KESULTANAN DI KALIMANTAN
Kesultanan Paser (1516).
Kesultanan Paser (yang sebelumnya bernama Kerajaan
Sadurangas) adalah sebuah kerajaan yang berdiri pada tahun 1516 dan dipimpin
oleh seorang wanita (Ratu I) yang dinamakan Putri Di Dalam Petung. Wilayah kekuasaan
kerajaan Sadurangas meliputi Kabupaten Paser yang ada sekarang, ditambah dengan
Kabupaten Penajam Paser Utara, Balikpapan dan Pamukan. Dalam tahun 1853
penduduk Kesultanan Paser 30.000 jiwa.
Nama
Penguasa
|
Gelar
|
Tahun
Berkuasa
|
Putri
Di Dalam Petung
|
1516-xxxx
|
|
Aji
Mas Anom Indra bin Aji Mas Pati Indra
|
||
Aji
Anom Singa Amulana bin Aji Mas Anom Indra
|
||
Aji
Perdana bin Aji Anom Singa Maulana
|
||
Aji
Duwo bin Aji Mas Anom Singa Maulana
|
||
Aji
Geger bin Aji Anom Singa Maulana
|
Sultan
Aji Muhammad Alamsyah (Sultan Pasir I)
|
|
La
Madukelleng
|
||
Aji
Negara bin Sultan Aji Muhammad Alamsyah
|
Sultan
Sepuh Alamsyah (Sultan Pasir II)
|
|
Aji
Dipati bin Panembahan Adam
|
Sultan
Dipati Anom Alamsyah (Sultan Pasir III)
|
|
Aji
Panji bin Ratu Agung
|
Sultan
Sulaiman Alamsyah (Sultan Pasir IV)
|
|
Aji
Sembilan bin Aji Muhammad Alamsyah
|
||
Aji
Karang bin Sultan Sulaiman Alamsyah
|
||
Aji
Adil bin Sultan Sulaiman Alamsyah
|
||
Aji
Tenggara bin Aji Kimas
|
||
Aji
Timur Balam
|
||
Pangeran
Nata bin Pangeran Dipati Sulaiman
|
||
Pangeran
Ratu bin Sultan Adam Alamsyah
|
||
Pangeran
Mangku Jaya Kesuma
|
Kesultanan Banjar
(1526-1905).
Kesultanan Banjar atau Kesultanan Banjarmasin (berdiri
1520, masuk Islam 24 September 1526, dihapuskan Belanda 11 Juni 1860,
pemerintahan darurat/pelarian berakhir 24 Januari 1905) adalah sebuah
kesultanan wilayahnya saat ini termasuk ke dalam provinsi Kalimantan Selatan,
Indonesia. Kesultanan ini semula beribukota di Banjarmasin kemudian dipindahkan
ke Martapura dan sekitarnya (kabupaten Banjar). Ketika beribukota di Martapura
disebut juga Kerajaan Kayu Tangi.
Ketika ibukotanya masih di Banjarmasin, maka kesultanan
ini disebut Kesultanan Banjarmasin. Kesultanan Banjar merupakan penerus dari
Kerajaan Negara Daha yaitu kerajaan Hindu yang beribukota di kota Negara,
sekarang merupakan ibukota kecamatan Daha Selatan, Hulu Sungai Selatan.
Kesultanan Kotawaringin. Kerajaan Kotawaringin adalah
sebuah kerajaan Islam (kepangeranan cabang Kesultanan Banjar) di wilayah yang
menjadi Kabupaten Kotawaringin Barat saat ini di Kalimantan Tengah yang menurut
catatan istana al-Nursari (terletak di Kotawaringin Lama) didirikan pada tahun
1615 atau 1530, dan Belanda pertama kali melakukan kontrak dengan Kotawaringin
pada 1637, tahun ini dianggap sebagai tahun berdirinya sesuai dengan Hikayat
Banjar dan Kotawaringin (Hikayat Banjar versi I) yang bagian terakhirnya saja
ditulis tahun 1663 dan di antara isinya tentang berdirinya Kerajaan
Kotawaringin pada masa Sultan Mustain Billah. Pada mulanya Kotawaringin
merupakan keadipatian yang dipimpin oleh Dipati Ngganding.
Kerajaan Pagatan (1750). Kerajaan Pagatan (1775-1908)
adalah salah satu kerajaan yang pernah berdiri di wilayah Tanah Kusan atau
daerah aliran sungai Kusan, sekarang wilayah ini termasuk dalam wilayah
Kabupaten Tanah Bumbu, Kalimantan Selatan. Wilayah Tanah Kusan bertetangga
dengan wilayah kerajaan Tanah Bumbu (yang terdiri atas negeri-negeri: Batu
Licin, Cantung, Buntar Laut, Bangkalaan, Tjingal, Manunggul, Sampanahan).
Kesultanan Sambas (1675). Kesultanan Sambas adalah
kesultanan yang terletak di wilayah pesisir utara Propinsi Kalimantan Barat
atau wilayah barat laut Pulau Borneo (Kalimantan)dengan pusat pemerintahannya
adalah di Kota Sambas sekarang. Kesultanan Sambas adalah penerus dari
kerajaan-kerajaan Sambas sebelumnya. Kerajaan yang bernama Sambas di Pulau
Borneo atau Kalimantan ini telah ada paling tidak sebelum abad ke-14 M
sebagaimana yang tercantum dalam Kitab Negara Kertagama karya Prapanca. Pada
masa itu Rajanya mempunyai gelaran "Nek" yaitu salah satunya bernama
Nek Riuh. Setelah masa Nek Riuh, pada sekitar abad ke-15 M muncul pemerintahan
Raja yang bernama Tan Unggal yang terkenal sangat kejam. Karena kekejamannya
ini Raja Tan Unggal kemudian dikudeta oleh rakyat dan setelah itu selama
puluhan tahun rakyat di wilayah Sungai Sambas ini tidak mau mengangkat Raja
lagi. Pada masa kekosongan pemerintahan di wilayah Sungai Sambas inilah
kemudian pada awal abad ke-16 M (1530 M) datang serombongan besar Bangsawan
Jawa (sekitar lebih dari 500 orang) yang diperkirakan adalah Bangsawan
Majapahit yang masih hindu melarikan diri dari Pulau Jawa (Jawa bagian timur)
karena ditumpas oleh pasukan Kesultanan Demak dibawah Sultan Demak ke-3 yaitu
Sultan Trenggono.
Kesultanan Kutai
Kartanegara ing Martadipura.
Kesultanan Kutai atau lebih lengkap disebut Kesultanan
Kutai Kartanegara ing Martadipura (Martapura) merupakan kesultanan bercorak
Islam yang berdiri pada tahun 1300 oleh Aji Batara Agung Dewa Sakti di Kutai
Lama dan berakhir pada 1960. Kemudian pada tahun 2001 kembali eksis di
Kalimantan Timur setelah dihidupkan lagi oleh Pemerintah Kabupaten Kutai
Kartanegara sebagai upaya untuk melestarikan budaya dan adat Kutai Keraton.
Dihidupkannya kembali Kesultanan Kutai ditandai dengan dinobatkannya sang
pewaris tahta yakni putera mahkota Aji Pangeran Prabu Anum Surya Adiningrat
menjadi Sultan Kutai Kartanegara ing Martadipura dengan gelar H. Adji Mohamad
Salehoeddin II pada tanggal 22 September 2001.
Pada 13 Agustus 1787, Sultan Banjar Sunan Nata Alam membuat perjanjian dengan VOC yang
menjadikan Kesultanan Banjar sebagai daerah protektorat VOC sedangkan
daerah-daerah lainnya di Kalimantan yang dahulu kala pada abad ke-17 pernah
menjadi vazal Banjarmasin diserahkan secara sepihak sebagai properti VOC
Belanda. Tahun 1778 Landak dan Sukadana (sebagian besar Kalbar) telah diperoleh
VOC dari Sultan Banten.
Pada 9 September 1809 VOC meninggalkan Banjarmasin (kota Tatas) dan menyerahkan
benteng Tatas dan
benteng Tabanio kepada
Sultan Banjar yang ditukar dengan intan 26 karat. Kemudian wilayah
Hindia-Belanda diserahkan kepada Inggris karena Belanda kalah dalam peperangan,
Alexander Hare menjadi wakil Inggris di Banjarmasin sejak 1812. Tanggal 1
Januari 1817 Inggris menyerahkan kembali wilayah Hindia Belanda termasuk
Banjarmasin dan daerah-daerahnya kepada Belanda dan kemudian Belanda
memperbaharui perjanjian dengan Sultan Banjar[4]. Negeri Kutai diserahkan
sebagai daerah pendudukan Hindia Belanda dalam Kontrak Persetujuan Karang Intan I pada 1 Januari 1817 antara Sultan Sulaiman
dari Banjar dengan
Hindia Belanda diwakili Residen Aernout van Boekholzt.[5] Perjanjian berikutnya pada tahun 1823, negeri
Kutai diserahkan menjadi daerah pendudukan Hindia Belanda dalam Kontrak Persetujuan Karang Intan II pada 13 September 1823 antara
Sultan Sulaiman
dari Banjar dengan
Hindia Belanda diwakili Residen Mr. Tobias[4].
Secara hukum Kutai dianggap negara bagian di dalam negara
Banjar. Negeri Kutai ditegaskan kembali termasuk daerah-daerah pendudukan
Hindia Belanda di Kalimantan menurut Perjanjian Sultan Adam al-Watsiq Billah dengan Hindia Belanda yang
ditandatangani dalam loji Belanda di Banjarmasin pada tanggal 4 Mei 1826
Kesultanan Berau (1400).
Kesultanan Berau adalah sebuah kerajaan yang pernah
berdiri di wilayah Kabupaten Berau sekarang ini. Kerajaan ini berdiri pada abad
ke-14 dengan raja pertama yang memerintah bernama Baddit Dipattung dengan gelar
Aji Raden Suryanata Kesuma dan istrinya bernama Baddit Kurindan dengan gelar
Aji Permaisuri. Pusat pemerintahannya berada di Sungai Lati, Kecamatan Gunung
Tabur.[3] Sejarahnya kemudian pada keturunan ke-13, Kesultanan Berau terpisah
menjadi dua yaitu Kesultanan Gunung Tabur dan Kesultanan Sambaliung.Menurut
Staatsblad van Nederlandisch Indië tahun 1849, wilayah ini termasuk dalam
zuid-ooster-afdeeling berdasarkan Bêsluit van den Minister van Staat,
Gouverneur-Generaal van Nederlandsch-Indie, pada 27 Agustus 1849, No. 8
Menurut Kakawin
Nagarakretagama yang
ditulis oleh Empu
Prapañca tahun 1365 tidak menyebutkan nama Berau sebagai
salah satu negeri yang telah ditaklukan Kerajaan
Majapahit oleh Gajah Mada, kemungkinan Berau masih memakai nama kuno yang lainnya
yaitu Sawaku/Sawakung (sebuah negeri lama di Kabupaten Berau). Hikayat Banjar[13] yang bab terakhirnya
ditulis pada tahun 1663, menyebutkan hubungan Berau
dengan Banjar pada masa Maharaja Suryanata, penguasa Banjar kuno abad ke-14
(waktu itu disebut Negara Dipa). Menurut Hikayat Banjar, sejak masa kekuasaan Maharaja Suryanata, pangeran dari Majapahit yang menjadi raja Negara Dipa (sebutan Banjar
kuno pada masa Hindu), orang besar (penguasa) Berau sudah menjadi taklukannya,
di sini hanya disebutkan orang besar, jadi bukan disebut raja seperti sebutan
Raja Sambas dan Raja Sukadana. Berau dalam Hikayat Banjar disebutkan sebagai
salah satu tanah yang di atas angin
(= kerajaan di sebelah timur atau utara) yang telah membayar upeti. [14] Hubungan Berau dengan Kesultanan Banjar di masa Sultan
Suryanullah/Sultan Suriansyah/Pangeran Samudera (1520-1546)
disebutkan dalam Hikayat Banjar, waktu itu Berau salah satu negeri yang
turut mengirim pasukan membantu Pangeran Samudera/Sultan Suriansyah dan juga
salah satu negeri yang mengirim upeti. [15] Menurut Hikayat Banjar, pada pertengahan abad ke-17
Sultan Makassar (Gowa-Tallo) meminjam Pasir termasuk daerah ring terluar
seperti Kutai, Berau dan Karasikan sebagai tempat berdagang kepada Sultan Banjar IV Mustain
Billah/Marhum Panembahan pada waktu Kiai Martasura diutus ke Makassar dan
mengadakan perjanjian dengan I Mangadacinna Daeng Sitaba Karaeng Pattingalloang
Sultan Mahmud yaitu Sultan Tallo yang menjabat mangkubumi bagi Sultan Malikussaid Raja Gowa tahun 1638-1654. Maka
sejak itu Berau tidak lagi mengirim upeti kepada Kesultanan Banjar.
Kesultanan Sambaliung
(1810).
Kesultanan Sambaliung adalah kesultanan hasil dari
pemecahan Kesultanan Berau, dimana Berau dipecah menjadi dua, yaitu Sambaliung
dan Gunung Tabur pada sekitar tahun 1810-an. Sultan Sambaliung pertama adalah
Sultan Alimuddin yang lebih dikenal dengan nama Raja Alam. Raja Alam adalah
keturunan dari Baddit Dipattung atau yang lebih dikenal dengan Aji Suryanata
Kesuma raja Berau pertama. Sampai dengan generasi ke-9, yakni Aji Dilayas. Aji
Dilayas mempunyai dua anak yang berlainan ibu. Yang satu bernama Pangeran Tua
dan satunya lagi bernama Pangeran Dipati. Kemudian, kerajaan Berau diperintah
secara bergantian antara keturunan Pangeran Tua dan Pangeran Dipati (hal inilah
yang membuat terjadinya perbedaan pendapat yang bahkan kadang-kadang
menimbulkan insiden). Raja Alam adalah cucu dari Sultan Hasanuddin dan cicit
dari Pangeran Tua, atau generasi ke-13 dari Aji Surya Nata Kesuma. Raja Alam
adalah sultan pertama di Tanjung Batu Putih, yang mendirikan ibukota
kerajaannya di Tanjung pada tahun 1810. (Tanjung Batu Putih kemudian menjadi kerajaan
Sambaliung).
Kesultanan Gunung Tabur (1820). Kesultanan Gunung Tabur
adalah kerajaan yang merupakan hasil pemecahan dari Kesultanan Berau, dimana
Berau dipecah menjadi dua, yaitu Sambaliung dan Kesultanan Gunung Tabur pada
sekitar tahun 1810-an. Kesultanan ini sekarang terletak dalam wilayah kecamatan
Gunung Tabur, Kabupaten Berau, provinsi Kalimantan Timur.
Kesultanan Pontianak (1771).
Kesultanan Kadriah Pontianak didirikan pada tahun 1771
oleh penjelajah dari Arab Hadramaut yang dipimpin oleh al-Sayyid Syarif
'Abdurrahman al-Kadrie, keturunan Rasulullah dari Imam Ali ar-Ridha. Ia
melakukan dua pernikahan politik di Kalimantan, pertama dengan putri dari
Panembahan Mempawah dan kedua dengan putri Kesultanan Banjarmasin (Ratu Syarif
Abdul Rahman, puteri dari Sultan Sepuh Tamjidullah I).Setelah mereka
mendapatkan tempat di Pontianak, kemudian mendirikan Istana Kadariah dan
mendapatkan pengesahan sebagai Sultan Pontianak dari Belanda pada tahun 1779.
