ini bisa tumbuh dan berkembang.
“Air
beserta sumbernya harus dilindungi,” kata salah seorang tokoh adat Sasak
(Lombok), Pe Rumedi.
Rumedi menjelaskan, aneka jajanan umumnya berwarna putih dan kuning, warna yang melambangkan kesucian dan keagungan. Boleh jadi, itu sebuah pesan bahwa bahan makanan yang diperoleh berasal dari rezeki yang halal.
Rumedi menjelaskan, aneka jajanan umumnya berwarna putih dan kuning, warna yang melambangkan kesucian dan keagungan. Boleh jadi, itu sebuah pesan bahwa bahan makanan yang diperoleh berasal dari rezeki yang halal.
Menurutnya,
empat perkara yang diajarkan Raden Harya Pati dan Raden Harya Mangujaya sebagai
manifestasi hubungan antarsesama manusia, antara manusia dengan Tuhan, dan
makhluk hidup dengan jagat raya. “Pesan ini juga tersirat dalam naskah
Jatiswara yang dibacakan pada malam Ngayu-ayu yang dilaksanakan sekali dalam
tiga tahun yaitu tanggal 5, 15, dan 25 Rajab. Interval waktu itulah kesempatan
petani mengevaluasi dan memperkirakan produktivitas lahan, ketersediaan air,
cuaca, serangan hama, dan penyakit untuk masa tanam berikutnya,” jelas Rumedi.
Masa
tanam padi tahun 2013, lanjut tokoh adat Sasak ini, dalam kalender tradisional
suku Sasak (masayarakat pulau Lombok), jatuh pada tahun Be yang diramalkan
curah hujan cukup besar namun kurang merata, ada serangan hama walau hasil
panen termasuk baik.
"Acara ini untuk menyambut musim tanam padi, tetapi manfaatnya sangat menentukan bagi kelangsungan tanaman pertanian secara keseluruhan," kata Pe Rumedi.
"Acara ini untuk menyambut musim tanam padi, tetapi manfaatnya sangat menentukan bagi kelangsungan tanaman pertanian secara keseluruhan," kata Pe Rumedi.
Sementara
itu, Bupati Lotim Sukiman Azmi dalam sambutannya menjelaskan, ada dua esensi
yang perlu dipetik dari upacara adat Ngayu -ayu yakni, komitmen bersama dalam
melestarikan nilai budaya dan kesungguhan hati dan perbuatan dalam menjaga
kelestarian alam.
Penetrasi nilai dan budaya luar, kata Bupati, begitu mudah masuk dalam era kehidupan global saat ini, terutama akibat kemajuan teknologi informasi dan komunkasi. Disatu sisi dapat memberikan kemudahan, namun di sisi lain, penggunaan teknologi yang tidak terkontrol merupakan salah satu pintu yang paling mudah dan kuat mempengaruhi perubahan cara pandang, pola pikir, dan sikap mental masyarakat, terutama di kalangan generasi muda.
Ketua Panitia, HM Kartip mengatakan, upacara adat Ngayu-ayu merupakan ajang silaturrahim antara masyarakat dan raja-raja atau Sultan di nusantara ini. “Sayangnya, tradisi yang sudah yang dilaksanakan sejak 653 tahun silam ini belum dikemas sebagai komoditi wisata,” kata Kartip.
Penetrasi nilai dan budaya luar, kata Bupati, begitu mudah masuk dalam era kehidupan global saat ini, terutama akibat kemajuan teknologi informasi dan komunkasi. Disatu sisi dapat memberikan kemudahan, namun di sisi lain, penggunaan teknologi yang tidak terkontrol merupakan salah satu pintu yang paling mudah dan kuat mempengaruhi perubahan cara pandang, pola pikir, dan sikap mental masyarakat, terutama di kalangan generasi muda.
Ketua Panitia, HM Kartip mengatakan, upacara adat Ngayu-ayu merupakan ajang silaturrahim antara masyarakat dan raja-raja atau Sultan di nusantara ini. “Sayangnya, tradisi yang sudah yang dilaksanakan sejak 653 tahun silam ini belum dikemas sebagai komoditi wisata,” kata Kartip.
Ngayu-ayu,
kata Katip, berasal dari kata Rahayu yang artinya Memohon Keselamatan. Prosesi
ini dimulai dengan pengambilan air dari 12 mata air menjelang waktu Maghrib,
sehari sebelum upacara digelar. Esoknya, tepat pukul 12.00 waktu setempat,
upacara dimulai dengan menyembelih seekor kerbau yang kepalanya ditanam di
sudut desa sebagai ungkapan tanda terima kasih kepada Tuhan Yang Maha Kuasa.
Setelah itu, dilanjutkan dengan prosesi Ngaturang Sesampang yang terdiri dari
sembilan lembar daun sirih dan pinang, yang artinya permohonan berkah.
Berikutnya,
lanjut Katip, adalah prosesi mapakin atau penyambutan air yang berasal dari 12
mata air yang dilengkapi 333 buah ketupat berbagai bentuk dan ukuran. Tak
tertinggal, jajanan yang menyerupai alat pertanian. Terakhir, air ini dibawa
dengan menggunakan umbaq atau tenunan khas Sasak yang ujungnya digantungi uang
bolong. Upacara berakhir setelah air dimasukkan ke Makam Reban Bande yang
dipercaya sebagai pahlawan pembunuh jin.
Acara
Ngayu-ayu tahun 2013 ini diakhiri dengan pemberian piagam penghargaan kepada
para tokoh budaya dan adat setempat yang telah berjasa menjaga dan melestarikan
adat dan kebudayaan tersebut.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar