BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang Masalah
Cerita pendek (cerpen) sebagai salah satu jenis karya sastra ternyata
dapat memberikan manfaat kepada pembacanya. Di antaranya dapat memberikan
pengalaman pengganti, kenikmatan, mengembangkan imajinasi, mengembangkan
pengertian tentang perilaku manusia, dan dapat menyuguhkan pengalaman yang
universal. Pengalaman yang universal itu tentunya sangat berkaitan dengan hidup
dan kehidupan manusia serta kemanusiaan. Ia bisa berupa masalah perkawinan,
percintaan, tradisi, agama, persahabatan, sosial, politik, pendidikan, dan
sebagainya. Jadi tidaklah mengherankan jika seseorang pembaca cerpen, maka
sepertinya orang yang membacanya itu sedang melihat miniatur kehidupan manusia
dan merasa sangat dekat dengan permasalahan yang ada di dalamnya. Akibatnya, si
pembacanya itu ikut larut dalam alur dan permasalahan cerita. Bahkan sering
pula perasaan dan pikirannya dipermainkan oleh permasalahan cerita yang
dibacanya itu. Ketika itulah si pembacanya itu akan tertawa, sedih, bahagia,
kecewa, marah , dan mungkin saja akan memuja sang tokoh atau membencinya.
Dipilihnya cerpen karya A.A. Navis tersebut bukan tanpa pertimbangan atau
alasan sebab cerpen ini memiliki keistimewaan (bagi kami) dibandingkan dengan
cerpen A.A.Navis yang lain atau cerpen yang ditulis pengarang-pengarang yang
lain. Keistimewaannya yaitu terletak pada teknik penceritaan A.A.Navis yang
tidak biasa pada saat itu. Tidak biasanya karena Navis menceritakan suatu
peristiwa yang terjadi di alam lain. Bahkan di sana terjadi dialog antara tokoh
manusia dengan Sang Maha Pencipta. Menurut hemat saya hal seperti ini hanya ada
dalam cerpen Langit Makin Mendung karya Kipanjikusmin dan cerpen Robohnya Surau
Kami karya A.A. Navis.
Akan tetapi, kedua cerpen ini tetap berbeda. Cerpennya Kipanjikusmin
muncul dengan membawa kehebohan yang luar biasa di kalangan umat Islam sehingga
harus berhadapan dengan hukum. Sedangkan cerpennya A.A. Navis muncul dengan
membawa kejutan karena ceritanya menyindir pelaksanaan kehidupan beragama
secara luar biasa tajamnya. Di dalam cerpen Langit Makin Mendung Tuhan dan
malaikat diimajinasikan dengan kuat sekali (meminjam istilah Bahrum Rangkuti
dalam Polemik H.B.Jassin, 1972:177). Sedangkan dalam cerpen Robohnya Surau Kami
tidak seperti itu. Itulah sebabnya cerpen A.A. Navis tidak pernah berhadapan
dengan hukum. Selain itu cerpen A.A.Navis ini lebih banyak mengingatkan kita
untuk selalu bekerja keras sebab kerja keras adalah bagian penting dari ibadah
kita (Sapardi Djoko Damono dalam kata pengantar Novel Kemarau karya A.A.Navis,
1992:vi).
B.
Identifikasi
Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, saya mencoba mengidentifikasi masalah
sayaan ini. Identifikasi masalahnya sebagai berikut:
1.
Bagaimana unsur intrinsik cerpen Robohnya Surau
Kami karya A.A. Navis?
2.
Apakah cerpen tersebut mengandung nilai-nilai
pendidikan?
3.
Nilai-nilai pendidikan yang bagaimana yang
terdapat dalam cerpen tersebut?
4.
Setiap karya sastra prosa, khususnya cerpen
dapat dijadikan bahan ajar dikelas. Lalu upaya-upaya apa saja yang memungkinkan
pemilihan bahan ajar itu efektif?
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Sinopsis
Cerpen Robohnya Surau Kami Karya A.A. Navis
Cerpen karya A.A. Novis yang mengisahkan seorang kakek Garin, yang
meninggal secara mengenaskan yaitu membunuh diri akibat dari mendengar cerita
bualan seseorang yang sudah dikenalnya, ternyata cukup memikat siapapun yang
membacanya. Karena daya pikat itu, peneliti mencoba mengkajinya dan agar kajian
ini, khususnya bab IV ini mudah dipahami agaknya perlu juga memaparkan sinopsis
cerpen Robohnya Surau Kami tesebut. Sinopsisnya itu seperti yang dipaparkan di
bawah ini.
Di suatu tempat ada sebuah surau tua yang nyaris ambruk. Hanya karena
seseorang yang datang ke sana dengan keikhlasan hatinya dan izin dari
masyarakat setempat, surau itu hingga kini masih tegak berdiri. Orang itulah
yang merawat dan menjaganya. Kelak orang ini disebut sebagai Garin.
Meskipun orang ini dapat hidup karena sedekah orang lain, tetapi ada yang
paling pokok yang membuatnya bisa bertahan, yaitu dia masih mau bekerja sebagai
pengasah pisau. Dari pekerjaannya inilah dia dapat mengais rejeki, apakah itu
berupa uang, makanan, kue-kue atau rokok.
Kehidupan orang ini agaknya monoton. Dia hanya mengasah pisau, menerima
imbalan, membersihkan dan merawat surau, beribadah di surau dan bekerja hanya
untuk keperluannya sendiri. Dia tidak ngotot bekerja karena dia hidup sendiri.
Hasil kerjanya tidak untuk orang lain, apalagi untuk anak dan istrinya yang
tidak pernah terpikirkan.
Suatu ketika datanglah Ajo Sidi untuk berbincang-bincang dengan penjaga
surau itu. Lalu, keduanya terlibat perbincangan yang mengasyikan. Akan tetapi,
sepulangnya Ajo Sidi, penjaga surau itu murung, sedih, dan kesal. Karena dia
merasakan, apa yang diceritakan Ajo Sidi itu sebuah ejekan dan sindiran untuk
dirinya.
Dia memang tak pernah mengingat anak dan istrinya tetapi dia pun tak
memikirkan hidupnya sendiri sebab dia memang tak ingin kaya atau bikin rumah.
Segala kehidupannya lahir batin diserahkannya kepada Tuhannya. Dia tak berusaha
mengusahakan orang lain atau membunuh seekor lalat pun. Dia senantiasa
bersujud, bersyukur, memuji, dan berdoa kepada Tuhannya. Apakah semua ini yang
dikerjakannya semuanya salah dan dibenci Tuhan ? Atau dia ini sama seperti Haji
Saleh yang di mata manusia tampak taat tetapi dimata Tuhan dia itu lalai.
Akhirnya, kelak ia dimasukkan ke dalam neraka. Penjaga surau itu begitu
memikirkan hal ini dengan segala perasaannya. Akhirnya, dia tak kuat memikirkan
hal itu. Kemudian dia memilih jalan pintas untuk menjemput kematiannya dengan cara
menggorok lehernya dengan pisau cukur.
Kematiannya sungguh mengejutkan masyarakat di sana. Semua orang berusaha
mengurus mayatnya dan menguburnya. Kecuali satu orang saja yang tidak begitu
peduli atas kematiannya. Dialah Ajo Sidi, yang pada saat semua orang mengantar
jenazah penjaga surau dia tetap pergi bekerja.
B.
Tinjauan
atas Unsur Intrinsik
Unsur intrinsik
adalah unsur dalam yang membentuk penciptaan karya sastra. Unsur ini berupa
tema, amanat, latar, alur, penokohan, titik pengisahan, dan gaya. Ketujuh unsur
yang terdapat dalam cerpen Robohnya Surau Kami itu sebagai berikut:
1.
Tema
Pengarang yang sedang menulis cerita pasti akan menuangkan gagasannya.
Tanpa gagasan pasti dia tidak bisa menulis cerita. Gagasan yang mendasari
cerita yang dibuatnya itulah yang disebut tema dan gagasan seperti ini selalu
berupa pokok bahasan.
Tema atau pokok persoalan cerpen Robohnya Surau Kami sesungguhnya
terletak pada persoalan batin kakek Garin setelah mendengar bualan Ajo Sidi.
Gambaran ini terletak pada halaman 10 berikut ini.
“Sedari mudaku aku disini, bukan? Tak ku ingat punya istri, punya anak,
punya keluarga seperti orang-orang lain, tahu? Tak kupikirkan hidupku sendiri.
Aku tak ingin cari kaya, bikin rumah. Segala kehidupanku, lahir batin, ku
serahkan kepada Allah Subhanahu Wata’ala. Tak pernah aku menyusahkan orang
lain. Lalat seekor enggan aku membunuhnya. Tapi kini aku dikatakan manusia
terkutuk. Umpan neraka…. Tak ku pikirkan hari esokku, karena aku yakin Tuhan
itu ada dan pengasih penyayang kepada umatNya yang tawakkal. Aku bangun
pagi-pagi. Aku bersuci. Aku pukul bedug membangunkan manusia dari tidurnya,
supaya bersujud kepadaNya. Aku bersembahyang setiap waktu. Aku puji-puji dia.
Aku baca KitabNya. “Alahamdulillah” kataku bila aku menerima karuniaNya. “Astaghfirullah”
kataku bila aku terkejut. ” Masa Allah bila aku kagum.” Apakah salahnya
pekerjaanku itu? Tapi kini aku dikatakan manusia terkutuk.”
Kemudian pada halaman 16 gambaran itu ditegaskan kembali, yaitu :
“Tidak, kesalahan engkau, karena engkau terlalu mementingkan diri mu
sendiri. Kau takut masuk neraka, karena itu kau taat bersembahyang. Tapi engkau
melupakan kaum mu sendiri, melupakan kehidupan anak istimu sendiri, sehingga
mereka itu kucar kacir selamanya. Inilah kesalahan mu yang terbesar, terlalu egoistis,
padahal engkau di dunia berkaum, bersaudara semuanya, tapi engkau tak
memperdulikan mereka sedikitpun.”
Dengan demikian, jika kita buat kesimpulan atas fakta-fakta di atas maka
tema cerpen ini adalah seorang kepala keluarga lalai itu sehingga masalah
kelalaiannya itu akhirnya mampu membunuh dirinya. Dan simpulan temanya itu
ternyata bersifat universal. Oleh karena itu, wajarlah kalau cerpen karya A.A.
Navis ini diteima oleh setiap orang.
2.
Amanat
Di dalam sebuah cerita, gagasan atau pokok persoalan dituangkan
sedemikian rupa oleh pengarangnya sehingga gagasan itu mendasari seluuh cerita.
Gagasan yang mendasari seluruh cerita ini dipertegas oleh pengarangnya melalui
solusi bagi pokok persoalan itu. Dengan kata lain solusi yang dimunculkan
pengaranngnya itu dimaksudkan untuk memecahkan pokok persoalan, yang didalamnya
akan terlibat pandangan hidup dan cita-cita pengarang. Hal inilah yang
dimaksudkan dengan amanat. Dengan demikian, amanat merupakan keinginan
pengarang untuk menyampaikan pesan atau nasihat kepada pembacanya.
Jadi amanat pokok yang terdapat dalam cerpen Robohnya Surau Kami karya
A.A. Navis adalah: “Pelihara, jaga, dan jangan bermasabodoh terhadap apa yang
kau miliki.” Hal ini terdapat pada paragraf kelima halaman delapan kalimat yang
terakhir. Amanat pokok/utama ini kemudian diperjelas atau diuraikan dalam
ceritanya. Akibatnya muncullah amanat-amanat lain yang mempertegas amanat utama
itu. Amanat-amanat yang dimaksud itu di antaranya:
a)
Jangan cepat marah kalau ada orang yang mengejek
atau menasehati kita karena ada perbuatan kita yang kurang layak di hadapan
orang lain. Amanat ini dimunculkan melalui ucapan kakek Garin pada halaman 9.
“Marah ? Ya, kalau aku masih muda, tetapi
aku sudah tua. Orang tua menahan ragam. Sudah lama aku tak marah-marah lagi.
Takut aku kalau imanku rusak karenanya, ibadahku rusak karenanya. Sudah begitu
lama aku berbuat baik, beribadah bertawakkal kepada Tuhan .…”
dari ucapan kakek Garin itu jelas tegambar
pandangan hidup/cita-cita pengarangnya mengenai karangan untuk cepat marah.
b)
Jangan cepat bangga akan perbuatan baik yang
kita lakukan karena hal ini bisa saja baik di hadapan manusia tetapi tetap
kurang baik di hadapan Tuhan itu. Coba saja tengok pengalaman tokoh yang
bernama Haji Saleh ketika dia disidang di akhirat sana:
“Alangkah tercengangnya Haji Saleh, karena
di Neraka itu banyak teman-temannya didunia terpanggang hangus, merintih
kesakitan. Dan tambah tak mengerti lagi dengan keadaan dirinya, karena semua
orang-orang yang dilihatnya di Neraka itu tak kurang ibadahnya dari dia
sendiri. Bahkan ada salah seorang yang telah sampai 14 kali ke Mekkah dan
bergelar Syekh pula ( Hlm. 12 – 13 ).
Tidak
hanya itu saja. Dari gambaran ini terpapar pula amanat lain, yaitu:
c)
Kita jangan terpesona oleh gelar dan nama besar
sebab hal itu akan mencelakakan diri pemakainya.
d)
Jangan menyia-nyiakan apa yang kamu miliki,
untuk itu cermati sabda Tuhan dalam cerpen ini:
“…, kenapa engkau biarkan dirimu melarat,
hingga anak cucumu teraniaya semua, sedang harta bendamu kau biarkan orang lain
mengambilnya untuk anak cucu mereka. Dan engkau lebih suka berkelahi antara
kamu sendiri, saling menipu, saling memeras. Aku beri kau negeri yang kaya
raya, tapi kau malas, kau lebih suka beribadat saja, karena beribadat tidak
mengeluarkan peluh, tidak membanting tulang. Sedang Aku menyuruh engkau
semuanya beramal disamping beribadat. Bagaimana engkau bisa beramal kalau
engkau miskin .…” (hlm. 15).
e)
Jangan mementingkan diri sendiri, seperti yang
disabdakan Tuhan dalam cerpen ini halaman 16.
”…. Kesalahan engkau, karena engkau terlalu
mementingkan dirimu sendiri. Kau takut masuk neraka, karena itu kau taat
bersembahyang, tapi engkau melupakan kehidupan kaummu sendiri, melupakan
kehidupan anak istrimu sendiri, sehingga mereka itu kucar kacir selamanya. Inilah
kesalahanmu yang terbesar, terlalu egoistis, padahal engkau didunia berkaum,
bersaudara semuanya, tapi engkau tak memperdulikan mereka sedikitpun.”
Dan akhirnya amanat (d) dan (e) menjadi kunci amanat yang
diinginkan pengarang untuk pembacanya. Kedua amanat itu kemudian dirumuskan,
seperti yang sudah dituliskan pada bagian awal tentang amanat di atas.
3.
Latar
Dalam suatu cerita latar dibentuk melalui segala keterangan, petunjuk,
pengacuan yang berkaitan dengan waktu, ruang, dan suasana terjadinya suatu
peristiwa. Latar ini ada tiga macam, yaitu: latar tempat; latar waktu; dan
latar sosial.
a.
Latar Tempat
Latar jenis ini biasa disebut latar
fisik. Latar ini dapat berupa daerah, bangunan, kapal, sekolah, kampus, hutan,
dan sejenisnya. Latar tempat yang ada dalam cerpen ini jelas disebutkan oleh
pengarangnya, seperti kota, dekat pasar, di surau, dan sebagainya :
Kalau beberapa tahun yang lalu Tuan
datang ke kota kelahiranku dengan menumpang bis, Tuan akan berhenti di dekat
pasar. Melangkahlah menyusuri jalan raya arah ke barat. Maka kira-kira
sekilometer dari pasar akan sampailah Tan di jalan kampungku. Pada simpang
kecil kekanan, simpang yang kelima, membeloklah ke jalan sempit itu. Dan di
ujung jalan itu nanti akan tuan temui sebuah surau tua. Di depannya ada kolan
ikan, yang airnya mengalir melalui empat buah pancuran mandi. (hlm. 1 )
b.
Latar Waktu
Latar jenis ini, yang terdapat dalam
cerpen ini ada yang bersamaan dengan latar tempat, seperti yang sudah
dipaparkan di atas pada latar tempat atau contoh yang lainnya seperti berikut :
“Pada suatu waktu,” kata Ajo Sidi
memulai, “..di Akhirat Tuhan Allah memeriksa orang-orang yang sudah berpulang
….” (hlm. 10)
Meskipun begitu, ada juga yang juga
yang jelas-jelas menyebutkan soal waktu, misalnya:
Jika tuan datang sekarang, hanya akan
menjumpai gambaran yang mengesankan suatu kebencian yang bakal roboh ………
Sekali hari aku datang pula mengupah
kepada kakek (hlm. 8)
“Sedari mudaku aku di sini, bukan
?….” (hlm.10)
c.
Latar Sosial
Di dalam latar ini umumnya menggambarkan keadaan masyarakat,
kelompok-kelompok sosial dan sikapnya, kebiasaannya, cara hidup, dan bahasa. Di
dalam cerpen ini latar sosial digambarkan sebagai berikut :
Dan di pelataran surau kiri itu akan tuan temui seorang tua yang biasanya
duduk disana dengan segala tingkah ketuaannya dan ketaatannya beribadat. Sudah
bertahun-tahun Ia sebagai Garim, penjaga surau itu. Orang-orang memanggilnya
kakek (hlm. 7)
Dari contoh ini tampak latar sosial berdasarkan usia, pekerjaan, dan
kebisaan atau cara hidupnya.
Namun demikian, contoh latar sosial yang menggambarkan kebiasaan yang
lainnya yaitu :
“Kalau Tuhan akan mau mengakui kehilapan – Nya bagaimana ?” suatu suara
melengking di dalam kelompok orang banyak itu.
“Kita protes. Kita resolusikan,” kata Haji Soleh.
…………………………………………………………………………
“cocok sekali, di dunia dulu dengan demonstrasi saja, banyak yang kita
peroleh,” sebuah suara menyela.
“Setuju. Setuju. Setuju.” Mereka bersorak beramai-ramai (hlm. 13)
Kebiasaan ini tentunya mengisyaratkan kepada kita bahwa tokoh-tokoh yang
terlibat dalam dialog ini (hlm.13), termasuk kelompok orang yang sangat kritis,
vokal, dan berani. Karena kritik, vokalnya, dan beraninya Dia sering menganggap
enteng orang lain dan akhirnya terjebak dalam kesombongan. Tokoh-tokoh ini
menjadi sombong di hadapan Tuhannya padahal apa yang dilakukannya belum ada
apa-apanya. Perhatikan pada berikut ini.
Haji soleh yang jadi pemimpin dan juru bicara tampil ke depan. Dan dengan
suara yang menggeletar dan berirama indah, Ia memulai pidatonya: “O, Tuhan kami
yang Mahabesar, kami yang menghadap-Mu ini adalah umat-Mu yang paling taat
beribadat, yang paling taat menyembah-Mu. Kamilah orang-orang yang selalu
menyebut nama-Mu, memuji-muji kebesaran-Mu, mempropagandakan keadilan-Mu, dan
lain-lainnya…”
Akhirnya ada latar sosial lain yang digambarkan dalam cerpen ini meskipun
hanya sepintas saja gambaranya itu. Latar sosial ini menunjukkan bahwa salah
satu tokoh dalam cerita ini termasuk kedalam kelompok sosial pekerja. Datanya
seperti ini.
“Dan sekarang,” tanyaku kehilangan akal sungguh mendengar segala
peristiwa oleh perbuatan Ajo Sidi yang tidak sedikitpun bertanggung jawab, “dan
sekarang ke mana dia ?”
“Kerja”
“Kerja?”tanyaku mengulangi hampa.
“ya.Dia pergi kerja.”
4.
Alur
(plot)
Alur menurut Suminto A. Sayuti (2000:31) diartikan sebagai
peristiwa-peristiwa yang diceritakan dengan panjang lebar dalam suatu rangkaian
tertentu dan berdasarkan hubungan-hubungan konsolitas itu memiliki struktur.
Strukturnya itu terdiri dari tiga bagian, yaitu bagian awal, bagian tengah, dan
bagian akhir. Didalam cerpen ini, struktur plot itu dapat diuraikan seperti
berikut.
Bagian Awal
Pada bagian awal cerita ini yang terdapat dalam cerpen ini terbagi atas
dua bagian, yaitu bagian eksposisi, yang menjelaskan/ memberitahukan informasi
yang diperlukan dalam memahami cerita. Dalam hal ini, eksposisi cerita dalam
cerpen ini berupa penjelasan tentang keberadaan seorang kakek yang menjadi
garim di sebuah surau tua beberapa tahun yang lalu, seperti yang diungkapkan
pada data berikut :
Kalau beberapa tahun yang lalu Tuan datang ke kota kelahiranku …. akan
Tuan temui seorang tua yang biasanya duduk di surau dengan segala tingkah
ketuaannya dan ketaatannya beribadat. Sudah bertahun-tahun ia sebagai garim,
penjaga surau itu. Orang-orang memanggilnya kakek.
Sebagai penjaga surau, kakek tidak mendapat apa-apa. Ia hidup dari
sedekah yang dipungutnya sekali sejum’at. Sekali enam bulan Ia mendapat
seperempat dari hasil pemunggahan ikan mas dari kolam itu. Dan sekali setahun
orang-orang mengantarkan fitrah Id, tapi sebagai Garim ia tak begitu dikenal.
Ia lebih dikenal sebagai pengasah pisau. Karena Ia begitu mahir dengan
pekerjaannya itu. Orang-orang suka minta tolong kepadanya, sedang ia tidak
pernah meminta imbalan apa-apa. Orang-orang perempuan yang minta tolong
mengasahkan pisau atau gunting, memberinya sambal sebagai imbalan. Orang
laki-laki yang minta tolong, memberinya imbalan rokok, kadang-kadang uang. Tapi
yang paling sering diterimanya ialah ucapan terima kasih dan sedikit senyum
(hlm. 7).
Dan yang kedua adalah sebagai instabilitas (ketidakstabilan), yaitu
bagian yang didalamnya terdapat keterbukaan.
Yang dimaksud di sini adalah cerita mulai bergerak dan terbuka dengan
segala permasalahannya. Perhatikan data berikut :
Tapi kakek ini sudah tidak ada lagi sekarang. Ia sudah meninggal. Dan
tinggallah surau itu tanpa penjaganya ….
Jika Tuan datang sekarang hanya akan menjumpai gambaran yang mengesankan
suatu kesucian yang bakal roboh. Dan kerobohan itu kian hari kian cepat berlangsungnya
…. (hlm. 8)
Berdasarkan data ini tampak jelas bahwa yang dimaksud cerita mulai
bergerak dan tebuka adalah karena informasi ini belum tuntas bahkan menimbulkan
pertanyaan, mengapa si Kakek wafat dan bagaimana hal itu bisa terjadi ?
sehingga ketidakstabilan ini memunculkan suatu pengembangan suatu cerita.
Bagian Tengah
Meskipun ketidakstabilan dalam cerita memunculkan suatu pengembangan
cerita tetapi bagian tengah tidak dimulai dari ketidakstabilan itu. Justru,
bagian tengah dimulai dengan jawaban atas pertanyaan yang muncul, seperti yang
disebutkan dalam bagian awal. Jawaban itu sedikitnya menggambarkan suatu
konplik, bahwa si Kakek wafat karena dongengan yang tak dapat disangkal
kebenarannya. Data untuk ini seperti berikut:
Dan biang keladi dari kecerobohan ini ialah sebuah dongengan yang tak
dapat disangkal kebenarannya. (hlm . 8)
Data konflik ini kemudian diperkuat dengan pemunculan tokoh alur yang
berniat hendak mengupah si Kakek. Akan tetapi begitu tokoh atau bertemu dengan
si Kakek suasananya sangat tidak diharapkan.
… Kakek begitu muram. Di sudut benar dia duduk dengan lututnya menegak
menopang tangan dan dagunya. Pandangannya sayu kedepan, seolah-olah ada sesuatu
yang mengamuk pikirannya. Sebuah blek susu yang berisi minyak kelapa sebuah
asahan halus, kulit sol panjang, dan pisau cukur tua berserakan di sekitar kaki
Kakek. (hlm. 8)
Rupanya si Kakek sedang dicekam konplik
Konplik ini berkembang menjadi konplikasi manakala tokoh aku menanyakan
sesuatu yang berupa pisau kepada si Kakek. Penyebab munculnya konplikasi ini
bukan karena pisau itu melainkan pemilih pisau itu. Hal ini terbukti ketika si
Kakek menyebutkan nama pemilik pisau itu, dia begitu geramnya bahkan mengancam.
“Kurang ajar dia.” Kakek menjawab.
“ Kenapa ? “
“ Mudah-mudahan pisau cukur ini, yang kuasah tajam-tajam ini, menggorok
tenggorokannya.” (hlm. 9)
Kemarahannya ini demikian hebat, makanya dia mau saja melepaskan
kekesalannya dengan menceritakan apa yang dilakukan Ajo Sidi terhadapnya di hadapan
tokoh aku. Dia bercerita karena desakan dari dalam batinnya.
Begitu kuat dan hebat. Dia sendiri tak mampu menahannya untuk
menyembunyikan apa yang diceritakan Ajo Sidi. Namun, segala apa yang
diungkapkannya di depan tokoh Aku ini tidak membuatnya merasa ringan. Bahkan
mungkin semakin berat dan menekan dada dan batinnya. Akibatnya, klimaks
kekecewaan si Kakek berakhir dengan cara yang tragis. Dia nekat membunuh
dirinya sendiri dengan cara menggorok lehernya.
Bagian Akhir
Bagian terakhir cerita ini ternyata menarik. Menarik karena adanya
kejutan (surprise). Kejutannya itu terletak pemecahan masalahnya, yaitu ketika
orang-orang terkejut mendapatkan si Kakek garin itu meninggal dengan cara
mengenaskan, justru Ajo Sidi menganggap hal itu biasa saja bahkan dia berusaha
untuk membelikan kain kafan meskipun hal ini dia pesankan melalui istrinya.
Data berikut menggambarkan hal ini.
Aku cari Ajo Sidi ke rumahnya. Tapi aku berjumpa sama istrinya saja. Lalu
aku tanya dia. “Ia sudah pergi,” jawab istri Ajo Sidi.
“Tidak ia tahu Kakek meninggal ?”
“Sudah. Dan ia meniggalkan pesan agar dibelikan kain kafan buat Kakek
tujuh lapis.”
“Dan sekarang,” tanyaku kehilangan akal sungguh mendengar segala
peristiwa oleh perbuatan Ajo Sidi yang tidak sedikitpun bertanggung jawab,” dan
sekarang ke mana Dia ?”
“Kerja.”
“Kerja ?” Tanyaku mengulang hampa
“Ya. Dia pergi kerja.” (hlm. 16-17).
Penyelesaian yang penuh kejutan ini agaknya menyisakan pertanyaan,
benarkah Ajo Sidi orang yang tidak bertanggung jawab? Bukankah perilaku Ajo
Sidi yang berusaha menyuruh istrrinya untuk membeli kain kafan itu merupakan
suatu bentuk tanggung jawab? Lalu di mana salahnya?
Jika struktur alurnya seperti di atas maka alur cerpen ini dikelompokkan
ke dalam alur regresif atau alur flash back (sorot balik). Dikatakan demikian
karena benar-benar bertumpu pada kisah sebelumnya, yang oleh tokoh Aku kisah
itu diceritakan.
Kalau beberapa tahun yang lalu Tuan datang ke kota kelahiranku dengan
menumpang bis.… Dan di ujung jalan itu nanti akan Tuan temui sebuah surau tua….
Dan di pelataran kiri surau itu akan Tuan temui seorang Tua…. Orang-orang
memanggilnya kakek… Tapi kakek ini sudah tidak ada lagi sekarang. Ia sudah
meninggal…. Dan biang keladi dari kerobohan ini ialah sebuah dongengan yang tak
dapat disangkal kebenarannya. Beginilah kisahnya (hlm.7-8). Dan besoknya,
ketika Aku mau turun rumah pagi-pagi istriku berkata apa aku tak pergi
menjenguk. “Siapa yang meninggal?” Tanyaku kaget.