Kerajaan Tidung atau dikenal pula dengan nama Kerajaan
Tarakan (Kalkan/Kalka) adalah kerajaan yang memerintah Suku Tidung di utara
Kalimantan Timur, yang berkedudukan di Pulau Tarakan dan berakhir di Salimbatu.
Setelah
peristiwa Proklamasi Kemerdekaan Indonesia pada tahun 1945, atas
prakarsa Sultan
Hamid II inilah,
Kesultanan Pontianak dan kesultanan-kesultanan Melayu di Kalimantan Barat bergabung dengan Republik
Indonesia Serikat.
Pada masa itu Sultan
Hamid II menjabat
sebagai Presiden Negara Kalimantan Barat (Kepala Daerah Istimewa Kalimantan
Barat) pada 1947-1950. Sultan Hamid II adalah perancang Lambang
Negara Indonesia.
Selain sebagai Ketua Perhimpunan Musyawarah Federal (Bijeenkomst voor Federaal Overleg / BFO) pada tahun 1949, ia juga
menjadi Menteri Negara Zonder Porto
Folio di Kabinet Republik Indonesia Serikat.
Pada
28 Oktober 1946, Pemerintah Sipil Hindia Belanda
sebagai Dewan Borneo Barat membentuk Daerah Istimewa Kalimantan Barat dan
mendapat kedudukan sebagai Daerah Istimewa pada 12 Mei 1947. Daerah Istimewa Kalimantan Barat
meliputi monarki-monarki (swapraja) di Kalimantan Barat, termasuk Kesultanan Pontianak. Saat
itu Sultan
Hamid II ditujuk sebagai
Kepala Daerah Istimewa Kalimantan Barat. Sebelum 5 April 1950, Daerah Istimewa Kalimantan Barat
bergabung dengan Negara Republik Indonesia (RIS). Daerahnya kemudian menjadi bagian dari Provinsi
Administratif Kalimantan. Setelah pembubaran Republik
Indonesia Serikat
pada 17 Agustus 1950, wilayah Kesultanan Pontianak menjadi
bagian Provinsi
Kalimantan Barat.
Setelah
Sultan
Hamid II wafat pada 30 Maret 1978, terjadi kekosongan jabatan sultan di
keluarga Kesultanan Paontianak. Kekosongan jabatan itu bahkan berlangsung
selama 25 tahun. Namun pada 15 Januari 2004, pihak bangsawan Istana Kadriyah
mengangkat Syarif Abubakar Alkadrie sebagai Sultan Pontianak. Jauh sebelumnya, tepatnya pada 29 Januari 2001 seorang bangsawan senior, Syarifah
Khadijah Alkadrie, mengukuhkan Kerabat Muda Istana Kadriah Kesultanan
Pontianak. Kerabat Muda ini bertujuan menjaga segala tradisi dan nilai budaya Melayu Pontianak, termasuk menghidupkan dan melestarikannya.
Kesultanan
Bulungan(1731).
Kesultanan Bulungan atau Bulongan adalah kesultanan yang
pernah menguasai wilayah pesisir Kabupaten Bulungan, Kabupaten Malinau,
Kabupaten Nunukan, dan Kota Tarakan sekarang. Kesultanan ini berdiri pada tahun
1731, dengan raja pertama bernama Wira Amir gelar Amiril Mukminin (1731–1777),
dan Raja Kesultanan Bulungan yang terakhir atau ke-13 adalah Datuk Tiras gelar
Sultan Maulana Muhammad Djalalluddin (1931-1958).
Sultan Bulungan
Berikut adalah daftar Sultan Bulungan, daftar
berikut masih belum sempurna, karena ada tahun yang hilang serta nama yang
tidak diketahui.[6]
Masa Pemerintahan Yang
Dipimpin Oleh Seorang Kesatria/Wira
- Datuk Mencang (Seorang bangsawan dari Brunei), beristrikan Asung Luwan(1555-1594)
- Singa Laut, Menantu dari Datuk Mencang (1594-1618)
- Wira Kelana, Putera Singa Laut (1618-1640)
- Wira Keranda, Putera Wira Kelana (1640-1695)
- Wira Digendung, putra Wira Keranda (1695-1731)
- Wira Amir, Putera Wira Digendung Gelar Sultan Amiril Mukminin (1731-1777)
Masa Pemerintahan Yang
Dipimpin Oleh Seorang Sultan
- Aji Muhammad/Sultan Alimuddin bin Muhammad Zainul Abidin/Sultan Amiril Mukminin/Wira Amir (1777-1817)
- Muhammad Alimuddin Amirul Muminin Kahharuddin I bin Sultan Alimuddin (jabatan ke-1) (1817-1861)
- Muhammad Jalaluddin bin Muhammad Alimuddin (1861-1866)
- Muhammad Alimuddin Amirul Muminin Kahharuddin I bin Sultan Alimuddin (jabatan ke-2) (1866-1873)
- Muhammad Khalifatul Adil bin Maoelanna (1873-1875)
- Muhammad Kahharuddin II bin Maharaja Lela (1875-1889)
- Sultan Azimuddin bin Sultan Amiril Kaharuddin (1889-1899).
