BAB
I
PENDAHULUAN
1.
Latar
Belakang
Cerita pendek (cerpen) sebagai salah satu jenis karya sastra
ternyata dapat memberikan manfaat kepada pembacanya.Di antaranya dapat
memberikan pengalaman pengganti, kenikmatan, mengembangkan imajinasi,
mengembangkan pengertian tentang perilaku manusia, dan dapat menyuguhkan
pengalaman yang universal.Pengalaman yang universal itu tentunya sangat
berkaitan dengan hidup dan kehidupan manusia serta kemanusiaan.Ia bisa berupa
masalah perkawinan, percintaan, tradisi, agama, persahabatan, sosial, politik,
pendidikan, dan sebagainya. Jadi tidaklah mengherankan jika seseorang pembaca
cerpen, maka sepertinya orang yang membacanya itu sedang melihat miniatur
kehidupan manusia dan merasa sangat dekat dengan permasalahan yang ada di
dalamnya.Akibatnya, si pembacanya itu ikut larut dalam alur dan permasalahan
cerita.Bahkan sering pula perasaan dan pikirannya dipermainkan oleh
permasalahan cerita yang dibacanya itu. Ketika itulah si pembacanya itu akan
tertawa, sedih, bahagia, kecewa, marah , dan mungkin saja akan memuja sang
tokoh atau membencinya.
Tidak hanya itu, kiranya cerpen dengan segala
permasalahannya yang universal itu ternyata menarik juga untuk dikaji. Bahkan
tidak pernah berhenti orang yang akan mengkajinya. Cerpen yang kami kaji itu
adalah sebuah cerpen yang berjudul Robohnya Surau Kami karya A.A.
Navis.
2.
Rumusan
Masalah
1.
Pendekatan apa yang sesuai dengan cerpen
robohnya surau kami karya A. A Navis tersebut?
2. Bagaimana unsur
intrinsik cerpen Robohnya Surau Kami karya A.A. Navis?
3. Apakah cerpen tersebut
mengandung nilai-nilai pendidikan?
3.
Tujuan
Adapun tujuan dari
makalah ini yaitu untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah Kritik Sastra dan
untuk mengetahui lebih jelas tentang aspek structural yang terdapat pada cerpen
Robohnya Surau Kami karya AA Navis.
BAB II
CERPEN ROBOHNYA
SURAU KAMI
KALAU
beberapa tahun yang lalu Tuan datang ke kota kelahiranku dengan menumpang bis,
Tuan akan berhenti di dekat pasar. Melangkahlah menyusuri jalan raya arah ke
barat.Maka kira-kira sekilometer dari pasar akan sampailah Tuan di jalan
kampungku. Pada simpang kecil ke kanan, simpang yang kelima, membeloklah ke
jalan sempit itu. Dan di ujung jalan itu nanti akan Tuan temui sebuah surau.Di
depannya ada kolam ikan, yang airnya mengalir melalui empat buah pancuranmandi.
Dan di pelataran kiri surau itu akan Tuan temui seorang tua yang biasanya duduk
disana dengan segala tingkah ketuaanya dan ketaatannya beribadat. Sudah
bertahun-tahun iasebagai garin, penjaga surau itu. Orang-orang memanggilnya
Kakek.Sebagai penjaga surau, Kakek tidak mendapat apa-apa. Ia hidup dari
sedekah yang dipungutnya sekali se-Jumat. Sekali enam bulan ia mendapat
seperempat dari hasilpemunggahan ikan mas dari kolam itu. Dan sekali setahun
orang-orang mengantarkan fitrahId kepadanya. Tapi sebagai garin ia tak begitu
dikenal. Ia lebih dikenal sebagai pengasahpisau. Karena ia begitu mahir dengan
pekerjaannya itu. Orang-orang suka minta tolongkepadanya, sedang ia tak pernah
meminta imbalan apa-apa. Orang-orang perempuan yangminta tolong mengasahkan pisau
atau gunting, memberinya sambal sebagai imbalan. Oranglaki-laki yang minta
tolong, memberinya imbalan rokok, kadang-kadang uang. Tapi yang palingsering
diterimanya ialah ucapan terima kasih dan sedikit senyum. Tapi kakek ini sudah
tidakada lagi sekarang. Ia sudah meninggal.Dan tinggallah surau itu tanpa
penjaganya. Hingga anak-anak menggunakannyasebagai tempat bermain, memainkan
segala apa yang disukai mereka. Perempuan yangkehabisan kayu bakar, sering suka
mencopoti papan dinding atau lantai di malam hari. JikaTuan datang sekarang,
hanya akan menjumpai gambaran yang mengesankan suatu kesucianyang bakal roboh.