“Kakek.”
“Kakek?” (hlm.16).
5.
Penokohan
Yang dimaksud
dengan penokohan yakni bagaimana pengarang menampilkan perilaku tokoh-tokohnya
berikut wataknya. A.A. Navis menampilkan tokoh-tokohnya sebagai berikut.
a. Tokoh Aku
Tokoh ini begitu
berperan dalam cerpen ini. Dari mulutnya kita bisa mendengar kisah si Kakek
yang membunuh dirinya dengan cara menggorok lehernya dengan pisau. Pengarang
menggambarkan tokoh ini sebagai orang yang ingin tahu perkara orang lain.
Datanya seperti berikut.
Tiba-tiba aku
ingat lagi pada Kakek dan kedatangan Ajo Sidi kepadanya. Apakah Ajo Sidi tidak
membuat bualan tentang kakek ? Dan bualan itukah yang mendurjakan kakek ? Aku
ingin tahu. Lalu aku tanya pada kakek lagi: “Apa ceritanya, kek ?”
Ingin tahuku
dengan cerita Ajo Sidi yang memurungkan Kakek jadi memuncak. Aku tanya lagi
kakek : “Bagaimana katanya, kek ?”.(hlm.9).
“Astaga. Ajo
Sidi punya gara-gara,” kataku seraya ceepat-ceepat meninggalkan istriku yang
tercengang-cengang. Aku cari AjoSidi ke rumahnya. Tapi aku berjumpa sama
istrinya saja. Lalu aku tanya dia.(hlm.16).
b. Ajo Sidi
Tokoh ini sangat
istimewa. Tidak banyak dimunculkan tetapi sangat menentukan keberlangsungan
cerita ini . Secara jelas tokoh ini disebut sebagai si tukang bual. Sebutan ini
muncul melalui mulut tokoh Aku. Menurut si tokoh Aku, Ajo Sidi disebutkan
sebagai si tukang bual yang hebat karena siapa pun yang mendengarnya pasti
terpikat. Selain itu bualannya selalu mengena. Data untuk ini seperti berikut.
….Maka aku ingat
Ajo Sidi, si pembual itu. Sudah lama aku tak ketemu dia. Dan aku ingin ketemu
dia lagi. Aku senang mendengar bualannya. Ajo Sidi bisa mengikat orang-orang
dengan bualannya yang aneh-aneh sepanjang hari. Tapi ini jarang terjadi karena
ia begitu sibuk dengan pekerjaannya. Sebagai pembual, sukses terbesar baginya
ialah karena semua pelaku-pelaku yang diceritakannya menjadi pemeo akhirnya.
Ada-ada saja orang di sekitar kampungku yang cocok dengan watak pelaku-pelaku
ceritanya….(hlm.8-9)
.
Dari data ini
pula ternyata disebutkan pula bahwa Ajo Sidi orang yang cinta kerja.
c. Si Kakek
Tokoh ini
agaknya menjadi tokoh sentral. Dia menjadi pusat cerita. Oleh si pengarang
tokoh ini digambarkan sebagai orang yang mudah dipengaruhi dan gampang
mempercayai omongan orang, pendek akal dan pikirannya, serta terlalu
mementingkan diri sendiri dan lemah imannya.
Penggambaran
watak seperti ini karena tokoh kakek mudah termakan cecrita Ajo Sidi. Padahal
yang namanya cerita tidak perlu ditanggapi serius tetapi bagi si kakek hal itu
seperti menelanjangi kehidupannya. Seandainya si kakek panjang akal dan
pikirannya serta kuat imannya tidak mungkin ia mudah termakan cerita Ajo Sidi.
Dia bisa segera bertobat dan bersyukur kepada Tuhan sehingga dia bisa membenahi
hidup dan kehidupannya sesuai dengan perintah tuhannya. Tetapi sayang, dia
segera mengambil jalan pintas malah masuk ke pintu dosa yang lebih besar.
Sedangkan
gambaran untuk tokoh si Kakek yang terlalu mementingkan diri sendiri
digambarkan melalui ucapanya sendiri, seperti data berikut:
“ Sedari mudaku
aku di sini, bukan ? tak kuingat punya istri, punya anak, punya keluarga
seperti orang-orang lain, tahu? Tak terpikirkan hidupku sendiri…(hlm.10).
d. Haji Saleh
Tokoh ini adalah
ciptaan Ajo Sidi. Pemunculannya sengaja untuk mengejek atau menyindir orang
lain. Dengan begitu wataknya sudah dipersiapkan oleh penciptanya dan karena
kemahirannya Ajo Sidi tokoh ini demikian hidup. Secara jelas dan gamblang watak
tokoh ini digambarkan sebagai orang terlalu mementingkan diri sendiri.
6. Titik Pengisahan
Yang dimaksud
dengan titik pengisahan yaitu kedudukan/posisi pengarang dalam cerita tersebut.
Maksudnya apakah, pengarang ikut terlibat langsung dalam cerita iu atau hanya
sebagai pengamat yang berdiri di luar cerita.
Di dalam cerpen
Robonya Surau Kamii agaknya A.A. Navis memposisikan dirinya dalam cerita ini
sebagi tokoh utama atau akuan sertaan sebab secara langsung pengarang terlibat
di dalam cerita dan ini terasa pada bagian awal cerita.
Kalau beberapa
tahun yang lalu Tuan datang ke Kota kelahiranku dengan menumpang bis, Tuan akan
berhenti di dekat pasar….(hlm.7).
Sekali hari Aku
datang pula mengupah pada kakek. Biasanya kakek gembira menerimaku, karena aku
suka memberinya uang….(hlm.8).