- Pengian Kesuma (1899-1901). Ia adalah istri Sultan Azimuddin.
- Sultan Kasimuddin
- Datu Mansyur (1925-1930), Pemangku jabatan sultan
- Maulana Ahmad Sulaimanuddin (1930-1931) menikah dengan Tengku Lailan Syafinah binti alm. Tuanku Sultan Abdul Aziz Abdul Jalil Rakhmat Shah (Sultan Langkat)[7]
- Maulana Muhammad Jalaluddin (1931-1958)
- Maulana Al-Mamun Ibni Muhammad Maulana Djalaludin (2013)
KESULTANAN DI SULAWESI
KESULTANAN GOWA
Kesultanan Gowa atau kadang
ditulis Goa, adalah salah satu kerajaan besar dan paling sukses yang
terdapat di daerah Sulawesi
Selatan. Rakyat dari kerajaan ini berasal dari Suku
Makassar yang berdiam di ujung selatan dan pesisir barat Sulawesi. Wilayah
kerajaan ini sekarang berada di bawah Kabupaten
Gowa dan beberapa bagian daerah sekitarnya. Kerajaan ini
memiliki raja yang paling terkenal bergelar Sultan Hasanuddin, yang
saat itu melakukan peperangan yang dikenal dengan Perang Makassar (1666-1669)
terhadap VOC yang
dibantu oleh Kerajaan Bone yang dikuasai oleh satu wangsa Suku Bugis dengan
rajanya Arung Palakka. Perang Makassar bukanlah perang
antarsuku karena pihak Gowa memiliki sekutu dari kalangan Bugis; demikian pula
pihak Belanda-Bone memiliki sekutu orang Makassar. Perang Makassar adalah
perang terbesar VOC yang pernah dilakukannya pada abad ke-17.
Sejarah
Pada awalnya di daerah Gowa terdapat sembilan
komunitas, yang dikenal dengan nama Bate
Salapang (Sembilan Bendera), yang kemudian menjadi pusat kerajaan Gowa:
Tombolo, Lakiung, Parang-Parang, Data, Agangjene, Saumata, Bissei, Sero dan
Kalili. Melalui berbagai cara, baik damai maupun paksaan, komunitas lainnya
bergabung untuk membentuk Kerajaan Gowa. Cerita dari pendahulu di Gowa dimulai
oleh Tumanurung sebagai pendiri Istana Gowa, tetapi tradisi Makassar lain
menyebutkan empat orang yang mendahului datangnya Tumanurung, dua orang pertama
adalah Batara Guru dan saudaranya
Abad ke-16
Tumapa'risi' Kallonna
Memerintah pada awal abad ke-16, di Kerajaan Gowa
bertakhta Karaeng (Penguasa) Gowa ke-9, bernama Tumapa'risi' Kallonna. Pada
masa itu salah seorang penjelajah Portugis
berkomentar bahwa "daerah yang
disebut Makassar sangatlah kecil". Dengan melakukan perombakan
besar-besaran di kerajaan, Tumapa'risi' Kallonna mengubah daerah Makassar dari
sebuah konfederasi antar-komunitas yang longgar
menjadi sebuah negara kesatuan Gowa. Dia juga mengatur penyatuan Gowa dan Tallo
kemudian merekatkannya dengan sebuah sumpah yang menyatakan bahwa apa saja yang
mencoba membuat mereka saling melawan (ampasiewai)
akan mendapat hukuman Dewata. Sebuah perundang-undangan dan aturan-aturan
peperangan dibuat, dan sebuah sistem pengumpulan pajak dan bea dilembagakan di
bawah seorang syahbandar untuk mendanai
kerajaan. Begitu dikenangnya raja ini sehingga dalam cerita pendahulu Gowa,
masa pemerintahannya dipuji sebagai sebuah masa ketika panen bagus dan
penangkapan ikan banyak.[1]
Dalam sejumlah penyerangan militer yang sukses
penguasa Gowa ini mengalahkan negara tetangganya, termasuk Siang dan
menciptakan sebuah pola ambisi imperial yang kemudian berusaha ditandingi oleh
penguasa-penguasa setelahnya pada abadl ke-16 dan ke-17. Kerajaan-kerajaan yang
ditaklukkan oleh Tumapa'risi' Kallonna diantaranya adalah Kerajaan Siang, serta
Kerajaan Bone, walaupun ada yang menyebutkan bahwa Bone ditaklukkan oleh
Tunipalangga.[1]
Tunipalangga
Tunipalangga dikenang karena sejumlah
pencapaiannya, seperti yang disebutkan dalam Kronik (Cerita para pendahulu)
Gowa, diantaranya adalah:
- Menaklukkan dan menjadikan bawahan Bajeng, Lengkese, Polombangkeng, Lamuru, Soppeng, berbagai negara kecil di belakang Maros, Wajo, Suppa, Sawitto, Alitta, Duri, Panaikang, Bulukumba dan negara-negara lain di selatan, dan wilayah pegunungan di selatan.
- Orang pertama kali yang membawa orang-orang Sawitto, Suppa dan Bacukiki ke Gowa.
- Menciptakan jabatan Tumakkajananngang.
- Menciptakan jabatan Tumailalang untuk menangani administrasi internal kerajaan, sehingga Syahbandar leluasa mengurus perdagangan dengan pihak luar.