Dan kerobohan itu kian cepat berlangsungnya. Secepat anak-anak berlari
didalamnya, secepat perempuan mencopoti pekayuannya. Dan yang terutama ialah
sifat masabodoh manusia sekarang, yang tak hendak memelihara apa yang tidak
dijaga lagi. Dan biangkeladi dari kerobohan ini ialah sebuah dongengan yang tak
dapat disangkal kebenarnya.Beginilah kisahnya. Sekali hari aku datang pula
mengupah kepada Kakek. BiasanyaKakek gembiri menerimaku, karena aku suka
memberinya uang. Tapi sekali ini Kakek begitumuram. Di sudut benar ia duduk
dengan lututnya menegak menopang tangan dan dagunya.Pandangannya sayu ke depan,
seolah-olah ada sesuatu yang mengamuk pikirannya. Sebuahbelek susu yang berisi
minyak kelapa, sebuah asahan halus, kulit sol panjang, dan pisau cukurtua
berserakan di sekitar kaki Kakek. Tidak pernah aku melihat Kakek begitu durja
dan belumpernah salamku tak disahutinya seperti saat itu.Kemudian aku duduk di
sampingnya dan aku jamah pisau itu. Dan aku tanya Kakek,"Pisau siapa,
Kek?""Ajo Sidi.""Ajo Sidi?"Kakek tak menyahut.Maka aku
ingat Ajo Sidi, si pembual itu. Sudah lama aku tak ketemu dia. Dan aku
inginketemu dia lagi. Aku senang mendengar bualannya yang aneh-aneh sepanjang
hari. Tapi ini jarang terjadi karena ia begitu sibuk dengan pekerjaannya.
Sebagai pembual, sukses terbesarbaginya ialah karena semua pelaku-pelaku yang
diceritakannya menjadi model orang untukdiejek dan ceritanya menjadi pameo
akhirnya. Ada-ada saja orang-orang di sekitar kampungkuyang cocok dengan watak
pelaku-pelaku ceritanya. Ketika sekali ia menceritakan bagaimanasifat seekor
katak, dan kebetulan ada pula seorang yang ketagihan jadi pemimpin
berkelakuanseperti katak itu, maka untuk selanjutnya pemimpin tersebut kami
sebutkan pemimpin katak.Tiba-tiba aku ingat lagi pada Kakek dan kedatangan Ajo
Sidi kepadanya. Apakah Ajo Sidi telah membuat bualan tentang Kakek? Dan bualan
itukah yang mendurjakan Kakek? Akuingin tahu. Lalu aku tanya Kakek
lagi,"Apa ceritanya, Kek?""Siapa?""Ajo
Sidi.""Kurang ajar dia." Kakek menjawab."Kenapa?"
"Mudah-mudahan pisau cukur ini, yang kuasah tajam-tajam ini,
menggorohtenggoroknya.""Kakek marah?""Marah? Ya, kalau aku
masih muda, tapi aku sudah tua. Orang tua menahan ragam.Sudah lama aku tak
marah-marah lagi. Takut aku kalau imanku rusak karenanya, ibadatkurusak
karenanya. Sudah begitu lama aku berbuat baik, beribadat, bertawakal kepada
Tuhan.Sudah begitu lama aku menyerahkan diriku kepada-Nya. Dan Tuhan akan mengasihi
orangyang sabar dan tawakal."Ingin tahuku dengan cerita Ajo Sidi yang
memurungkan Kakek jadi memuncak. Akutanya lagi Kakek:"Bagaimana katanya,
Kek?" Tapi Kakek diam saja. Berat hatinya bercerita barangkali.Karena aku
telah berulang-ulang bertanya, lalu ia yang bertanya padaku."Kau kenal
padaku, bukan? Sedari kecil aku sudah di sini. Sedari mudaku, bukan? Kautahu
apa yang kulakukan semua, bukan? Terkutukkah perbuatanku? Dikutuki Tuhankah
semuapekerjaanku?"Tapi aku tak perlu menjawabnya lagi. Sebab aku tahu,
kalau Kakek sudah membukamulutnya, di takkan diam lagi. Aku biarkan Kakek
dengan pertanyaanya sendiri."Sedari mudaku aku di sini, bukan? Tak kuingat
punya istri, punya anak, punyakeluarga seperti orang-orang lain, tahu? Tak
kupikirkan hidupku sendiri. Aku tak ingin carikaya, bikin rumah. Segala
kehidupanku, lahir batin, kuserahkan kepada Allah Subhanahuwata'ala. Tak pernah
aku menyusahkan orang lain. Lalat seekor enggan aku membunuhnya.Tapi kini aku
dikatakan manusia terkutuk. Umpan neraka. Marahkah Tuhan kalau itu
yangkulakukan, sangkamu? Akan dikutukinya aku kalau selama hidupku aku mengabdi
kepada-Nya? Tak Kupikirkan hari esokku, karena aku yakin Tuhan itu ada dan
pengasih penyayangkepada umat-Nya yang tawakal. Aku bangun pagi-pagi. Aku
bersuci. Aku pukul bedukmembangunkan manusia dari tidurnya, supaya bersujud
kepada-Nya. Aku sembahyang setiapwaktu. Aku puji-puji Dia. Aku baca Kitab-Nya.
Alhamdulillah kataku bila aku menerimakarunia-Nya. Astagfirullah kataku bila
aku terkejut. Masya-Allah, kataku bila aku kagum.Apalah salahnya pekerjaanku
itu? Tapi kini aku dikatakan manusia terkutuk."Ketika Kakek terdiam agak
lama, aku menyelakan tanyaku,"Ia katakan Kakek begitu, Kek?""Ia
tak mengatakan aku terkutuk. Tapi begitulah kira-kiranya."Dan aku melihat
mata Kakek berlinang. Aku jadi belas kepadanya. Dalam hatiku akumengumpati Ajo
Sidi. Tapi aku lebih ingin mengetahui apa ceritanya Ajo Sidi yang
begitumemukuli hati Kakek.Dan ingin tahuku menjadikan aku nyinyir bertanya. Dan
akhirnya Kakek bercerita juga. “Pada suatu waktu,” kata Ajo Sidi memulai, “di
akhirat, Tuhan Allah memeriksa orang-orang yang sudah berpulang. Para malaikat
bertugas di samping-Nya. Di tangan merekatergenggam daftar dosa dan pahala
manusia. Begitu banyaknya orang yang diperiksa.Maklumlah di mana-mana ada
perang.Dan di antara orang-orang yang diperiksa itu ada seorang yang di dunia
dinamai HajiSaleh. Haji Saleh itu tersenyum-senyum saja, karena ia sudah begitu
yakin akan dimasukkanke surga. Kedua tangannya ditopangkan di pinggang sambil membusungkan
dada danmenekurkan kepala ke kuduk. Ketika dilihatnya orang-orang yang masuk
neraka, bibirnya menyunggingkan senyum ejekan. Dan ketika ia melihat orang yang
masuk surga, iamelambaikan tangannya, seolah hendak mengatakan “selamat ketemu
nanti”. Bagai tak habis-habisnya orang yang berantri begitu panjangnya. Susut
di muka, bertambah yang di belakang.Dan Tuhan memeriksa dengan segala
sifat-Nya. Akhirnya sampailah giliran Haji Saleh. Sambiltersenyum bangga ia
menyembah Tuhan. Lalu Tuhan mengajukan pertanyaan
pertama."Engkau?""Aku Saleh. Tapi karena aku sudah ke Mekah,
Haji Saleh namaku.""Aku tidak tanya nama. Nama bagiku tak perlu. Nama
hanya buat engkau di dunia.""Ya, Tuhanku.""Apa kerjamu di
dunia?""Aku menyembah Engkau selalu,
Tuhanku.""Lain?""Setiap hari, setiap malam, bahkan setiap
masa aku menyebut-nyebut nama-Mu.""Lain?""Segala tegah-Mu,
kuhentikan, Tuhanku. Tak pernah aku berbuat jahat, walaupun duniaseluruhnya
penuh oleh dosa-dosa yang dihumbalangkan iblis laknat itu.""Lain?""Ya,
Tuhanku, tak ada pekerjaanku selain daripada beribadat
menyembah-Mu,menyebut-nyebut nama-Mu. Bahkan dalam kasih-Mu, ketika aku sakit,
nama-Mu menjadi buahbibirku juga. Dan aku selalu berdoa, mendoakan kemurahan
hati-Mu untuk menginsafkanumat-Mu.""Lain?"Haji Saleh tak dapat
menjawab lagi. Ia telah menceritakan segala yang ia kerjakan.Tapi ia insaf,
bahwa pertanyaan Tuhan bukan asal bertanya saja, tentu ada lagi yang
belumdikatakannya. Tapi menurut pendapatnya, ia telah menceritakan segalanya.