Akan tetapi,
ketika si kakek bercerita tentang Haji Soleh di depan tokoh Aku, dan cerita ini
diperolehnya dari Ajo Sidi, maka pengarang sudah memposisikan dirinya sebagai
tokoh bawahan. Artinya, pengarang tetap melibatkan diri dalam cerita akan
tetapi yang sebenarnya ia sedang mengangkat tokoh utama atau berusaha ingin
menceritakan tokoh utamanya. Di sini pengarang tetap mengunakan kata “Aku”.
Walaupun begitu kata “Aku” ini merupakan kata ganti orang pertama pasif.
“Engkau ?”
“Aku Saleh. Tapi
karena aku sudah ke Mekah, Haji Saleh namaku.”
………………………………………………………………………
lalu, setelah si
Kakek menceritakan tentang Haji Saleh –tokoh dongengan Ajo Sidi- ,pengarang
kembali ke posisi sebagai tokoh Aku seperti pada bagian awal cerita.
Gaya
Gaya merupakan
sarana bercerita. Dengan demikian gaya biasa disebut sebagai cara pengungkapan
seorang yang khas bagi seorang pengarang atau sebagai cara pemakaian bahasa
spesifik oleh seorang pengarang. Jadi, gaya merupakan kemahiran seorang
pengarang dalam memilih dan menggunakan kata, kelompok kata, atau kalimat dan
ungkapan.
Di dalam cerpen
ini ternyata pengarang menggunakan kata-kata yang biasa digunakan dalam bidang
keagamaan (Islam), seperti garin, Allah Subhanau Wataala, Alhamdulillah,
Astagfirullah, Masya-Allah, Akhirat, Tawakal, dosa dan pahala, Surga, Tuhan,
beribadat menyembah-Mu, berdoa, menginsyafkan umat-Mu, hamba-Mu, kitab-Mu,
Malaikat, neraka, haji, Syekh, dan Surau serta fitrah Id, juga Sedekah.
Selain ini,
pengarang pun menggunakan pula simbol dan majas. Simbol yang terdapat dalam
cerpen ini tampak jelas pula judulnya, yakni Robohnya Surau Kami. Suaru di sini
merupakan simbol kesucian, keyakinan. Jadi, melalui simbol ini sebenarnya
pengarang ingin mengingatkan kepada pembaca bahwa kesucian hati atau keyakinan
kita terhadap Tuhan dan agamanya sudah roboh. Sebab, cukup banyak tokoh-tokoh
kita dari berbagai kalangan tidak lagi suci hatinya. Mereka sudah
menggadaikannya dengan kedudukan, jabatan, dan pangkat. Mereka tenggelam dalam
Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN) dan keegoismeannya. Bahkan ada pula yang
keyakinannya terhadap Tuhan dan agamanya terlibat luntur-pudar. Mereka ini
tidak hanya tenggelam dalam KKN dan egoisme tetapi juga tenggelam dalam
kemunafikan dan maksiat serta dibakar emosi dan dendam demi keakuan dirinya dan
kelompoknya.
Sedangkan majas
yang digunakan dalam cerpen ini di antaranya majas alegori karena di dalam
cerita ini cara berceritanya menggunakan lambang, yakni tokoh Haji Saleh dan
kehidupan di akhirat, atau lebih tepatnya menggunakan majas parabel (majas ini
merupakan bagian dari majas alegori) karena majas ini berisi ajaran agama,
moral atau suatu kebenaran umum dengan mengunakan ibarat. Majas ini sangat
dominan dalam cerpen ini
Selain majas
alegori atau parabol, pengarang pun menggunakan majas Sinisme seperti yang
diucapkan tokoh aku: ”…Dan yang terutama ialah sifat masa bodoh manusia
sekarang, yang tak hendak memelihara apa yang tidak dijaga lagi” (hlm.8).
Inilah sebuah kritik untuk masyarakat kita sekarang ini. Dengan demikian
penggunaan majas-majas itu untuk mengingatkan atau menasehati sekaligus
mengejek pembaca atau masyarakat. Nasehat dan ejekannya itu ternyata berhasil.
Buktinya, ketika cerpen ini diterbitkan tidak lama kemudian cerpen ini mendapat
tempat di hati pembacanya dan masih terus dibicarakan hingga kini.
Cerpen Robohnya
Surau Kami karya A.A. Navis sebagai Bahan Pembelajaran Sastra di Kelas.
Cerpen sebagai
salah satu karya sastra jelas dapat memberikan manfaat seperti layaknya karya
sastra yang lain. Manfaatnya selain memberikan kenikmatan dan hiburan, dia juga
dapat mengembangkan imajinasi, memberikan pengalaman pengganti, mengembangkan
pengertian perilaku manusia dan dapat menyuguhkan pengalaman yang universal.
Oleh karena itu dapat memberikan manfaat, maka sewajarnya sebuah cerpen dapat
dijadikan bahan/materi pembelajaran sastra di kelas. Pemilihan dan penetapan
cerpen sebagai bahan/materi pembelajaran tentunya harus mengikuti kriteria yang
sudah ditetapkan secara umum yaitu:
a. Dilihat dari
segi bahasanya, cerpen ini jelas menggunakan bahasa yang bisa dipahami pembaca
orang Indonesia, yaitu bahasa Indonesia. Tidak hanya ini, gaya bahasanya pun
menarik dan pilihan katanya pun dapat memperkaya kosa kata siswa dalam hal
bidang keagamaan.
b. Latar
belakang budaya yang ditampilkan pun masih terasa umum. Jadi, siapa pun (baik
yang beragama Islam, kristen, Hindu,maupun Budha) bisa dengan mudah memahaminya
dan tidak menimbulkan pertentangan yang mendasar. Meskipun di dalamnya terdapat
kosa kata islami, hal ini tidaklah menggangu bahkan akan menarik jika siswa
membandingkan dengan kosa kata non-Islam yang sejenis.