- Menetapkan sistem resmi ukuran berat dan pengukuran
- Pertama kali memasang meriam yang diletakkan di benteng-benteng besar.
- Pemerintah pertama ketika orang Makassar mulai membuat peluru, mencampur emas dengan logam lain, dan membuat batu bata.
- Pertama kali membuat dinding batu bata mengelilingi pemukiman Gowa dan Sombaopu.
- Penguasa pertama yang didatangi oleh orang asing (Melayu) di bawah Anakhoda Bonang untuk meminta tempat tinggal di Makassar.
- Yang pertama membuat perisai besar menjadi kecil, memendekkan gagang tombak (batakang), dan membuat peluru Palembang.
- Penguasa pertama yang meminta tenaga lebih banyak dari rakyatnya.
- Penyusun siasat perang yang cerdas, seorang pekerja keras, seorang narasumber, kaya dan sangat berani.
KESULTANAN BUTON
Kesultanan Buton terletak di Kepulauan Buton (Kepulauan
Sulawesi Tenggara) Provinsi Sulawesi tenggara, di bagian tenggara Pulau
Sulawesi . Pada zaman dahulu memiliki kerajaan sendiri yang bernama kerajaan
Buton dan berubah menjadi bentuk kesultanan yang dikenal dengan nama Kesultanan
Buton. Nama Pulau Buton dikenal sejak zaman pemerintahan Majapahit, Patih Gajah
Mada dalam Sumpah Palapa, menyebut nama Pulau Buton.
Sejarah Awal
Mpu Prapanca juga menyebut nama Pulau Buton di dalam
bukunya, Kakawin Nagarakretagama. Sejarah yang umum diketahui orang, bahwa
Kerajaan Bone di Sulawesi lebih dulu menerima agama Islam yang dibawa oleh
Datuk ri Bandang yang berasal dari Minangkabau sekitar tahun 1605 M. Sebenarnya
Sayid Jamaluddin al-Kubra lebih dulu sampai di Pulau Buton, yaitu pada tahun
815 H/1412 M. Ulama tersebut diundang oleh Raja Mulae Sangia i-Gola dan baginda
langsung memeluk agama Islam. Lebih kurang seratus tahun kemudian, dilanjutkan
oleh Syeikh Abdul Wahid bin Syarif Sulaiman al-Fathani yang dikatakan datang
dari Johor. Ia berhasil mengislamkan Raja Buton yang ke-6 sekitar tahun 948 H/
1538 M.
Riwayat lain mengatakan tahun 1564 M. Walau bagaimana pun
masih banyak pertikaian pendapat mengenai tahun kedatangan Syeikh Abdul Wahid di
Buton. Oleh itu dalam artikel ini dirasakan perlu dikemukakan beberapa
perbandingan. Dalam masa yang sama dengan kedatangan Syeikh Abdul Wahid bin
Syarif Sulaiman al- Fathani, diriwayatkan bahwa di Callasusung (Kulisusu),
salah sebuah daerah kekuasaan Kerajaan Buton, didapati semua penduduknya
beragama Islam.
Selain pendapat yang menyebut bahwa Islam datang di Buton
berasal dari Johor, ada pula pendapat yang menyebut bahwa Islam datang di Buton
berasal dari Ternate. Dipercayai orang-orang Melayu dari berbagai daerah telah
lama sampai di Pulau Buton. Mengenainya dapat dibuktikan bahwa walaupun Bahasa
yang digunakan dalam Kerajaan Buton ialah bahasa Wolio, namun dalam masa yang
sama digunakan Bahasa Melayu, terutama bahasa Melayu yang dipakai di Malaka, Johor
dan Patani. Orang-orang Melayu tinggal di Pulau Buton, sebaliknya orang-orang
Buton pula termasuk kaum yang pandai belayar seperti orang Bugis juga.
Orang-orang Buton sejak lama merantau ke seluruh pelosok
dunia Melayu dengan menggunakan perahu berukuran kecil yang hanya dapat
menampung lima orang, hingga perahu besar yang dapat memuat barang sekitar 150
ton.
Raja Buton Masuk Islam
Kerajaan Buton secara resminya menjadi sebuah kerajaan
Islam pada masa pemerintahan Raja Buton ke-6, iaitu Timbang Timbangan atau
Lakilaponto atau Halu Oleo. Bagindalah yang diislamkan oleh Syeikh Abdul Wahid
bin Syarif Sulaiman al-Fathani yang datang dari Johor. Menurut beberapa riwayat
bahwa Syeikh Abdul Wahid bin Syarif Sulaiman al-Fathani sebelum sampai di Buton
pernah tinggal di Johor. Selanjutnya bersama isterinya pindah ke Adonara (Nusa
Tenggara Timur). Kemudian beliau sekeluarga berhijrah pula ke Pulau Batu atas
yang termasuk dalam pemerintahan Buton.
Sultan Buton ke 38, Muhamad Falihi Kaimuddin bersama
Presiden RI Pertama Soekarno
Di Pulau Batu atas, Buton, Syeikh Abdul Wahid bin Syarif
Sulaiman al-Fathani bertemu Imam Pasai yang kembali dari Maluku menuju Pasai
(Aceh). Imam Pasai menganjurkan Syeikh Abdul Wahid bin Syarif Sulaiman
al-Fathani pergi ke Pulau Buton, menghadap Raja Buton. Syeikh Abdul Wahid
setuju dengan anjuran yang baik itu. Setelah Raja Buton memeluk Islam, Baginda
langsung ditabalkan menjadi Sultan Buton oleh Syeikh Abdul Wahid pada tahun 948
H/1538 M.