Ia tak tahu lagiapa yang harus dikatakannya. Ia termenung dan menekurkan
kepalanya. Api neraka tiba-tibamenghawakan kehangatannya ke tubuh Haji Saleh.
Dan ia menangis. Tapi setiap air matanyamengalir, diisap kering oleh hawa panas
neraka itu."Lain lagi?" tanya Tuhan."Sudah hamba-Mu ceritakan
semuanya, o, Tuhan yang Mahabesar, lagi Pengasih danPenyayang, Adil dan
Mahatahu."Haji Saleh yang sudah kuyu mencobakan siasat merendahkan diri
dan memuji Tuhandengan pengharapan semoga Tuhan bisa berbuat lembut terhadapnya
dan tidak salah tanyakepadanya. Tapi Tuhan bertanya lagi: "Tak ada
lagi?""O, o, ooo, anu Tuhanku. Aku selalu membaca
Kitab-Mu.""Lain?" "Sudah kuceritakan semuanya, o, Tuhanku.
Tapi kalau ada yang aku lupamengatakannya, aku pun bersyukur karena Engkaulah
yang Mahatahu.""Sungguh tidak ada lagi yang kaukerjakan di dunia
selain yang kauceritakan tadi?""Ya, itulah semuanya,
Tuhanku.""Masuk kamu."Dan malaikat dengan sigapnya menjewer Haji
Saleh ke neraka. Haji Saleh tidakmengerti kenapa ia dibawa ke neraka. Ia tak
mengerti yang dikehendaki Tuhan daripadanyadan ia percaya Tuhan tidak silap.
Alangkah tercenggangnya Haji Saleh, karena di neraka itubanyak teman-temannya
di dunia terpanggang hangus, merintih kesakitan. Dan ia tambah takmengerti lagi
dengan keadaan dirinya, karena semua orang-orang yang dilihatnya di neraka
itutak kurang ibadatnya dari dia sendiri. Bahkan ada salah seorang yang telah
sampai empatbelas kali ke Mekah dan bergelar syekh pula.Lalu Haji Saleh
mendekati mereka, dan bertanya kenapa mereka dinerakakansemuanya. Tapi sebagaimana
Haji Saleh, orang-orang itu pun, tak mengerti juga."Bagaimana Tuhan kita
ini?" kata Haji Saleh kemudian, “Bukankah kita disuruhnya-Nya taat
beribadat, teguh beriman? Dan itu semua sudahkita kerjakan selama hidup kita.
Tapi kini kita dimasukkan-Nya ke neraka.” “Ya, kami juga heran. Tengoklah itu
orang-orang se-negeri dengan kita semua, dan tak kurang ketaatannya beribadat.”
“Ini sungguh tidak adil.” “Memang tidak adil,” kata orang-orang itu mengulangi
ucapan Haji Saleh. “Kalau begitu, kita harus minta kesaksian atas kesalahan
kita.” “Kita harus mengingatkan Tuhan, kalau-kalau Ia silap memasukkan kita ke
neraka ini.” “Benar. Benar. Benar.” Sorakan yang lain membenarkan Haji Saleh.
“Kalau Tuhan tak mau mengakui kesilapan-Nya, bagaimana?” suatu suara melengkingdi
dalam kelompok orang banyak itu. “Kita protes. Kita resolusikan,” kata Haji
Saleh. “Apa kita revolusikan juga?” tanya suara lain, yang rupanya di dunia
menjadi pemimpingerakan revolusioner. “Itu tergantung pada keadaan,” kata Haji
Saleh. “Yang penting sekarang, mari kita berdemontrasi menghadap Tuhan.” “Cocok
sekali. Di dunia dulu dengan demontrasi saja banyak yang kita peroleh,”
sebuahsuara menyela. “Setuju. Setuju. Setuju.” Mereka bersorak beramai-ramai.