Berdasarkan
kriteria-kritera inilah kiranya cerpen ini sangat sesuai dan tepat bila
dijadikan bahan ajar untuk pembelajaran sastra di kelas I dan II, apalagi di
kelas III SMU. Selain itu, akan lebih menarik lagi jika gurunya pun
aktif-kreatif ketika membelajarkan siswanya dalam menelaah cerpen tersebut.
Namun demikian, agar pembelajaran sastra dengan bahan cerpen itu menarik dan
lancar, guru dan siswanya pun haruslah sama-sama membaca cerpen itu lebih dari
satu kali dan jangan coba-coba membaca ringkasannya.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Cerpen Robohnya
Surau Kami karya A.A. Nvis ini memang sebuah sastra (cerpen) yang menarik dan
baik. Hal ini dapat dilihat dari unsur-unsur intrinsik dan kesesuaiannya
sebagai bahan pembelajaran. Adapun hasil analisisnya sebagai berikut.
1. Unsur-unsur
Intrinsik
a. Tema
Tema cerpen ini
adalah seorang kepala keluarga yang lalai menghidupi keluarganya.
b. Amanat
Amanat cerpen
ini adalah :
1) jangan cepat
marah kalau diejek orang,
2) jangan cepat
bangga kalau berbuat baik,
3) jangan
terpesona oleh gelar dan nama besar,
4) jangan
menyia-nyiakan yang kamu miliki, dan
5) jangan egois.
c. Latar
Latar yang ada
dalam cerpen ini adalah latar tempat, latar waktu, dan latar sosial.
d. Alur
Alur cerpen ini
adalah alur mundur karena ceritanya mengisahkan peristiwa yang telah berlalu
yaitu sebab-sebab kematian kakek Garin. Sedangkan strukturnya berupa bagian
awal, tengah, dan akhir. Adapun alur mundurnya mulai muncul di akhir bagian awal
dan berakhir di awal bagian akhir.
e. Penokohan
Tokoh dalam
cerpen ini ada empat orang, yaitu tokoh Aku, Ajo Sidi, Kakek, dan Haji Soleh.
1) Tokoh Aku
berwatak selalu ingin tahu urusan orang lain.
2) Ajo Sidi
adalah orang yang suka membual
3) Kakek adalah
orang yang egois dan lalai, mudah dipengaruhi dan mempercayai orang lain.
4) Haji Soleh
yaitu orang yang telah mementingkan diri sendiri.
f. Titik
Pengisahan
Titik pengisahan
cerpen ini yaitu pengarang berperan sebagai tokoh utama (akuan sertaan) sebab secara
langsung pengarang terlibat di dalam cerita. Selain itu pengarang pun berperan
sebagai tokoh bawahan ketika si kakek bercerita tentang Haji Soleh di depan
tokoh aku.
g. Gaya
Di dalam cerpen
ini pengarang benar-benar memanfaatkan kata-kata, dan majas alegori, dan
sinisme.
2. Berdasarkan
uraian di atas, maka cerpen Robohnya Surau Kami sangat cocok /layak jika
dijadikan bahan ajar dalam pembelajaran sastra di SMU, karena bahasa yang
digunakannya bisa dipahami oleh siswa SMU, konflik psikologis tokoh-tokohnya
pun tidak terlalu sulit untuk dipelajari, selain itu konflik-konflik psikologis
yang dimunculkan, masih sesuai dengan perkembangan psikologis dan pemikiran
siswa SMU, dan latar budaya yang ditampilkannya pun masih tampak umum sehinga
siswa yang berlatar belakang budaya Islam, Kristen, Hindu, dan Budha pun dapat
menerimanya. Selain kriteria ini, guru pun harus membaca terlebih dahulu
sebelum pembelajaran dimulai begitu pula dengan siswanya. Namun, jangan
sekali-kali membaca ringkasan cerpen tersebut tanpa pernah membaca cerita itu
seluruhnya. Juga, guru harus kreatif ketika sedang membelajarkan siswanya.
Misalnya, guru harus mampu membangkitkan minat dan rasa ingin tahu siswa akan
isi cerpen tersebut.
B.
Saran
Berdasarkan
hasil penelitian di atas, penulis meyarankan sebagai berikut.
1. Saran untuk
guru
- Guru yang
sudah berani menetapkan cerpen sebagai bahan pembelajaran sastra harus pula
membacanya berkali-kali agar memahami isinya.
- Di dalam
kegiatan pembelajaran, guru harus mampu membangkitkan minat dan rasa ingin tahu
siswa terhadap cerita tersebut kemudian mengarahkannya ke dalam pengalaman
siswa sehingga ketika siswa membahas cerita itu, bahasannya benar-benar
berdasarkan pengalaman siswa.
- Pemilihan
bahan/materi pembelajaran sastra yang berbentuk cerpen sebaiknya mengikuti
kriteria yang ada, yaitu bagaimana bahasanya, bagaimana kesesuaian
psikologisnya, baik untuk tokoh cerita maupun pembacanya yang duduk di tingkat
SMU, dan bagaimana latar budaya yang dimunculkan dalam cerita itu ? Tentu saja
hal ini dilakukan guru sebelum pembelajaran dimulai.
2. Saran untuk
siswa
- Sebaiknya
siswa harus membaca cerpennya secara utuh berkali-kali agar memahami isinya.
- Selain itu,
baca pula buku-buku yang mengulas isi cerpen itu jika ada.
- Berdiskusilah
dengan penuh minat dan perhatian agar manfaat sastra bisa dirasakan
- Jika mungkin
dan sempat, ikutilah setiap seminar atau diskusi sastra di manapun.
dihibahkan oleh : adhek bakar
dihibahkan oleh : adhek bakar
Tidak ada komentar:
Posting Komentar