Mengenai tahun tersebut, masih dipertikaikan karena
sumber lain menyebutkan bahwa Syeikh Abdul Wahid merantau dari Patani-Johor ke
Buton pada tahun 1564 M. Sultan Halu Oleo dianggap sebagai Sultan Buton
pertama, bergelar Sultan atau Ulil Amri dan menggunakan gelar yang khusus yaitu
Sultan Qaimuddin. Maksud perkataan ini ialah Kuasa Pendiri Agama Islam.
Dalam riwayat yang lain menyebut bahawa yang melantik
Sultan Buton yang pertama memeluk Islam, bukan Syeikh Abdul Wahid tetapi guru
beliau yang sengaja didatangkan dari Patani. Raja Halu Oleo setelah ditabalkan
sebagai Sultan Kerajaan Islam Buton pertama, dinamakan Sultan Murhum.
Ketika diadakan Simposium Pernaskahan Nusantara
Internasional IV, 18 - 20 Julai 2000 di Pekan Baru, Riau, salah satu kertas
kerja membicarakan beberapa aspek tentang Buton, yang dibentang oleh La Niampe,
yang berasal dari Buton. Hasil wawancara saya kepadanya adalah sebagai berikut:
-
Syeikh
Abdul Wahid pertama kali sampai di Buton pada tahun 933 H/1526 M.
-
Syeikh
Abdul Wahid sampai ke Buton kali kedua pada tahun 948 H/1541 M.
Kedatangan
Syeikh Abdul Wahid yang kedua di Buton pada tahun 948 H/1541 M bersama guru
beliau yang bergelar Imam Fathani. Ketika itulah terjadi pengislaman
beramai-ramai dalam lingkungan Istana Kesultanan Buton dan sekaligus melantik
Sultan Murhum sebagai Sultan Buton pertama.
KESULTANAN BONE
Kesultanan Bone atau sering pula
dikenal dengan Akkarungeng ri Bone, merupakan kesultanan yang
terletak di Sulawesi bagian barat daya atau
tepatnya di daerah Provinsi Sulawesi
Selatan sekarang ini. Menguasai areal sekitar 2600 km2.
Terbentuknya kerajaan Bone dimulai dengan
kedatangan Tomanurung ri Matajang MatasilompoE yang mempersatukan 7 komunitas
yang dipimpin oleh Matoa. Manurung ri Matajang menikah dengan Manurung ri Toro
melahirkan La Ummasa Petta Panre Bessie sebagai Arumpone kedua. Saudara
perempuannya menikah dengan La Pattikkeng Arung Palakka yang melahirkan La
Saliyu Karampelua sebagai Arumpone ketiga.Di masanya, kerajaan Bone semakin
luas berkat keberaniannya.
Ratu Bone, We Tenrituppu adalah pemimpin Bone
pertama yang masuk Islam. Namun Islam diterima secara resmi dimasa Arumpone La
Tenripale Matinroe ri Tallo Arumpone keduabelas. Sebelumnya yaitu La Tenrirua
telah menerima Islam namun ditolak oleh hadat Bone yang disebut Ade Pitue
sehingga beliau hijrah ke Bantaeng dan meninggal disana. Ketika Islam diterima
secara resmi, maka susunan hadat Bone berubah. Ditambahkan jabatan Parewa Sara
(Pejabat Syariat) yaitu Petta KaliE (Qadhi). Namun, posisi Bissu kerajaan tetap
dipertahankan.
Sejak berakhirnya kekuasaan Gowa, Bone
menjadi penguasa utama di bawah pengaruh Belanda di Sulawesi
Selatan dan sekitarnya pada tahun 1666. Bone
berada di bawah kontrol Belanda sampai tahun 1814 ketika Inggris berkuasa
sementara di daerah ini, tetapi dikembalikan lagi ke Belanda pada 1816 setelah
perjanjian di Eropa akibat
kejatuhan Napoleon Bonaparte.
Pengaruh Belanda ini
kemudian menyebabkan meningkatnya perlawanan Bone terhadap Belanda, namun
Belanda-pun mengirim sekian banyak ekspedisi untuk meredam perlawanan sampai
akhirnya Bone menjadi bagian dari Indonesia pada
saat proklamasi. Di Bone, para
raja bergelar Arumponé.