Lalu mereka berangkatlah bersama-sama menghadapTuhan. Dan Tuhan bertanya.
“Kalian mau apa?” Haji Saleh yang jadi pemimpin dan juru bicara tampil ke
depan. Dan dengan suaramenggeletar dan berirama indah, ia memulai pidatonya:
“O, Tuhan kami yang Mahabesar. Kami yang menghadap-Mu ini adalah umat-Mu
yangpaling taat beribadat, yang paling taat menyembah-Mu. Kamilah orang-orang
yang selalumenyebut nama-Mu, memuji-muji kebesaran-Mu, mempropagandakan
keadilan-Mu, dan lain-lainnya. Kitab-Mu kami hafal di luar kepala kami. Tak
sesat sedikit pun kami membacanya.Akan tetapi, Tuhanku yang Mahakuasa, setelah
kami Engkau panggil kemari, Engkaumasukkan kami ke neraka. Maka sebelum terjadi
hal-hal yang tak diingini, maka di sini, atasnama orang-orang yang cinta
pada-Mu, kami menuntut agar hukuman yang Kaujatuhkankepada kami ditinjau
kembali dan memasukkan kami ke surga sebagaimana yang Engkau janjikan dalam
Kitab-Mu.” “Kalian di dunia tinggal di mana?” tanya Tuhan. “Kami ini adalah
umat-Mu yang tinggal di Indonesia, Tuhanku.” “O, di negeri yang tanahnya subur
itu?” “Ya, benarlah itu, Tuhanku.” “Tanahnya yang mahakaya-raya, penuh oleh
logam, minyak dan berbagai bahantambang lainnya bukan?” “Benar. Benar. Benar.
Tuhan kami. Itulah negeri kami.” Mereka mulai menjawabserentak. Karena fajar
kegembiraan telah membayang di wajahnya kembali. Dan yakinlahmereka sekarang,
bahwa Tuhan telah silap menjatuhkan hukuman kepada mereka itu. “Di negeri, di
mana tanahnya begitu subur, hingga tanaman tumbuh tanpa ditanam?” “Benar.
Benar. Benar. Itulah negeri kami.” “Ya. Ya. Ya. Itulah dia negeri kami.”
“Negeri yang lama diperbudak orang lain?” “Ya, Tuhanku. Sungguh laknat penjajah
itu, Tuhanku.” “Dan hasil tanahmu, mereka yang mengeruknya, dan diangkutnya ke
negerinya,bukan?” “Benar, Tuhanku. Hingga kami tak mendapat apa-apa lagi. Sungguh
laknat mereka itu.” “Di negeri yang selalu kacau itu, hingga kamu dengan kamu
selalu berkelahi, sedanghasil tanahmu orang lain juga yang mengambilnya,
bukan?” “Benar, Tuhanku. Tapi bagi kami soal harta benda itu kami tak mau tahu.
Yang pentingbagi kami ialah menyembah dan memuji Engkau.” “Engkau rela tetap
melarat, bukan?” “Benar. Kami rela sekali, Tuhanku.” “Karena kerelaanmu itu,
anak cucumu tetap juga melarat, bukan?” “Sungguhpun anak cucu kami itu melarat,
tapi mereka semua pintar mengaji. Kitab-Mumereka hafal di luar kepala.”
“Tapi
seperti kamu juga, apa yang disebutnya tidak dimasukkan ke hatinya, bukan?”
“Ada, Tuhanku.” “Kalau ada, kenapa engkau biarkan dirimu melarat, hingga anak
cucumu teraniayasemua. Sedang harta bendamu kaubiarkan orang lain mengambilnya
untuk anak cucu mereka.Dan engkau lebih suka berkelahi antara kamu sendiri,
saling menipu, saling memeras. Aku berikau negeri yang kaya-raya, tapi kau
malas. Kau lebih suka beribadat saja, karena beribadattidak mengeluarkan peluh,
tidak membanting tulang. Sedang aku menyuruh engkau semuanyaberamal di samping
beribadat. Bagaimana engkau bisa beramal kalau engkau miskin. Engkaukira aku
ini suka pujian, mabuk disembah saja, hingga kerjamu lain tidak memuji-muji
danmenyembahku saja. Tidak. Kamu semua mesti masuk neraka. Hai, Malaikat,
halaulah merekaini kembali ke neraka. Letakkan di keraknya.” Semua jadi pucat
pasi tak berani berkata apa-apa lagi. Tahulah mereka sekarang apa jalan yang
diredhai Allah di dunia. Tapi Haji Saleh ingin juga kepastian apakah
yangdikerjakannya di dunia itu salah atau benar.Tapi ia tak berani bertanya
kepada Tuhan. Ia bertanya saja pada malaikat yangmengiring mereka
itu."Salahkah menurut pendapatmu, kalau kami menyembah Tuhan di
dunia?" tanya HajiSaleh."Tidak. Kesalahan engkau, karena engkau
terlalu mementingkan dirimu sendiri. Kautakut masuk neraka, karena itu kau taat
bersembahyang. Tapi engkau melupakan kehidupankaummu sendiri, melupakan
kehidupan anak istrimu sendiri, sehingga mereka itu kucar-kacirselamanya.
Inilah kesalahanmu yang terbesar, terlalu egoistis. Padahal engkau di
duniaberkaum, bersaudara semuanya, tapi engkau tak memperdulikan mereka sedikit
pun."...Demikian cerita Ajo Sidi yang kudengar dari Kakek. Cerita yang
memurungkan Kakek.Dan besoknya, ketika aku mau turun rumah pagi-pagi, istriku
berkata apa aku tak pergimenjenguk."Siapa yang meninggal?" tanyaku
kaget."Kakek.""Kakek?""Ya. Tadi subuh Kakek kedapatan
mati di suraunya dalam keadaan yang mengerikansekali. Ia menggoroh lehernya
dengan pisau cukur.""Astaga. Ajo Sidi punya gara-gara," kataku
seraya cepat-cepat meninggalkan istrikuyang tercengang-cengang. Aku cari Ajo
Sidi ke rumahnya. Tapi aku berjumpa sama istrinyasaja. Lalu aku tanya
dia."Ia sudah pergi," jawab istri Ajo Sidi."Tidakkah ia tahu
Kakek meninggal?""Sudah. Dan ia meninggalkan pesan agar dibelikan
kain kafan buat Kakek tujuh lapis.""Dan sekarang," tanyaku
kehilangan akal sungguh mendengar segala peristiwa olehperbuatan Ajo Sidi yang
tidak sedikit pun bertanggung jawab, "dan sekarang ke mana dia?""Kerja""Kerja?"
tanyaku mengulangi hampa."Ya. Dia pergi kerja."
SINOPSIS ROBOHNYA SURAU KAMI
Cerpen “Robohnya Surau Kami” ini bercerita
tentang seorang kakek yang hidupnya dihabiskan sebagai seorang penjaga surau (Garin).
Namun, karena suatu peristiwa, kakek penjaga surau itu meninggal bunuh diri
dengan sangat mengenaskan. Penyebab tertekannya kondisi psikologis dari kakek
penjaga surau itu sehingga nekat bunuh diri hanyalah sebuah cerita dari Ajo
Sidi yang sedikit banyak sangat menyentuh kakek tersebut.
Pada awalnya, surau yang dijaga oleh kakek adalah
sebuah surau yang sangat teduh dan nyaman untuk bersembahyang. Keadaan begitu
terbalik saat kakek penjaga surau itu telah meninggal dunia. Surau tersebut
menjadi sebuah surau tua yang tidak lagi terawat dan sangat usang. Surau itu
berubah menjadi tempat bermain anak-anak, dan yang lebih parah, bilik serta
lantai kayu surau itu dijadikan sebagai persediaan kayu bakar bagi penduduk
sekitar. Hal tidak mengenakkan ini berawal dari cerita Ajo Sidi tentang seorang
yang di dunia taat beragama, yaitu Haji Saleh.
Dalam cerita Ajo Sidi, Haji Saleh adalah seorang
yang taat menjalankan agama. Pada saat meninggal dunia, Haji Saleh serta
orang-orang lainnya sedang menunggu giliran di akhirat untuk menerima
penghakiman Tuhan untuk dimasukkan ke neraka atau ke surga. Saat gilirannya
tiba, Haji Saleh tanpa rasa takut menjawab pertanyaan Tuhan tentang apa saja
yang dilakukannya di dunia pada masa hidupnya. Haji Saleh dengan percaya diri
berkata bahwa pada saat ia hidup di dunia, yang dilakukannya adalah memuji dan
menyembah Tuhan, serta menjalankan ajaran agama dengan taat. Namun, Tuhan tidak
memasukkan Haji Saleh ke surga, melainkan ke neraka. Di neraka, Haji Saleh
bertemu juga dengan teman-temannya di dunia yang ibadahnya juga tidak kurang
dari dirinya, bahkan ada juga orang yang sampai bergelar syekh. Akhirnya,
karena tidak terima dengan keputusan Tuhan, orang-orang di neraka yang
menganggap dirinya tidak pantas dimasukkan ke neraka itu melakukan aksi unjuk
rasa kepada Tuhan. Haji Saleh yang menjadi pemimpin dan pembicara bagi mereka.
Sekali lagi, Tuhan menanyakan kepada mereka apa yang telah mereka lakukan di
dunia. Mereka menjawab bahwa mereka semua adalah warga negara Indonesia yang
taat beragama dan negaranya sangat kaya akan sumber daya alam, namun hasilnya
sering di ambil oleh pihak asing. Lalu Tuhan menjawab kepada mereka, bahwa
mereka semua hanya mementingkan diri mereka sendiri, karena selama hidup mereka
hanya berdoa dan menyembah-Nya, tetapi tidak mempedulikan keadaan sekitar,
sehingga banyak kekayaan negara mereka sendiri yang diambil oleh pihak asing,
sedangkan anak cucu mereka sendiri hidupnya kekurangan.
Dari cerita Ajo Sidi itu, mungkin kakek penjaga
surau itu merasa tersinggung dan terpukul. Karena selama hidupnya, kakek itu
hanya menyembah dan memuji Tuhan, sampai-sampai tidak memiliki istri serta anak
cucu. Kakek itu kemudian merasa marah dan tertekan lalu akhirnya memutuskan
untuk bunuh diri.
BAB
III
PEMBAHASAN
Kritik sastra objektif yaitu kritik sastra yang menelaah
struktur karya sastra dengan kemungkinan membebaskannya dari dunia pengarang,
pembaca dan situasi zamannya.Oleh karena itu dalam mengkaji cerpen “Robohnya
Surau Kami” kami menggunakan pendekatan kritik sastra objektif karena dalam
cerpen ini A. ANavis menceritakan suatu peristiwa yang terjadi di alam lain.
Bahkan di sana terjadi dialog antara tokoh manusia dengan Sang Maha Pencipta.
Tidak hanya ituDikemukakan Fananie
( 2001) bahwa struktur karya sastra mencakup: struktur intrinsik, struktur
ekstrinsik, struktur lapis bunyi, dan struktur lapis makna. Dengan demikian kami akan mengkaji struktur
karya sastra yaitu struktur instrinstik seperti di bawah ini.
1.
Tinjauan
unsur Instrinstik
a.
Tema
Tema
cerpen ini adalah “kelalaian“ yaitu seorang kepala keluarga lalai itu sehingga
masalah kelalaiannya itu akhirnya mampu membunuh dirinya.
b.
Alur (plot)
Alur mundur karena ceritanya mengisahkan peristiwa yang telah berlalu
yaitu sebab-sebab kematian kakek Garin. Sedangkan strukturnya berupa bagian
awal, tengah, dan akhir.Adapun alur mundurnya mulai muncul di akhir bagian awal
dan berakhir di awal bagian akhir.
c.
Tokoh dan Penokohan
·
Aku
: berwatak selalu ingin tahu urusan orang lain.
·
Ajo
Sidi : adalah orang yang suka
membual, tidak bertanggung jawab.
·
Kakek
: orang yang egois dan
lalai, mudah dipengaruhi dan mempercayai orang lain.
·
Haji
Soleh : yaitu orang yang telah
mementingkan diri sendiri.
d.
Latar
·
Latar
Tempat
1.
dekat
pasar
posisi
untuk menuju surau
2.
di
surau
tempat yang pernah
dijaga oleh kakek garin,tempat meninggalnya kakek
·
Latar Waktu
1) Beberapa
tahun yang lalu
Kalau
beberapa tahun yang lalau tuan datang ke
kota kelahiranku dengan menompang bis, tuan akan berhenti di dekat pasar.
2) Sudah
bertahun-tahun
Lamanya
waktu kakek sebagai garin, penjaga surau
3) Dan
besoknya
Ketika
aku mau turun rumah.
4) Pagi-pagi
Kakek
selalu bangun pagi-pagi untuk bersembahyang
·
Latar
Sosial
Dari cerpen
ini tampak latar sosial berdasarkan usia, pekerjaan, dan kebisaan atau cara
hidupnya yang sangat berbeda latar sosial dalam cerpen ini yaitu keikhlasan
saling tolong menolong ketika membutuhkan tanpa mengharapkan pamrih adapun yang
suka berkomunikasi tetapi kurang baik sehingga dapat menimbulkan dampak negatif
yaitu menyebabkan kakek garin meninggal dunia dengan cara bunuh diri.
e.
Gaya
Bahasa
Gaya
bahasa yang terdapat dalam cerita ini adalah:
1) Sinisme
Maka
untuk selanjutnya pemimpin tersebut kami sebutkan pemimpin katak.
2) Alegori
“Kenapa
engkau biarkan dirimu melarat, hingga anak cucumu teraniaya semua. Sedang harta
bendamu kau biarkan orang lain yang mengambilnya untuk anak cucu mereka. Dan
engkau lebih suka berkelahi antara kamu sendiri, saling menipu, saling
memeras.Aku beri kau negeri yang kaya raya, tapi kau malas, kau lebih suka
beribadat saja, karena beribadat tidak mengeluarkan peluh, tidak
membanting-tulang.Sedang aku menyruh engkau semuanya beramal disamping
beribadat.Bagaiamana engkau bisa beramal kalau engkau miskin. Engkau kira aku
ini suka pujian, mabuk disembah saja, hinnga kerjamu lain tidak memuji dan
menyembahku saja. Tidak..…”
3) Klimaks
Setiap
hari, setiap malam, bahkan setiap masa,
aku menyebut-nyebut namaMu.
4) Repetisi
a.
Secepat anak-anak berlari di dalamnya,
secepat perempuan mencopoti pekayuannya.
b.
Takut aku kalau iman ku rusak karenanya,
ibadatku rusak karenanya.
f.
Sudut Pandang
Titik
pengisahan cerpen ini yaitu pengarang berperan sebagai tokoh utama (akuan
sertaan) sebab secara langsung pengarang terlibat di dalam cerita. Selain itu
pengarang pun berperan sebagai tokoh bawahan ketika si kakek bercerita tentang
Haji Soleh di depan tokoh aku.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Cerpen
Robohnya Surau Kami karya A.A. Nvis ini memang sebuah sastra (cerpen) yang
menarik dan baik.Hal ini dapat dilihat dari unsur-unsur intrinsik dan
kesesuaiannya sebagai bahan pembelajaran.
Berdasarkan
uraian di atas, maka cerpen Robohnya Surau Kami sangat cocok /layak jika
dijadikan bahan ajar dalam pembelajaran sastra di SMU, karena bahasa yang
digunakannya bisa dipahami oleh siswa SMU, konflik psikologis tokoh-tokohnya
pun tidak terlalu sulit untuk dipelajari, selain itu konflik-konflik psikologis
yang dimunculkan, masih sesuai dengan perkembangan psikologis dan pemikiran
siswa SMU, dan latar budaya yang ditampilkannya pun masih tampak umum sehinga
siswa yang berlatar belakang budaya Islam, Kristen, Hindu, dan Budha pun dapat
menerimanya.
B. Saran
-
Alangkah baiknya siswa
membaca cerpennya secara utuh berkali-kali agar memahami isinya.
selain
itu, baca pula buku-buku yang mengulas isi cerpen itu jika ada.
-
Semoga dengan memahami
isi dan unsur-unsur intrinsik cerpen robohnya surau kami, kita bisa
memahami pada cerpen-cerpen lain dalam
menganalisa unsur-unsur intrinsik dan juga
ekstrinsiknya
Tidak ada komentar:
Posting Komentar