Daftar Arumpone Bone
- Matasilompoé [Manurungngé ri Matajang] (1392-1424)
- La Umassa Petta Panré Bessié [ Petta Paladeng - Arung Labuaja ] Matinroe Ri Bengo [To' Mulaiyé Ranreng] (1424-1441)
- La Saliyu Karampéluwa/Karaéng Pélua'? [Pasadowakki] (1441-1470)
- We Ban-ri Gau Daéng Marawa Arung Majang Makaleppié Bisu-ri Lalengpili Petta-ri La Welareng [Malajangngé ri Cina] (1470-1490)
- La Tenri Sukki Mappajungngé (1490-1517)
- La Uliyo/Wuliyo Boté'é [Matinroé-ri Itterung] (1517-1542)
- La Tenri Rawe Bongkangngé [Matinroé-ri Gucinna] (1542-1584)
- La Icca'/La Inca' [Matinroé-ri Adénénna] (1584-1595)
- La Pattawe [Matinroé-ri Bettung] (15xx - 1590)
- We Tenrituppu [Matinroé ri Sidénréng] (1590-1607)
- La Tenrirua [Matinroé ri Bantaéng] (1607-1608)
- La Tenripalé [Matinroé ri Tallo] (1608-1626)
- La Ma'daremméng Matinroé ri Bukaka (1626-1643)
- Tobala', Arung Tanété Riawang, dijadikan regent oleh Gowa (1643-1660)
- La Ma'daremméng Matinroé ri Bukaka (1667-1672)
- La Tenritatta Matinroé ri Bontoala' (Arung Palakka) Petta Malampe'é Gemme'na Daéng Sérang (1672-1696)
- La Patau Matanna Tikka Walinonoé To Tenri Bali Malaé Sanrang Petta Matinroé ri Nagauléng (1696-1714)
- Batari Toja Daéng Talaga Arung Timurung Datu-ri Citta Sultana Zainab Zakiyat ud-din binti al-Marhum Sultan Idris Azim ud-din [Matinroé-ri Tippuluna] (1714-1715) (masa jabatan pertama)
- La Padassajati/Padang Sajati To' Apaware Paduka Sri Sultan Sulaiman ibni al-Marhum Sultan Idris Azim ud-din [Matinroé-ri Béula] (1715-1720)
- Bata-ri Toja Daéng Talaga Arung Timurung Datu-ri Citta Sultana Zainab Zakiat ud-din binti al-Marhum Sultan Idris Azim ud-din [Matinroé-ri Tippuluna] (1715) (masa jabatan kedua)
- La Pareppa To' Aparapu Sappéwali Daéng Bonto Madanrang Karaéng Anamonjang Paduka Sri Sultan Shahab ud-din Ismail ibni al-Marhum Sultan Idris Azim ud-din (1720-1721). Ia menjadi Sultan Gowa [Tumamenanga-ri Sompaopu], Arumpone Bone, dan Datu Soppeng.
- I-Mappaurangi Karaéng Kanjilo Paduka Sri Sultan Siraj ud-din ibni al-Marhum Sultan 'Abdu'l Kadir (1721-1724). Menjadi Sultan Gowa dengan gelar Tuammenang-ri-Pasi dan Sultan Tallo dengan gelar Tomamaliang-ri Gaukana.
- La Panaongi To' Pawawoi Arung Mampu Karaéng Biséi Paduka Sri Sultan 'Abdu'llah Mansur ibni al-Marhum Sultan Idris Azim ud-din [Tuammenang-ri Biséi] (1724)
- Batari Toja Daéng Talaga Arung Timurung Datu-ri Citta Sultana Zainab Zakiat ud-din binti al-Marhum Sultan Idris Azim ud-din [Matinroé-ri Tippuluna] (1724-1738) (masa jabatan ketiga)
- I-Danraja Siti Nafisah Karaéng Langelo binti al-Marhum (1738-1741)
- Batari Toja Daéng Talaga Arung Timurung Datu-ri Citta Sultana Zainab Zakiat ud-din binti al-Marhum Sultan Idris Azim ud-din [Matinroé-ri Tippuluna] (1741-1749) (masa jabatan keempat)
- La Temmassogé Mappasossong To' Appaware' Petta Paduka Sri Sultan 'Abdu'l Razzaq Jalal ud-din ibni al-Marhum Sultan Idris Azim ud-din [Matinroé ri-Malimongang] (1749-1775)
- La Tenri Tappu To' Appaliweng Arung Timurung Paduka Sri Sultan Ahmad as-Saleh Shams ud-din [Matinroé-ri-Rompégading] (1775-1812)
- La Mappatunru To Appatunru' Paduka Sri Sultan Muhammad Ismail Muhtajuddin [Matinroé-ri Laleng-bata] (1812-1823)
- I-Manéng Paduka Sri Ratu Sultana Salima Rajiat ud-din [Matinroé-ri Kassi] (1823-1835)
- La Mappaséling Paduka Sri Sultan Adam Nazim ud-din [Matinroé-ri Salassana] (1835-1845)
- La Parénréngi Paduka Sri Sultan Ahmad Saleh Muhi ud-din [Matinroé-ri Aja-bénténg] (1845-1858)
- La Pamadanuka Paduka Sri Sultan Sultan Abul-Hadi (1858-1860)???
- La Singkeru Rukka Paduka Sri Sultan Ahmad Idris [Matinroé-ri Lalambata] (1860-1871)
- I-Banri Gau Paduka Sri Sultana Fatima [Matinroé-ri Bola Mapparé'na] (1871-1895)
- La Pawawoi Karaéng Sigéri [Matinroé-ri Bandung] (1895-1905)
- Haji Andi Bacho La Mappanyuki Karaéng Silaja/Selayar Sri Sultan Ibrahim ibnu Sri Sultan Husain (1931-1946) (masa jabatan pertama)
- Andi Pabénténg Daéng Palawa [Matinroé-ri Matuju] (1946-1950)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar